Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Berita Tempo Plus

<font size=2>[1930]</font><br /><font color=#006600>Sabun Cuci</font> <font color=#999900>B29</font>

Mereguk untung besar berkat terobosan sabun krim. Menurun, tapi tak kehilangan pasar.

28 September 2009 | 00.00 WIB

<font size=2>[1930]</font><br /><font color=#006600>Sabun Cuci</font> <font color=#999900>B29</font>
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PASAR Pagi Jakarta, akhir 1930-an. Sekumpulan ibu-ibu yang sedang belanja di Toko Sewu Gunawan meriung bicara soal sabun. Sabun Cap Tangan, produk Unilever-ketika itu satu-satunya sabun cuci yang beredar di pasar-mendadak langka. Jikapun ada, harganya mahal. Para ibu mengeluh: mereka tak bisa mencuci baju, piring, bahkan mandi.

Sewu Gunawan prihatin. Anak tunggal yang merantau dari Mojokerto, Jawa Timur, pada usia 16 tahun itu pun putar otak. Dengan bantuan seorang guru kimia sebuah sekolah menengah atas, dia mencari bahan pengganti kaustik soda-bahan utama sabun saat itu. "Akhirnya pakai bahan gula dari tebu," kata Eka Gunawan, putra bungsu Sewu, mengingat cerita ayahnya. "Jauh lebih murah dan ekonomis."

Pada 1942, mulailah sebuah pabrik rumahan dibangun di lahan 300 meter persegi di Jalan Malaka, Jakarta Pusat. Nama B29 didaftarkan kepada pemerintah Hindia Belanda oleh Sinar Antjol, perusahaan yang didirikan Sewu.

Sekitar seratus orang direkrut Sewu untuk "mengaduk" bahan sabun dan mencetak B29. Saat itu B29 belum menjadi pesaing Cap Tangan, yang namanya sudah ke mana-mana. Tujuannya, kata Eka, semata membuat sabun banyak dan dijual semurah mungkin. "Jadi awalnya lebih ke misi sosial."

l l l

SURATMI, pelawak wanita bertubuh subur, nyaris setiap hari hadir di ruang keluarga. Suratmi memang jadi ikon sabun B29. Di layar televisi, dari sore hingga malam, dengan gayanya yang kenes, ia membujuk para ibu memakai sabun krim B29. Bentuk krim, atau lebih dikenal "colek", merupakan terobosan baru di bidang sabun cuci saat sabun bubuk mewabah di Indonesia pada dekade 1970.

Cuma perlu waktu singkat bagi B29 masuk di hati ibu-ibu rumah tangga. Selain harganya murah, sabun itu banyak manfaatnya. Bisa membersihkan piring, pakaian, hingga cuci mobil. B29 langsung menguasai 80 persen pasar Indonesia. "Banyak sekali permintaan, tapi kami tak bisa memenuhinya dalam waktu singkat," ujar Direktur Sales dan Marketing Arie Handoyo Halim. Suratmi sendiri, karena identik dengan sabun itu, namanya lebih dikenal sebagai "Ratmi B29".

Menurut Eka, ayahnya memang punya misi menciptakan produk murah untuk ibu-ibu di Indonesia. Bentuk awal sabun bubuk yang basah sendiri sebetulnya seperti krim. Krim itu kemudian dikeringkan. "Kalau nanti dibasahi lagi, kenapa tidak dijual dalam bentuk krim saja," demikian pikir ayahnya, Sewu, ketika itu. Jadilah B29 itu. Dengan cara itu, ongkos produksi juga dihemat karena tak perlu menyediakan mesin pengering.

Masa kejayaan B29 mulai menyurut sejak akhir 1980-an. Sejumlah sabun serupa masuk ke pasar. Menurut Eka, ketika diserahi tongkat estafet bisnis sabun colek pertama di Indonesia tersebut, pada 1991, ia menghadapi masalah pelik: bagaimana mengangkat kembali B29 agar berjaya di pasar.

Alumnus Universitas San Francisco, Amerika Serikat, itu lalu membidik pasar luar negeri. B29 diekspor ke Uni Soviet. Tapi terganggu lantaran di wilayah itu terjadi pergolakan politik. Eka lalu beralih ke negara-negara Afrika.

Hasilnya tak mengecewakan. Sabun itu menjadi sabun produk Indonesia pertama yang mendarat di benua hitam tersebut. Ekspor itu kemudian merambah pula ke Cina. "Ketimbang ngotot-ngototan di dalam negeri, lebih baik cari pasar lain," kata Eka. Di Afrika dan Cina, bentuk sabun batangan-bisa untuk mandi dan mencuci baju-laku keras.

Manisnya ekspor itu dirasakan B29 pada saat krisis ekonomi. Permintaan membeludak sampai dua kali kondisi normal. Tapi, ekspor tak bisa menutup dampak krisis ekonomi 1997. Para pekerja dipangkas jadi satu shift dari tiga shift. Beruntung tak ada pemberhentian karyawan. "Pesan ayah jangan ada PHK sesulit apa pun," ujar bungsu dari tujuh bersaudara itu.

Setelah krisis berangsur-angsur berakhir, perlahan pasar dalam negeri kembali digarap. Kendati demikian, dibanding pesaingnya, B29 tetap saja kalah agresif. "Kami lebih mengandalkan mutu," kata Eka. Sebagian besar dana perusahaan digunakan untuk riset dan pengembangan ketimbang promosi.

Kini, B29 cuma "menguasai" 10 persen dari total pasar sabun cuci nasional. Selain bersaing dengan sabun produk nasional, Sinar Antjol mesti berhadapan dengan sabun-sabun hasil perusahaan lokal.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus