Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

<font size=2 color=#FFC5A8>Deputi Gubernur BI Muliaman Hadad:</font><br />Agar Tidak Seperti Asap

3 Agustus 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MASA lima tahun untuk mencapai Arsitektur Perbankan Indonesia akan berakhir tahun depan. Sejumlah persyaratan mesti dipenuhi pelaku bisnis perbankan, mulai dari permodalan hingga pengelolaan bank yang sehat dan berhati-hati. Sampai Mei lalu, dari 122 bank umum, 19 bank belum memenuhi syarat minimal modal inti Rp 100 miliar. Bank yang belum mencapai rasio kecukupan modal yang aman sebesar 12 persen juga masih banyak, yakni 11 bank. Bank yang masih memiliki kredit seret atau non-performing loan (NPL) di atas 5 persen masih 21 bank.

Bukan perkara mudah memenuhi semua persyaratan itu. Waktu yang masih tersisa sekitar 17 bulan tergolong pendek. Pilihannya juga tidak banyak. Jika tak bisa memenuhinya dari kantong sendiri, mereka harus merger dengan bank lain atau merelakan diri diakuisisi, baik oleh bank lokal, bank asing, maupun investor nonbank. Tim Tempo mewawancarai Deputi Gubernur Bank Indonesia Muliaman Darmansyah Hadad untuk mengetahui perkembangan terbaru dunia perbankan Indonesia.

Seusai rapat, pria 49 tahun yang meraih doktor bidang bisnis dan ekonomi dari Monash University, Melbourne, Australia ini dengan setelan jas abu-abu gelapnya menemui Tempo, Rabu sore awal Juli lalu. Didampingi Kepala Biro Stabilitas Sistem Keuangan Wimboh Santoso serta beberapa staf, dan ditemani secangkir teh hangat, tak terasa perbincangan mengalir hampir satu jam lamanya.

Bagaimana situasi perbankan kita menjelang penerapan Arsitektur Perbankan Indonesia tahun depan?

Tiap pilar Arsitektur Perbankan Indonesia itu pada intinya bertujuan agar penyehatan finansial memberikan kontribusi kepada pembangunan ekonomi. Biaya besar untuk menyelamatkan bank saat krisis 10 tahun lalu dalam bentuk rekapitalisasi itu jangan seperti asap, hilang tanpa bekas.

Karena itu, bank harus dikelola profesional menjadi entitas yang menguntungkan. Setelah secara finansial untung, secara operasional juga harus disehatkan. Capacity of lending ditingkatkan dengan menambah modal. Makin besar modal bank, makin besar kemampuan memberikan pinjaman. Selain itu, makin besar size bank, butuh modal besar karena risiko kian besar. Modal bank saya analogikan sebagai shock breaker motor atau mobil yang akan meredam gejolak.

Bagi bank dengan modal kurang dari Rp 100 miliar, kita beri waktu sampai 2010 untuk memenuhinya. Jika modalnya sudah di atas Rp 100 miliar, manajemen risikonya diredefinisi, sehingga hitungan risiko kredit, likuiditas, dan pasar lebih akurat. Kebutuhan modal bisa diketahui persis. Dengan begitu, modal sebetulnya bukan hanya persoalan bank kecil. Sebab, semua bank deal dengan risiko. Jika sampai 2010 masih belum Rp 100 miliar, status bank itu turun menjadi bank perkreditan rakyat.

Aturan itu pada akhirnya banyak dimanfaatkan investor atau bank asing dengan membeli bank kita?

Ini persoalan global. Tantangannya adalah menguatkan kapasitas lembaga domestik agar bisa bersaing. Poin lain, mahalnya teknologi informasi perbankan mendorong strategic alliance. Ketika investor domestik tidak mau membeli pada harga mahal, orang asing malah mau beli bank-bank kecil itu. Transaksi ini juga di luar pengetahuan BI. Mereka datang ke BI setelah deal. Lalu kita fit and proper test dan kita minta bank tidak diperjualbelikan. Kami tegaskan, "You harus keep bank itu lima tahun." Kami juga mencatat rencana bank lima tahun mendatang, misalnya menambah modal, dijadikan bank devisa, fokus ke usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), dan lain-lain. Debat politik tentang makin besarnya peran asing tak mudah dijawab, tapi kami terus memonitor.

Sekarang bank menengah lokal hanya Bank Mega dan Bank Bukopin? Yang di atas tinggal BCA?

Mereka masuk Indonesia karena tingkat profitabilitas bank di Indonesia, return on asset-nya tertinggi di Asia. Semua ingin masuk karena memiliki bank sangat menguntungkan. Lihat laporan keuangan bank-bank, pada saat sulit ini ada yang untung Rp 5 triliun, besar betul.

Sekarang berapa bank yang belum memenuhi aturan minimal modal?

Saya kira 3-4 bank perlu diskusi dengan BI. Tidak berat, karena tinggal memenuhi Rp 20 miliar lagi. Saat diminta memenuhi Rp 80 miliar tahun 2007, semua bank sudah memenuhi syarat. Yang belum memenuhi Rp 100 miliar ada 20-an bank.

Apakah bank asing ini signifikan menggerakkan ekonomi?

Kontribusi mereka tidak melulu dilihat dari kredit, tapi bisa dari fungsi pembayaran perdagangan internasional. Ini tak bisa dihitung, intangible. Jika orang bertanya, "Di sana ada Citibank atau McDonald's tidak?" Itu menunjukkan kota livable. Masuknya bank besar ke Indonesia itu juga menambah confidence. Lembaga-lembaga global itu selalu menghitung apakah regulasi dan pengawasannya mengikuti standar global.

Sepuluh bank menguasai 60-an persen pangsa pasar, gapnya sangat besar. Ini indikasi pasar oligopolistik dan menyebabkan suku bunga sulit turun?

Itu tidak salah. Penelitian saya dan Pak Wimboh membuktikan struktur perbankan highly concentrated karena 15 bank menguasai hampir 75 persen pasar. Artinya, 100 bank lebih lainnya cuma menguasai 25 persen, sehingga pasar, gerakan, dan price setting activity-nya hanya ditentukan beberapa orang. Karena itu, bank-bank besar harus sehat. Kalau sehat, bank tidak lagi memikirkan balance sheet, dan akhirnya fokus ke lending. Jika sebaliknya, bunga sulit turun dan kredit tidak jalan. Kita fokus agar bank besar finansialnya oke. Apalagi hampir separuh, 40 persen, milik pemerintah.

Tapi seharusnya bank besar ini langsung merespons penurunan bunga, diikuti bank kecil?

Seharusnya begitu. Tapi, karena situasi di luar belum pasti dan krisis sangat labil, ada time lag. Bukan karena bank bermasalah. Jangan khawatir, isu ini akan hilang setelah pemilu. Lending akan jalan lagi.

Batas kepemilikan asing di bank Indonesia 99 persen itu masih relevan?

Sebetulnya komitmen kita di WTO, bank campuran cuma 85 persen. Kalau 99 persen, tidak melanggar WTO. Kita dianggap melanggar jika di WTO ditetapkan 85 persen, tapi pelaksanaannya kita batasi 51 persen, misalnya.

Bisakah komitmen di WTO kita kurangi dari 85 persen?

Harus dilihat plus-minusnya, apa tujuannya. Tak bisa dikatakan pokoknya tidak boleh ada orang asing. Karena kita juga melihat dampak terhadap usaha mikro, kecil, dan menengah, misalnya. Faktanya, karena ada alternatif bank, bank perkreditan rakyat yang bunganya tinggi berusaha efisien, menjual lebih murah kepada konsumen. Akhirnya usaha kecil diuntungkan.

Bagaimana kekhawatiran hasil dividen bank dibawa pulang pihak asing?

Sampai hari ini belum ada indikasi itu. Kalau tidak ada sumber dana dan dividen lebih profitable di tempat lain, kenapa harus ditarik dari sini? Itu logika ekonomi. Secara teoretis bisa saja dibawa lari. Tapi kita selalu memonitor. Ada istilahnya inter-office fund yang harus dijaga cabang bank dari unit luar negeri, tidak boleh kurang. Ibaratnya, ada modal yang harus disetor bank.

Apakah cabang bank swasta yang sudah dimiliki asing itu dibatasi?

Tidak ada pembatasan. Bank-bank itu kan milik pribumi, hanya kulitnya putih.

Bank asing tidak hanya menggenjot penyaluran kredit ke usaha kecil, tapi juga kredit konsumsi.

Kita tidak bisa mengasumsikan kredit konsumsi itu melulu konsumtif. Misalnya, orang membeli motor untuk ojek, membeli kulkas tapi membuat es mambo untuk dijual. Ini bukan konsumtif, justru memunculkan home industry. Konsumtif tidak selamanya jelek.

Apa yang paling mengkhawatirkan?

Kredit konsumsi yang import oriented-nya besar dan tidak ada multiplier value added di sektor lokal. Harus dilihat satu-satu. Jangan terkecoh kredit konsumtif atau tidak.

Penawaran kartu kredit itu gencar sekali.

Nah, yang ini bisa dikatakan kredit konsumtif. Tapi sebetulnya kartu kredit tidak salah karena memudahkan transaksi. Yang salah, edukasi terbatas dan proses aplikasi mudah, sehingga kartu kredit seperti menambah kekayaan. Karena risiko lebih tinggi, bunganya mahal, NPL-nya juga tinggi. Meski turun, di antara kredit konsumsi, NPL dari kartu kredit yang tertinggi.

Apa yang harus dikhawatirkan dari kredit konsumsi?

Di luar kartu kredit, kredit konsumsi NPL-nya terendah. Artinya, bank melihat risiko kredit konsumsi di Indonesia tidak berbahaya. Misalnya, NPL dari kredit pemilikan rumah tidak terlalu tinggi.

Kecilnya NPL kredit konsumsi itukah yang menyebabkan bank asing gencar?

Sebetulnya tidak, mereka malah fokus ke usaha kecil dan menengah. Tidak hanya karena risikonya kecil, tapi karena potensinya besar. Jangka waktu pinjamannya pendek dan menguntungkan. Satu bank di Cipanas, petugasnya cuma dua orang, tapi volume usaha sangat besar. Cuma kasih kredit ke tukang sayur, turn-over-nya triliunan rupiah.

Lalu siapa yang akan memberikan kredit infrastruktur dan korporasi?

Banyak. Bank besar masih concern ke bidang perkebunan, pertanian, pertambangan. Usaha kecil pun digarap. Tapi kita beri catatan: pertumbuhan terlalu cepat harus terkontrol. Segala sesuatu yang berlebihan kan tidak baik. Penyaluran kredit harus didukung manajemen risiko. NPL jangan tinggi.

Kenapa bank kita sulit membuka cabang di luar negeri?

Saya juga mendapat keluhan dari bank-bank kita yang ingin membuka cabang di Cina dan Malaysia, dan sudah kita adukan ke regulator di sana. Regulator di Cina bilang, tidak masalah, bisa didiskusikan. Kita kan sesama anggota G20, standar kita diketahui, mereka tidak lagi khawatir negara berkembang menambah vulnerability industri perbankan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus