Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

<font face=verdana size=1>Johny Setiawan Mundung</font><br />Pendekar Hutan Lambangsari

Hujan teror tak menghentikan langkahnya memerangi para pencukur hutan. Pernah menolak uang tutup mulut Rp 3,5 miliar.

24 Desember 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HUTAN adalah nostalgia. Ya, hutan adalah tempat ia dulu mengejar punai ke dalam rerimbunan pohon. Ia seorang siswa SD kelas lima bernama Johny Setiawan Mundung, biasa berburu burung berbulu kuning berkepala putih itu hingga ke mulut rimba. Bersama teman-teman, dengan katapel di pinggang.

Johny juga ingat betapa bangganya ia membawa pulang serenteng ikan gabus dan sepat, seraya menyerahkan hasil tangkapan itu kepada ibunya untuk digoreng. Satu lagi yang tak terlupakan: kebiasaannya mendayung perahu, menyusuri parit, menembus belantara. ”Itu saat libur sekolah,” kenangnya.

Johny lahir dan menjalani masa kecilnya di Desa Lambangsari V, Kecamatan Lirik, Indragiri Hulu, Riau—sekitar 300 kilometer dari Pekanbaru, ibu kota provinsi—bertetangga dan bergaul akrab dengan hutan beserta segenap isinya. Ya, sesuatu yang terasa semakin indah, juga semakin pahit begitu ia menyaksikan lingkungan itu berubah dahsyat.

”Kerusakan hutan mencapai 60 ribu hektare,” katanya, melukiskan kehancuran hutan di Kecamatan Lirik. Tiada lagi alas rimbun dengan pohon-pohon besar yang menjulang begitu daerah itu jadi bagian hutan tanaman industri.

Sesudah itu, segalanya remuk-redam dan tampak begitu nyata. Ia menyaksikan suku Talang Mamak, penduduk asli Indragiri Hulu, menjadi korban pertama. Padahal mereka telah ratusan tahun hidup dari hutan tanpa menimbulkan kerusakan. ”Hutan disembah dan dihormati,” Johny membandingkan mereka dengan industri bubur kertas yang rakus mengkonsumsi bahan baku kayu. ”Mereka jauh lebih bijak,” katanya.

Ia benar-benar tak punya pilihan ketika mengetahui bahwa suku asli ini kerap jadi sasaran pelanggaran hak asasi. Ia melawan. ”Banyak tanah warga diserobot,” ungkapnya.

Ia turun ke jalan, unjuk rasa ke kantor gubernur dan ke kantor wali kota. Dan ia pun cepat mengantongi cap sebagai tukang demo. Sejak itu, Johny mempunyai banyak musuh. Selain perusahaan pengelola hutan, juga pejabat pemerintah. Teror pun tak henti menguntit langkahnya. Hampir saban hari ia mendapatkan ancaman berupa pesan pendek (SMS). Ia juga pernah ditawari Rp 3,5 miliar oleh sebuah perusahaan pengolah bubur kertas—duit yang akan langsung diserahkan kepadanya jika ia berhenti berbicara soal kerusakan hutan. ”Kalau saya enggak mau terima, akan dihabisi,” ujarnya.

Tapi Johny punya keyakinan kuat akan jalan yang dipilihnya. Tentang teror yang terus-menerus mendekatinya, misalnya, Johny punya tafsir sendiri. ”Berarti perjuangan saya benar,” katanya. Dan untuk menyiasati teror itu, sepekan sekali ia mengganti nomor telepon selulernya.

Hutan telah gundul, Riau berubah. ”Banjir bandang menerjang tiga tahun kemudian,” ujarnya. Bencana itu terjadi pada 2001—sembilan dari sebelas kabupaten dan kota di Provinsi Riau kebanjiran. Tapi Johny tak berubah. Ia tetap lelaki muda yang ke mana-mana menunggang Honda Supra X. Motor itu dibelinya dengan kredit. ”Setahun lagi lunas. Sempat telat bayar angsuran dua bulan.”


Biodata

Lahir:

  • Lambangsari V, Indragiri Hulu, 27 Januari 1975
Pekerjaan:
  • Direktur Eksekutif Walhi Riau
Pendidikan:
  • Jurusan Sosial Ekonomi Fakultas Pertanian Universitas Riau
Karier:
  • Direktur Eksekutif Walhi Riau, 2006 sampai sekarang
  • Direktur Eksekutif Yayasan Betobo Agri Lestari
  • Aktivis Yayasan Pendidikan Bantuan Hukum Indonesia di Riau
  • Membidani lahirnya Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau
  • Sekretaris Jenderal Asosiasi Organisasi Nonpemerintah Riau.

Komentar

Viator Butar-Butar Ketua Ikatan Keluarga Batak Riau, mantan dosen Universitas Riau

”Dia punya pikiran yang jernih. Sejauh ini, saya belum mendengar hal yang negatif tentang dia. Soal dia dimusuhi, itu biasa. Aksi dia jelas mengundang musuh. Dan itu sudah pilihan hidupnya.”

Ir Ganda Ketua LSM Peduli Masyarakat Riau

”Dari sisi kinerja, Walhi yang dipimpinnya kurang memuaskan. Tidak satu pun persoalan lingkungan dan hutan di Riau yang pernah tuntas sampai pengadilan, baik masalah limbah maupun perusakan hutan, termasuk kasus illegal logging, dengan Walhi selaku pelapor ke Polda.”


2005:

Menggugat 10 perusahaan hutan tanaman industri. Perusahaan itu antara lain PT Riau Andalan Pulp & Paper dan PT Indah Kiat Pulp & Paper, perkebunan sawit milik Grup Astra, Grup Salim, dan Grup Asian Agri, serta sebuah perusahaan asal Malaysia. Gugatan ini kandas di Pengadilan Negeri Pekanbaru karena dianggap salah alamat.

2006:

  • Membela suku Talang Mamak asal Kecamatan Rakit Kulim, Indragiri Hulu, dalam kasus dengan pemerintah dan perusahaan sawit milik Grup Gandahera Hendana. Sekarang kasusnya sudah masuk Pengadilan Negeri Rengat, Indragiri Hulu, Riau.
  • Mendampingi warga Kecamatan Lirik, Indragiri Hulu, meminta tanah ulayat yang dikuasai PT Mitra Kembang Selaras, anak perusahaan PT Riau Andalan Pulp & Paper.

2007:

  • Mendampingi suku Sakai di Kabupaten Bengkalis dan Kabupaten Siak yang mempersoalkan tanah adat mereka yang dibabat habis PT Arara Abadi, anak perusahaan PT Asia Pulp & Paper milik Eka Tjipta Widjaya.
  • Mendampingi warga Pematang Pudu, korban pencemaran limbah PT Chevron Pacific Indonesia, perusahaan migas yang mencemari Sungai Batang Pudu di Mandau, Kabupaten Bengkalis, Riau.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus