Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

<font size=2 color=#FF0000>Soegeng Hendarto:</font><br />Ingin Seperti Harvard

19 April 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lahir dari keluarga mis­kin di Samarinda, Kalimantan Timur, 23 September 1932, Soegeng Hen­darto sempat menjadi petani dan bekerja serabutan. Ketidakcukupan itu yang mendorongnya selalu ber­usaha membantu orang lain tanpa memandang latar belakang agama dan suku. Soegeng, Ke­tua Pembina Yayasan Harapan Bangsa Sejahtera dan Direktur Utama PT Jangkar Pacific, hanya lulusan SMA Ma Chung. Ditemani Sekretaris Yayasan Harapan Bangsa Sejahtera, Wongso Soenarko, Soegeng menjawab pertanyaan Tempo, Rabu pekan lalu. Inilah petikannya.

Bagaimana Universitas Ma Chung didirikan?

Ide pendiriannya terjelma sewaktu kami mengadakan reuni akbar alumni eks-SMA Ma Chung ke-55 di Xianmen, Cina, September 2001. Waktu itu alumni yang hadir 900an orang dari beberapa negara, seperti Indonesia, Amerika, Hong Kong, dan Jepang. Kami merenungi kembali yang telah kami lewati dan kami lakukan. Kami sering me­risaukan masa depan Indonesia, terutama dalam karakter dan kepribadian. Muncul ide untuk ikut meningkatkan mutu bangsa kita lewat pendidikan. Tiga hari kami membahasnya sampai akhirnya disepakati membuat perguruan tinggi.

Kenapa jalur pendidikan?

Jalur pendidikan kami pilih karena pendidikan adalah dasar mutlak meningkatkan mutu bangsa. Lewat pendidikan pula kami ingin memberantas kemiskinan di negara kita. Semuanya didasari semboyan kami bahwa sewaktu minum air jangan lupa sumbernya, ketika sukses berkontribusilah kepada kampung halamanmu. Dalam bahasa Tionghoa jadinya yin shui siyuan, pao siao kuli. Kampung halaman bisa diartikan Kota Malang, Jawa Timur, asal sekolah kami, juga Indonesia sebagai negeri dan negara.

Siapa yang pertama kali menggagas pendirian universitas dan siapa penggerak utamanya?

Waktu itu kami agak bondo nekat juga. Uangnya tidak cukup. Tapi, daripada menunda-nunda sementara harga terus naik, sebaiknya pembangunan universitas di­segerakan. Ada 15 orang pendiri utama. Tapi kami kan tidak bisa bergerak lebih cepat jika tak ada alumni lain atau para pengusaha yang peduli dan bersimpati. Kepada merekalah dan juga kepada masyarakatlah kami ha­rus sangat berterima kasih.

Mengapa Anda tertarik ikut membantu pendirian Universitas Ma Chung?

Alasan saya mungkin sama dengan alasan pendiri lainnya. Tapi secara pribadi saya punya pengalaman menjadi orang miskin. Saya pernah hidup sangat susah di Samarinda, sampai akhirnya saya terlambat masuk sekolah di Malang. Di Malang pun saya masih hidup prihatin. Berangkat dari pengalaman pribadi itu, saya sangat ingin membantu dan berkontribusi memajukan kualitas bangsa kita lewat pendidikan, dan saya percaya lewat pendidikan pula kemiskin­an bisa dikurangi. Saya tahu dan pernah merasakan susahnya jadi orang miskin.

Bagaimana caranya mengumpulkan uang?

Awalnya ada 15 alumni yang bersedia menjadi donatur, termasuk saya. Dibuatlah PT Ma Chung untuk mencarikan modal. Agar modalnya cukup, dilakukan pendekatan dengan alumni lain dan para pengusaha yang bersimpati dengan rencana kami, sampai akhirnya jumlah pendiri bertambah menjadi 86 orang. Tidak semua alumni berasal dari satu almamater Ma Chung, banyak pengusaha yang bersimpati. Alumni Ma Chung sekitar 50 persen. Dukungan dari pengusaha non-alumni membuat kami makin yakin dan optimistis pada masa depan Universitas Ma Chung.

Apa targetnya?

Universitas harus mampu mengejar mutu yang bertaraf internasional. Sebagai langkah awal, kami mengadakan jaringan kerja sama dengan universitas internasional. Kini sudah ada nota kesepaham­an dengan universitas di Inggris, Jepang, Thailand, dan Cina.

Model seperti apa yang ditiru?

Kami melakukan survei ke banyak perguruan tinggi, sehingga kami bisa membuat perguruan tinggi yang berbeda dan memiliki ciri khusus. Bukan bermaksud sombong, model yang kami acu adalah Harvard. Inginnya seperti Harvard. Dalam sepuluh tahun ke depan minimal kami ingin menjadi universitas yang terkenal dengan penggunaan tiga bahasa: Indonesia, Inggris, dan Tiong­hoa. Harus ada cultural exchange yang sesuai dengan kebutuhan modern dan globalisasi. Dosen asing setidak­nya harus bisa berbahasa Indonesia dan dosen lokal harus bisa berbahasa Inggris atau minimal bisa berbahasa Tionghoa.

Apa benar alumni Ma Chung dijamin dapat kerja?

Kami punya komitmen memberikan kesempatan kepada semua alumni untuk bekerja di perusahaan milik pendiri atau alumni lain yang bukan pendiri. Tapi alum­ninya harus berprestasi dan mempunyai kemampuan yang sesuai dengan kebutuhan perusahaan. Mulai tahun akademik keempat, kami mengadakan magang kerja bagi mahasiswa. Ini menjadi bentuk komitmen kami kepada para mahasiswa.

Terakhir, apa mimpi Anda yang belum tercapai?

Ha-ha-ha…. Melihat Ma Chung menjadi universitas sekaliber Harvard.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus