Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Berita Tempo Plus

<font size=2>[1878]</font><br /><font color=#006600>Kopi </font> <font color=#999900>Warung Tinggi</font>

Beberapa kali berhenti berproduksi, tetap hidup berkat kepercayaan pelanggan. Dulu resep lisan, kini tersimpan di komputer.

28 September 2009 | 00.00 WIB

<font size=2>[1878]</font><br /><font color=#006600>Kopi </font> <font color=#999900>Warung Tinggi</font>
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BATAVIA, 1878. Restoran di tepian Moolen Vliet Oost-kini Jalan Hayam Wuruk-Jakarta, itu berbeda dengan bangunan lain di sekitarnya. Tampak lebih bagus, lebih besar, dan tinggi. Masyarakat di tepian Ciliwung lalu menyebutnya Waroeng Tinggi.

Adalah Liaw Tek Soen, perantau asal Tiongkok, yang membangun warung itu bersama istrinya. Selain menyuguhkan makanan, mereka sedia kopi. Karena itu, waktu belum banyak yang menjual kopi seduh di Batavia, warung Engkoh Liaw laris manis. "Menurut cerita Kakek, dulu habis makan, orang pasti duduk berlama-lama sembari ngopi," kata Rudy Widjaja, 67 tahun, ahli waris generasi keempat kopi Warung Tinggi.

Rudy menerima Tempo di kantor pusat Warung Tinggi di Jalan Batu Jajar, Hayam Wuruk, Jakarta Barat, dua pekan lalu. Melihat aktivitas di toko kopi yang terletak di Jalan Tangki Sekolah, juga di kawasan Hayam Wuruk, tampak sekali Warung Tinggi sudah memiliki pasar dan pelanggan sendiri. Di toko sekitar 25 meter persegi, di dalam gang yang hanya pas dilewati dua mobil itu, transaksi dilakukan dengan "gaya lama". Penjual tinggal bertanya, "Biasa, kan?" Semua langsung beres: jenis kopi, jumlah kiloan, digiling halus atau kasar.

Warung Tinggi memang bukan lagi sekadar toko kopi, melainkan "gaya". Semuanya dimulai ketika kakek Rudy, Liaw Tek Siong "dibeli" Liaw Tek Soen, karena anak lelaki tunggal Tek Soen dianggap tak mampu berdagang. Tek Siong mewarisi warung ayah angkatnya pada 1927. Di tangannya, kopi segera menjadi bisnis utama keluarga Liaw, bukan sekadar usaha sampingan dari makanan di warung.

Ia mendirikan pabrik sederhana dan menamai tokonya Tek Soen Hoo Eerste Weltevredensche Koffiebranderij, yang kala itu lebih dikenal dengan nama Toko Tek Soen. Tek Siong juga merancang alat khusus yang mampu menggoreng lebih banyak biji kopi hingga matang secara merata. Gambar perempuan menyunggi bakul anyaman bambu dijadikan logo perusahaan baru itu. "Itu gambar ibu-ibu yang setiap pagi datang menjual kopi ke warung kakek buyut saya," kata Rudy.

Hingga Liaw Tian Djie, ayah Rudy, mewarisi bisnis keluarga Liaw Tek Siong, dua tahun setelah Indonesia merdeka, nama perusahaan mereka masih Tek Soen Hoo. Tapi orang sekitar dan pelanggan setia warung kopi Tek Soen tak pernah berhenti menyebut tempat usaha keluarga itu sebagai Warung Tinggi.

Ketika itu Warung Tinggi hanya menjual satu jenis kopi, dibungkus dalam kertas cokelat sederhana dan diberi cap. Waktu Jepang menduduki Indonesia, ayahnya membawa keluarga mengungsi ke Mega Mendung, Ciawi, Jawa Barat. Ketika itu ibunya sedang mengandung Rudy.

Barulah pada 1945, setelah Jepang pergi, Tek Djie membuka kembali pabrik kopinya. Sebetulnya, waktu itu dia tak punya modal lagi. Tapi, para pemasok lama, termasuk ibu-ibu bakul kopi, tak keberatan Tek Djie berutang bahan baku. Pelan-pelan bisnis berjalan lagi. Bahkan, pada 1950-an, Tian Djie mulai menjual kopi racikan (blend) dengan mencampur beberapa jenis kopi.

Nama Warung Tinggi mulai dipakai sebagai merek dagang pada 1967. Soeharto, yang baru saja menggantikan Soekarno sebagai presiden, melarang orang Indonesia keturunan Tionghoa menggunakan nama Cina. Nama keluarga Liaw pun diubah menjadi Widjaja, atas usul seorang pegawai Tian Djie setelah melihat kitab primbon Jawa. Tian Djie sejak itu beralih nama menjadi Udjan Widjaja.

Sejak ayahnya wafat, pada 1978, perusahaan dikelola oleh Rudy beserta tiga saudaranya: Darmawan, Suyanto, dan Yanti. Berkali-kali usaha mereka goyah, tapi selalu bisa bangkit kembali. Sebagai anak kedelapan, Rudy bukan yang paling berhak mewarisi usaha orang tua mereka. Tapi, ketika kesebelas kakak-adik itu membagi warisan, pada pertengahan 1990-an, tak satu pun yang berminat meneruskan bisnis kopi keluarga itu kecuali Rudy.

Dalam bagi-bagi warisan itu, Warung Tinggi yang asli-rumah di Jalan Hayam Wuruk Nomor 55-57-jatuh ke tangan kakak-kakaknya. Maka Rudy memindahkan pabriknya ke Jalan Daan Mogot. Rumahnya di Jalan Tangki Sekolah, di kawasan Hayam Wuruk, dia jadikan toko kopi.

Pada kerusuhan jahanam, Mei 1998, pabrik Warung Tinggi dijarah. Beruntung, Rudy dan keluarganya diselamatkan masyarakat sekitar. Mereka lalu hengkang ke Singapura, hanya membawa surat-surat penting. Satu setengah tahun kemudian baru dia kembali ke Jakarta.

Dia beruntung: para penjarah hanya mengambil barang yang bisa cepat dijual. Mesin dan ratusan karung kopi mentah sama sekali tak disentuh. Rudy memindahkan pabrik ke Tangerang, dan kembali berbisnis. Ternyata, seperti yang dialami ayahnya, pelanggan setia tetap menunggu kembalinya Warung Tinggi.

"Banyak orang bilang, ah... kopi mah gampang, tinggal goreng, tumbuk, seduh, jadi. Ya, memang itu jadi kopi, tapi untuk bisa dinikmati, kopi membutuhkan perlakuan khusus," tutur Rudy. Dia mencontohkan kadar air. Jika kadar airnya terlalu rendah, aroma bisa hilang. Tapi, bila kandungan air terlalu banyak, air kopi akan berbau daun. "Orang dulu bilang bau kencing kuda," katanya.

Tidak gampang, memang, mengolah kopi hingga menghasilkan bubuk hitam bercita rasa mantap. Dulu, dituntun ayahnya, Rudy membutuhkan waktu lama untuk belajar menakar kadar air kopi, hanya dengan menggenggamnya di tangan. Sekarang sudah ada mesin untuk mengetahui kadar air dan kafein. Bahkan kopi bisa dibuat berbagai rasa: moka, stroberi, apa saja.

"Tapi kami hanya menjual kopi dengan kualitas terbaik. Enggak pakai pewangi. Itu sebabnya, kopi kami mahal," kata Rudy. Warung Tinggi memang hanya menjual kopi beraroma orisinal.Mereka menjual setidaknya delapan varian kopi, dari robusta yang berharga Rp 80 ribu per kilogram hingga kopi racikan Excellence yang Rp 500 ribu per kilogramnya.

Warung Tinggi kini ajek dengan total produksi sekitar 20 ton per bulan. Tahun lalu mereka memesan mesin baru dengan kapasitas 100 ton per bulan. Sudah ekspor ke Jepang mereka sedang menjajaki pasar Amerika, Hong Kong, Taiwan, Australia, dan Eropa.

Dari segi jumlah penjualan, Warung Tinggi mungkin tak akan menjadi merek kopi nomor satu. Tapi Rudy percaya kopinya akan terus bertahan. Rahasia umur panjang, menurut dia, adalah kemampuan mempertahankan kualitas campuran. "Saya mewarisi resep keluarga secara lisan dari Ayah. Tapi anak saya akan mewarisi buku resep di komputer," kata Rudy sembari tertawa.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus