Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Berita Tempo Plus

<font size=2>[1918]</font><br /><font color=#993300>Taru Martani</font>

28 September 2009 | 00.00 WIB

<font size=2>[1918]</font><br /><font color=#993300>Taru Martani</font>
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BAGI penggemar meditasi seperti T. Sudiarno, cerutu bisa membantu menenangkan pikiran. Dengan mengisap cerutu, pria 45 tahun ini tambah khusyuk berkontemplasi. Kebiasaan itu dilakoni fotografer asal Yogyakarta itu sejak 1996. Cerutu yang sering diisapnya antara lain Senator dan Mundi Victor.

Inilah dua merek cerutu tertua buatan Perusahaan Daerah Taru Martani, Yogyakarta. Model dan ukuran yang sama dari dua cerutu ini diproduksi sejak 1918—saat Taru Martani pertama kali berdiri. Namun Senator dan Mundi Victor Boheme baru dipakai sebagai merek secara resmi pada 1952.

Menurut Johanes Muran Kedang, Kepala Divisi Produksi PD Taru Martani, cerutu generasi pertama Senator dan Mundi Victor mempunyai bentuk yang unik, yakni lancip seperti peluru. Belanda dan Cek menjadi negara tujuan ekspor merek cerutu ini.

Bahan baku cerutu Senator dan Mundi Victor, kata Johanes, murni dibuat dari tembakau di kawasan Besuki, Jember, Jawa Timur. ”Rasa cerutu tidak pernah berubah karena memakai bahan yang sama dengan proses manual tanpa mesin,” kata Johanes, yang bekerja di Taru Martani sejak 1973.

Satu pohon tembakau Besuki, kata dia, sudah bisa memenuhi tiga unsur cerutu, yakni filler (isi), binder/omblad (pembungkus dalam) dan wragger/dekblad (pembungkus luar). Namun untuk isi biasanya digunakan tembakau Besuki yang telah dicampur dengan tembakau Havana dan Brasil.

Satu bungkus Senator isi 10 batang kini dijual Rp 38.000. Sedangkan Mundi Victor isi lima batang dijual Rp 18.000. Ukuran Senator 107 mm x 19 mm. Mundi Victor 115 mm x 9,5 mm. Dari 100 ribu batang Senator dan Mundi Victor yang diproduksi per tahun, lima persennya diekspor.

Pabrik cerutu tertua di Tanah Air ini awalnya berlokasi di daerah Bulu, pinggir Jalan Magelang, dengan nama NV Negresco. Tiga tahun kemudian, pabrik itu pindah ke Jalan Agrolo Baciro—sekarang Jalan Kompol B. Suprapto— di sebelah barat Stadion Mandala Krida, Yogyakarta.

Cerutu Taru Martani semula hanya dikonsumsi orang Belanda di Yogya. Dalam perkembangannya cerutu ini juga dijual ke Belanda. Sejarah mencatat, pada 1930, Negresco melakukan ekspansi dengan 1.000 pekerja.

Perusahaan ini sempat diambil alih oleh Jepang pada 1942. Lalu Sri Sultan Hamengku Buwono IX mengambil inisiatif mengganti nama perusahaan setelah Indonesia merdeka menjadi Taru Martani—artinya daun yang menghidupi.

Hingga kini model pabrik berarsitektur Eropa itu tetap dipertahankan. Beberapa mesin peninggalan Belanda, antara lain unit mesin stripping (pemisah daun tembakau dan batangnya), mesin besar pemanas tembakau, dan empat buah mesin linting cerutu, masih tersimpan di pabrik itu.

Cerutu Taru Martani kini tersedia lebih dari 40 jenis, dengan produksi lebih dari 10 juta batang cerutu per tahun. Sedangkan total omzetnya Rp 20 miliar per tahun.

Adam Santoso, internal auditor Taru Martani, mengatakan perusahaan menyisihkan 55 persen keuntungan bersih buat pemiliknya: pemerintah daerah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus