Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Berita Tempo Plus

Merek Djadoel dan Kerawanan Generasi Ketiga

28 September 2009 | 00.00 WIB

Merek Djadoel dan Kerawanan Generasi Ketiga
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bondan Winarno *)
*) Pengamat manajemen, tinggal di pinggiran Bogor

MASIH beredarnya merek-merek djadoel (djaman dahoeloe) di pasar menunjukkan bahwa sebetulnya dari dulu produk kuliner Indonesia selalu jaya. Kecap Bango, Kecap Benteng SH, Kecap Sawi, misalnya, sudah berusia lebih dari 80 tahun. Biskuit Olympic dan Kopi Aroma dari Bandung bahkan sudah populer van voor de oorlog atawa sebelum Perang Dunia II.

Deretan merek antik lainnya juga hebring. Teh Cap Botol dari Slawi, anggur kolesom Cap Orang Tua dari Semarang, ting-ting jahe Cap Kelenteng dari Salatiga, wingko babat Cap Lokomotif dari Semarang, Roti Bagelen dari Kutoarjo, Bakpia 25 dari Yogyakarta, sirup Sarang Sari dari Jakarta dan Tjampolay dari Cirebon, semuanya sudah berusia lebih dari setengah abad dan masih berjaya hingga kini.

Masih banyak lagi contoh yang lain yang pada satu saat nanti mungkin akan memenuhi syarat Jim Collins sebagai lembaga usaha yang built to last.

Di Sukoharjo, Jawa Tengah, Tan Pia Sioe membuat bihun atau mihun dari bahan tepung jagung sejak akhir dekade 1930. Pada 1959 ia mulai mengenal konsep branded product, dan memberi merek Cangak Ular untuk bihun jagungnya yang laris-manis. Seperti kita ketahui, bihun biasanya dibuat dari tepung beras—dalam bahasa Inggris disebut rice vermicelli.

Tan Pia Sioe punya lima anak—empat perempuan, dan seorang laki-laki bernama Priyo Hadi Sutanto. Sebagai generasi kedua, Priyo jungkir-balik bekerja keras membesarkan Cangak Ular sehingga pasarnya menembus ke luar Jawa Tengah. Sekarang, dalam wadah baru PT Tiga Pilar Sejahtera yang dikomandani Joko Mogoginta—salah seorang cucu Tan Pia Sioe, generasi ketiga—urusannya bukan lagi sekadar bihun jagung cap Cangak Ular.

Perusahaan ini telah mengakuisisi pabrik mi cap Ayam Dua Telor yang punya nama besar. Hengky Kustanto, anak Priyo, juga menjadi direktur TPS yang menangani bisnis tenaga listrik. Lho? TPS kini memang bukan sekadar pabrik mi dan bihun, melainkan perusahaan terbuka yang terdiversifikasi merambah bisnis makanan (mi, bihun, biskuit, permen, dan lain-lain), tenaga listrik, agrobisnis (perkebunan kelapa sawit dan singkong) serta pabrik mocaf alias modified cassava flour.

Kasus TPS ini hanyalah a case in point untuk menunjukkan tidak sahihnya ”kepercayaan” yang selama ini dianut oleh kalangan pebisnis keturunan Tionghoa. Bunyi ”kepercayaan” itu bak mimpi buruk bagi mereka: generasi pertama merintis dan membangun dalam kemiskinan, generasi kedua gigih mengembangkan kejayaan, dan generasi ketiga ongkang-ongkang kaki menghabiskan kekayaan keluarga.

Gugon-tuhon semacam ini agaknya memang dipercaya oleh banyak pengusaha keturunan Tionghoa di Indonesia. Salah satu bukti yang diacu mereka adalah Oey Tiong Ham, si Raja Gula legendaris dari Semarang, yang bahkan sudah ludes hartanya di tangan generasi kedua.

Di Surabaya, seorang Liem Swie Ling—anak Liem Seeng Tee yang merintis rokok kretek beraroma cengkeh yang jaya hingga kini, Dji Sam Soe—juga memiliki kerisauan yang sama. Karena Swie Ling—kemudian bersalin nama menjadi Aga Sampoerna—sudah merupakan generasi kedua, ia menyadari perlunya membuat keputusan penting agar ketiga anaknya yang menjadi generasi ketiga tidak akan menjadi ”penghancur” usaha yang dibesarkannya.

Menurut cerita yang saya dengar dari Kwik Kian Gie, pada pertengahan dasawarsa 1980, Aga melakukan valuasi terhadap usahanya. Katakanlah harga PT HM Sampoerna pada waktu itu senilai Rp 100 miliar.

Lalu, dipanggillah ketiga putranya yang sudah bermukim di Amerika Serikat. Putra pertama diberi uang sejumlah Rp 100 miliar (nilai teoretis!) dan dipersilakan merintis usaha sendiri. Putra kedua mendapat ”warisan” yang sama. Putra bungsu, Putera Sampoerna, tidak diberi uang, melainkan diwarisi perusahaan PT HM Sampoerna dan diminta meneruskan pengembangan bisnis. Dua putra pertama tidak boleh campur tangan dalam bisnis PT H.M. Sampoerna. Kalau saya tidak salah dengar, yang seorang mendirikan pabrik cat di AS sana. Yang kedua berusaha di bidang peranti lunak komputer. Aga kemudian pensiun, dan lebih banyak bermukim di Singapura.

Aga Sampoerna sudah lama meninggal. Apakah karena keputusannya yang manjur, atau karena penyebab lain, kenyataannya PT HM Sampoerna memang semakin berkibar di tangan Putera Sampoerna. Putera bahkan mengejutkan dunia ketika ia menjual perusahaannya dengan harga bagus ke Philip Morris, dan sekarang merintis bisnis baru di luar industri rokok.

Masih ada contoh baik lain di industri rokok kretek. Pabrik Rokok Djarum (aslinya Djarum Gramofon) dari Kudus bahkan sudah mengubah ways of working-nya menjadi profesional sejak generasi kedua. Didirikan pada 1951 oleh Oei Wie Gwan, perusahaan ini sebetulnya nyaris bangkrut ketika pabriknya dilahap api pada 1963.

Tetapi, seperti Phoenix yang bangkit menjelma kembali dari abu, Djarum berhasil keluar dari trauma itu. Di tangan dua anak Wie Gwan—Robert Budi Hartono dan Michael Bambang Hartono— perusahaan ini sudah mengembangkan diri dengan melibatkan para profesional. Kini, dengan BCA dan Grand Indonesia di tangan, Djarum Group berkibar sebagai salah satu konglomerat solid terbesar di Indonesia.

”Profesionalisasi” di generasi kedua juga kita lihat di keluarga Sudono Salim (Liem Sioe Liong). Sedangkan William Soeryadjaya dan Ciputra bahkan sudah langsung melibatkan profesional di generasi pertama.

Lalu bagaimana cara Djarum mempersiapkan generasi ketiganya? Saya mengamati dari jauh bagaimana Robert Budi Hartono mendidik dan memberlakukan putranya—Armand Hartono—dan saya merasa yakin bahwa Djarum Group akan berhasil menembus generasi ketiga dan seterusnya.

Kesimpulan ini mungkin terdengar terlalu simplistis bagi Anda. Tetapi begitulah kenyataannya. Cara asih-asah-asuh anak ternyata memegang peran utama dalam kelangsungan hidup perusahaan keluarga. Dalam kepercayaan Tionghoa, ada pepatah yang mengatakan: xing bo chau no, xing khia pu thao. Kurang-lebihnya bermakna: terlalu sayang istri dapat mengakibatkan kekacauan, terlalu sayang anak dapat membuat mereka murtad.

Pepatah ini disampaikan kepada saya oleh Soegiharto Sosrodjojo (terlahir Souw Hway Gie), perintis teh wangi Cap Botol yang kini merajai pasar minuman teh dalam botol. Seperti Djarum, pabrik teh wangi Cap Botol juga pernah ludes dimakan api. Tetapi Soegiharto bangkit kembali. Tidak seperti pabrik teh wangi lain yang ”berkutat” di sekitar Tegal, Soegiharto merebut pasar Jakarta. Dengan keberhasilan menguasai Jakarta, pasar nasional hanyalah sebuah keniscayaan. Kemudian, dengan kedua adiknya—Soetjipto dan Surjanto—ia mengembangkan minuman teh yang dikemas dalam botol, dan kini Teh Botol Sosro adalah juara Indonesia.

Inovasi yang sempat ”bikin malu” ini dikenang Soegiharto. ”Awalnya karena saya sering malu disindir orang ketika melakukan propaganda cicip rasa ke konsumen. Saya dengar orang-orang bilang: namanya Teh Botol kok disajikan dalam cangkir?” begitu kata Soegiharto mengenang. ”Dulu saya juga diketawain orang. Ngapain jual minuman teh dalam botol? Di warung-warung nasi kan teh disediakan gratis?”

Pada ulang tahunnya yang ke-75, Soegiharto memanggil kelima anaknya. Hari itu ia mengundurkan diri secara total dari kepengurusan dan kepemilikan. Ia bahkan tidak lagi menjadi komisaris. Seluruh kepemilikannya dibagi rata kepada lima anaknya. Hanya tiga anaknya—Peter, Joseph, dan Sukowati Sosrodjojo—yang duduk di puncak manajemen. Cucu-cucunya—generasi ketiga—masih terlalu muda untuk dilibatkan.

Obligasi Sosro yang sukses pada 2001 membuat mereka tampaknya mulai berpikir-pikir untuk menawarkan saham perdana. Apalagi karena perusahaan sudah terdiversifikasi ke industri perhotelan (Mercure Rekso di Jakarta dan proyek hotel berbintang enam di Pecatu, Bali), perkebunan teh, dan baru-baru ini memenangi waralaba McDonald’s di Indonesia. Kini semua unit bisnis strategis itu tergabung dalam Rekso Group.

Ya, sangat boleh jadi, langkah IPO (initial public offering) yang akan membawa Rekso Group mampu menembus usia 100 tahun. Bahkan lebih!

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus