Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DIREKTUR Utama Bank Century Maryono melangkah ringan memasuki ruang konferensi pers di lantai 27 Graha Niaga, Jakarta, Kamis dua pekan lalu. Siang itu dia hendak mengumumkan kabar gembira: tahun ini, hingga Juni, Century untung Rp 139,99 miliar. ”Bank Indonesia sudah menetapkan kami keluar dari pengawasan khusus,” kata Maryono. Sepanjang semester pertama tahun ini, dana pihak ketiga di bank itu bertambah Rp 950 miliar.
Kondisi ini berbeda 180 derajat dengan tahun lalu, ketika Century nyaris ambruk gara-gara praktek pengelolaan investasi yang sembrono. Bank itu kalah kliring pada 13 November 2008—gagal menyetor dana talangan Rp 5 miliar sebagai syarat turut serta dalam transaksi antarbank hari itu. Melalui Lembaga Penjamin Simpanan, pemerintah lalu mengambil alih Century dan menggelontorkan dana talangan Rp 2,5 triliun.
Century cuma salah contoh bank yang terjerembap bukan karena kalah bersaing. Menurut Direktur Biro Riset Infobank Eko B. Supriyanto, dalam 20 tahun terakhir tidak ada bank yang tutup karena kalah bersaing. ”Pengamatan saya, semua bank, kecuali dua yang ditutup sendiri oleh pemiliknya, ambruk karena moral hazard,” katanya. ”Biasanya kongkalikong antara direksi dan pemilik bank untuk merampok banknya sendiri.”
Sebenarnya pengawasan terhadap perbankan kini jauh lebih ketat dibanding sebelum krisis 1997. Antara lain, sejak 1999, telah diberlakukan sistem informasi debitor yang mewajibkan bank mengkonsultasikan calon debitor mereka kepada bank sentral. Tapi aksi jahat tetap sulit dicegah.
Menurut Aviliani, ekonom Institute for Development of Economics and Finance yang juga Komisaris Independen BRI, aksi itu terjadi karena pemilik bank merangkap menjadi pengurus. ”Akibatnya, ada conflict of interest. Mana berani pegawai bank kepada pemilik?” ujarnya.
Salah satu contohnya, kata Aviliani, kasus Bank Dagang Bali yang dilikuidasi April 2004. Pada 2001, Bank Indonesia menemukan ada kredit Rp 240 miliar yang melanggar batas maksimum, dan rekayasa pembelian obligasi repo Rp 250 miliar. Juga ditemukan ada kucuran kredit kepada perusahaan fiktif yang dilaporkan milik anggota keluarga I Gusti Made Oka—pendiri sekaligus pemilik Bank Dagang Bali. Ada juga kredit atas nama satpam di bank itu.
Bank sentral memberikan ultimatum agar semua masalah dibereskan sebelum Februari 2003, tapi ini justru menimbulkan problem baru. Sebelum batas tiba, mereka melapor telah berhasil menambah modal dengan menjual obligasi Rp 700 miliar. Pembelinya pemilik Bank Asiatic, Tong Muk Keung, yang tak lain besan Made Oka.
Nyatanya, obligasi ini fiktif. Akhirnya, Bank Dagang Bali dilikuidasi. Tak lama setelah itu, Bank Asiatic ikut ditutup. Mulanya Asiatic diduga megap-megap karena kesulitan likuiditas setelah Bank Dagang Bali dilarang menempatkan dananya di sana. Belakangan ketahuan, bank itu ambruk karena kredit macet 41 debitor—yang semuanya pemilik showroom mobil.
Likuidasi kedua bank itu nyatanya bukan yang terakhir. Pada tahun yang sama, Bank Indonesia menutup Bank Global. April lalu, IFI mendapat giliran. Sebelumnya, IFI sudah dua kali masuk pengawasan bank sentral karena rasio kecukupan modal (CAR)-nya sangat tipis. Pada program pengawasan terakhir, IFI tak tertolong. Rasio kredit macetnya terus naik. Terakhir, Maret 2009, kredit seret IFI mencapai Rp 87,1 miliar dari total kredit Rp 261,9 miliar.
Harusnya para pemegang saham—Grup Ramako, PT IFI Bina Utama, Yayasan Kesejahteraan Pegawai BTN, dan PT Pengelola Investasi Mandiri— menggelontorkan modal tambahan. Tapi mereka akhirnya tak sanggup menambah modal. Apa boleh buat, ketika ditutup, CAR IFI minus 23,71 persen, sementara aset terkuras dari Rp 593 miliar menjadi cuma Rp 440 miliar.
Sejak 1997, tercatat puluhan bank komersial besar dan kecil dilikuidasi. Agar tak ada lagi likuidasi akibat moral hazard, baik Eko maupun Aviliani berpendapat, bank sentral harus mengawasi pemilik dan direksi bank. Jangan sampai ada konflik kepentingan. ”Kalau perlu, mereka di-screening. Jika ada yang punya kecenderungan menyimpang, bisa direm sejak awal,” kata Eko.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo