Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Berita Tempo Plus

<font size=2>[1934]</font><br /><font color=#999900>Sarang Sari</font>

28 September 2009 | 00.00 WIB

<font size=2>[1934]</font><br /><font color=#999900>Sarang Sari</font>
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BOTOLNYA hijau, mirip botol bir. Tulisan dalam kemasannya tak berubah sejak 75 tahun lalu: Limonadestroop. Sarang Sari, begitulah nama sirup berbotol serupa bir itu, bertahan di tengah gempuran minuman berkarbonat.

Cikal bakal sirup ini dimulai dari De Wed Bijlsma, pengusaha asal Groningen, Belanda, yang mendirikan NV Conservenbedrijf de Friesche Boerin pada 1934. Ketika Presiden Soekarno menasionalisasi perusahaan asing pada 1959, pabrik di Jalan Cikini Raya 77, Jakarta, itu diambil alih keluarga Gunawan. Merek De Friesche Boerin diubah menjadi Sarang Sari. Wajah lelaki Belanda yang semula menghiasi kemasan berganti dengan gambar perempuan penari Bali.

Pada 1981, Sarang Sari dijual ke Rahmat Semedi. Pada masa itu sirup sedang laris di Tanah Air. Persaingan pun belum terlalu ketat karena hanya ada empat merek besar: Sirup Bango, ABC, Marjan, dan Sarang Sari. Bisnis berkembang pesat, Sarang Sari pun memindahkan pabriknya ke Cimanggis, Depok, dan memproduksi hingga satu juta botol per tahun.

Sayangnya, sejak 1990-an, popularitas sirup meredup dengan munculnya minuman berkarbonat dan jus dalam kemasan tetrapack. Produksi Sarang Sari kini tinggal 240 ribu botol per tahun. Jumlah karyawan pun menyusut dari 100 menjadi hanya 61 orang di pabrik dan 12 orang di kantor.

Produk yang mempertahankan bahan baku gula tebu asli ini juga terengah-engah mengejar harga gula yang selalu naik. Bulan puasa lalu saja naiknya sampai 51 persen. Walhasil, ”Sudah tiga minggu ini kami tak berproduksi,” kata Hadi Semedi, anak Rahmat Semedi yang juga menjabat Manajer Operasional Sarang Sari. Apalagi harga Sarang Sari yang Rp 23 ribu dari pabrik—biasanya dijual sampai Rp 27 ribu di supermarket—relatif mahal jika dibanding sirup lain.

Berbagai inovasi dilakukan. Misalnya dengan meluncurkan rasa baru—blueberry—yang ternyata kandas di pasaran. Konsumen telanjur setia pada rasa asli limun ini, semisal frambozen, vanili, manalagi, dan pisang ambon. Tahun depan, Sarang Sari berencana meluncurkan kafe di Cikini. Pengunjung tak hanya bisa bernostalgia, tapi juga bisa memboyong sirup yang kini dibikin juga dalam kemasan karton untuk oleh-oleh.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus