Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
A. Tony Prasetiantono*
*) Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada dan Chief Economist Bank Negara Indonesia
PERNAH mendengar Wimbledon effect? Istilah ini digunakan oleh Mitsuhiro Kagami (2000) untuk menggambarkan penolakan masyarakat Jepang terhadap privatisasi atau penjualan sebagian saham perusahaan negara telekomunikasi raksasa Nippon Telegraph and Telephone (NTT).
Kagami mengadopsinya dari fenomena yang terjadi di Inggris, menyusul dilakukannya deregulasi sektor finansial pada 1986. Ketika itu, investor asing banyak mengambil alih kepemilikan bank di London, sehingga mereka menjadi dominan. Istilah Wimbledon effect atau Wimbledon phenomenon menjadi terasa tepat sekaligus pahit karena gelar juara tunggal putra dan putri turnamen tenis terakbar di dunia, grand slam Wimbledon, selalu didominasi petenis asing. Tahun ini, misalnya, juaranya adalah Roger Federer dan Serena Williams. Entah kapan petenis Inggris kelak bisa menjuarainya.
Ilustrasi itu menggambarkan bahwa resistensi terhadap dominasi kepemilikan asing tidak saja terjadi di Indonesia, tapi juga di mana-mana, termasuk di negara maju. Inggris risi karena adanya dominasi kepemilikan asing dalam industri perbankannya, sementara Jepang risi dengan penjualan 49 persen saham NTT, yang total menghasilkan rekor penerimaan privatisasi BUMN terbesar sepanjang masa: US$ 110 miliar (Megginson, 2004).
Masyarakat Australia juga menentang rencana Perdana Menteri John Howard (2002), yang hendak menjual sisa 51 persen perusahaan negara telekomunikasi Telstra, dengan target US$ 35 miliar (The Australian, 26 November 2002). Kejadian ini menjadi isu politik yang seru, tapi akhirnya Howard memilih membatalkannya daripada memicu kontroversi tak berujung. Padahal semula Howard berencana menggunakan dana privatisasi untuk membangun infrastruktur dan menyediakan jasa pelayanan publik, terutama di daerah terpencil.
Kasus Indonesia
Wimbledon effect atau semacam xenophobia praktis juga terjadi di Indonesia, terutama ketika pemerintah getol melakukan privatisasi badan usaha milik negara pada periode krisis finansial Asia sejak 1998. Resistensi terbesar terjadi pada saat Semen Gresik dijual kepada strategic partner Cemex, Meksiko (September 1998), dan Indosat dijual dengan cara yang sama kepada Singapore Technologies Telemedia, cucu perusahaan BUMN Singapura, Temasek (Desember 2002).
Di sektor perbankan, pemerintah juga melakukan privatisasi BUMN (Bank Mandiri, BRI, dan BNI) serta divestasi bank-bank swasta yang diambil alih kepemilikannya melalui Badan Penyehatan Perbankan Nasional. Praktis semua bank swasta besar saat itu mengalami negative spread (suku bunga deposito jauh lebih tinggi daripada suku bunga kredit), sehingga rugi besar, dan akhirnya ”memakan” modal ratusan triliun rupiah.
Karena modalnya negatif, bank besar seperti BCA, Danamon, Lippo, Niaga, BII, dan Permata (gabungan Bank Bali, Universal, dan beberapa bank lain) harus disuntik modal dari pemerintah (rekapitalisasi), sehingga mayoritas sahamnya menjadi milik pemerintah. Sesudah itu, bank-bank tersebut pun dijual oleh pemerintah.
Timbul perdebatan saat itu, siapa yang pantas membelinya. Ternyata pemerintah—berdasarkan saran Dana Moneter Internasional (IMF)—memilih menjualnya ke investor asing. Sebagai contoh, Bank Permata semula hendak dibeli konsorsium Bank Mandiri (2004), tapi pemerintah lebih memilih menjualnya kepada Standard Chartered. Kenapa? Jika pembelinya Bank Mandiri, pemerintah ibarat merogoh uang dari kantong kiri dan memasukkannya kembali ke kantong kanan pada celana yang sama. Artinya, tidak akan ada aliran devisa yang masuk Indonesia. Jika investor asing yang membelinya, akan ada tambahan cadangan devisa.
Pada saat itu, sangat penting bagi Indonesia untuk menarik investor asing, karena selain dapat memperkuat kurs rupiah (melalui mekanisme penguatan cadangan devisa), juga dapat mengirimkan sinyal sentimen positif bagi kalangan internasional. Mulai mengalirnya investasi asing kembali ke Indonesia diharapkan dapat memancing dan menginspirasi investor global lain untuk mengalirkan dananya ke Indonesia. Ini akan menjadi prasyarat penting bagi pemulihan ekonomi Indonesia.
Dengan setting semacam itu, argumentasi kehadiran investor asing membeli saham-saham perbankan nasional bisa diterima. Namun, belakangan ini, tren meningkatnya kepemilikan asing pada sektor perbankan terus berlangsung. Kini bukan saja bank-bank besar sekaliber BCA atau Danamon yang diincar investor asing. Bank-bank kecil juga laris manis dibeli investor asing. Mengapa?
Berdasarkan diskusi dengan para bankir asing yang suka bertamu ke kantor saya, dapat disimpulkan bahwa perbankan Indonesia memang sangat menarik bagi investor asing. Dari sisi pencapaian net interest margin (NIM), Indonesia adalah ”surga”-nya. Di Indonesia, NIM bisa mencapai 11 persen, padahal di negara maju dan negara tetangga (Singapura, Malaysia, Thailand) cuma 1,5 hingga 3 persen. Betapa jauh bedanya. Indonesia benar-benar fantastis.
Dengan kata lain, bank-bank di Indonesia jauh lebih menguntungkan, karena perbedaan antara suku bunga kredit dan suku bunga deposito sangat lebar. Margin keuntungan tebal. Karena itu, ibaratnya, membeli bank jelek di Indonesia pun, jika kemudian diperbaiki, kelak tidak sulit untuk bisa diubah menjadi menguntungkan.
Masihkah relevan?
Ketika mengalami krisis 1998, kita memang tidak mempunyai kemewahan untuk memilih, sehingga saham bank-bank terpaksa dijual ke asing. Investor asing kita perlukan untuk menaikkan confidence terhadap perekonomian kita. Waktu itu saya bahkan sempat berpikir bahwa ke depannya Indonesia tidak terlalu urgen untuk memiliki bank BUMN. Toh, bank-bank swasta juga bisa berkinerja baik, membayar pajak, menyerap tenaga kerja, menyalurkan kredit, dan dapat membantu pertumbuhan ekonomi.
Namun jalan pikiran itu kini berubah. Saya yakin pemerintah masih perlu memiliki bank BUMN, dan kepemilikan asing dalam industri perbankan kita perlu dibatasi. Kenapa? Jika tidak ada bank BUMN, siapa yang bisa menjamin bank-bank swasta mau memberikan kredit infrastruktur, atau kredit korporasi, yang berpotensi mendorong pergerakan ekonomi tapi juga sarat risiko?
Bank-bank swasta pasti lebih senang berfokus pada business as usual yang sarat keuntungan dan minim risiko, misalnya di sektor kredit konsumen (consumer loan) dan retail. Apa perlunya mencari penyakit dengan memberikan kredit korporasi jika berjualan kartu kredit saja sudah jauh menguntungkan? Jika semua bank berfokus pada segmen kredit ini, lalu siapa yang akan memberikan kredit jalan tol, monorel, pelabuhan, waduk, jaringan listrik, dan seterusnya?
Saat ini kita juga tidak sedang tertekan dalam hal neraca pembayaran. Cadangan devisa kita kini US$ 57 miliar, kurs rupiah di bawah 10 ribu per dolar Amerika, dan indeks harga saham gabungan di atas 2.200. Tatkala pertumbuhan ekonomi hampir semua emerging markets mengalami kontraksi (negatif), perekonomian Indonesia masih bisa tumbuh empat persen. Indonesia kini bahkan menjadi lahan investasi yang paling atraktif bagi investor asing (terutama portofolio) dan cuma kalah dibandingkan dengan Cina dan India.
Dalam situasi ekonomi yang ”normal” seperti sekarang, keberadaan investor asing pada bank-bank kita tidak lagi urgen. Memang ada argumentasi yang mengatakan investor asing bisa membawa sederet manfaat, misalnya teknologi, etos kerja, dan sistem manajemen. Namun, di zaman yang serba global ini, semua kelebihan investor asing itu pun bisa kita pelajari, kita adopsi, bahkan kita beli.
Secanggih apa pun level teknologi informasi bank-bank terbaik di dunia, bank-bank di Indonesia juga sudah menyamainya. Bank-bank kita terus memutakhirkan teknologi informasinya. Mau bukti? Lihatlah betapa canggih dan kompletnya fitur internet banking, mobile (phone) banking, dan automated teller machine bank-bank kita. Bandingkan dengan bank-bank di luar negeri. Sama sekali tidak ada bedanya.
Karena itu, saya pikir kita perlu membatasi kepemilikan asing dalam industri perbankan kita. Kepemilikan asing masih boleh dilakukan, tapi sebatas pembelian saham di pasar modal. Jika ada bank lokal hendak dijual dengan metode strategic sale, sedapat mungkin itu dilakukan melalui konsolidasi (merger dan akuisisi) dengan bank-bank lokal lain. Bank Indonesia perlu lebih agresif dalam memfasilitasi dan memberikan insentif terhadap aksi-aksi korporasi ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo