Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
James Bourk Hoesterey mulai jatuh hati pada Nusantara, 17 tahun silam. Usianya baru 19 tahun, baru semester pertama di Marquette University, Amerika Serikat. Mendapat kesempatan pelesir dua pekan ke Papua bersama serombongan mahasiswa lain, ia masuk lewat pelabuhan Biak. Ia lalu ke Jayapura, dan naik ke daerah pegunungan dekat Wamena untuk bertemu dengan suku Dani.
"Saya melihat Indonesia dari tempat seperti Papua, tempat transmigran Jawa dan banyak orang asli. Ada yang sukses, ada yang menghadapi kesulitan," kata Hoesterey, kini peneliti di Center for Southeast Asian Studies, University of Michigan, Amerika Serikat. Ia memberi kuliah tentang Islam dan budaya pop di Lake Forest College.
James muda langsung terpikat pada negeri ini. Ia memutuskan melanjutkan kuliah S-2 dan S-3 dalam bidang antropologi budaya untuk meneliti Indonesia. Untuk persiapan, ia mengambil kursus bahasa Indonesia di Cornell University, Falcon. Kesempatan kembali ke Indonesia datang pada 1998. Ia menetap dua bulan di Sumatera Barat, meneliti budaya merantau masyarakat Minang untuk tesis masternya di University of South Carolina. Selama lima tahun sejak 2002, ia menjadi konsultan antropologi dalam beberapa proyek pembuatan film dokumenter Discovery Channel. Pada 2002, dia ikut membuat The Chief who Speaks with God, film tentang agama suku Bunan Mee di Papua.
Pada 2003, dia terlibat lagi dalam pembuatan film dokumenter Planes, Pigs, and the Price of Brides, tentang cara suku Migani bergotong-royong membangun lapangan terbang perintis. "Tempat itu tidak jauh dari tambang Freeport. Kalau tidak salah kira-kira sejauh 20 menit," katanya.
Ia juga terlibat dalam pembuatan film lain tentang Papua, Gentle Cannibals, tentang upacara berburu kepala di suku Korowai. Lalu Living with the Kombai & Living with the Mek, tentang kehidupan suku Mek. Terakhir, pada 2009, dia terlibat pembuatan film untuk seri Human Planet untuk BBC, yang mengangkat kehidupan suku Korowai. Film ini masuk unggulan penerima BAFTA Award, penghargaan film setara dengan Oscar di Inggris.
Menjelang akhir program PhD-nya pada Departemen Antropologi University of Wisconsin-Madison, perhatian Hoesterey beralih dari Papua ke Bandung, dari masalah kesukuan ke Islam. Saat itu banyak muncul dai baru—seperti Abdullah Gymnastiar atau Aa Gym dan Yusuf Mansyur—yang menggunakan metode lebih segar dan populer dalam berdakwah.
Dia lalu mempelajari Manajemen Qalbu milik Aa Gym. Ia rajin menjumpai para dai kondang, termasuk Muhammad Arif Ilham, Jefri al-Buchori, dan penyanyi Opick. Para pengikut dai mengangkat alis melihat Hoesterey masuk komunitas mereka. Ketika dua tahun berada di lingkungan Pesantren Daarut Tauhid, Jalan Gegerkalong Girang, Bandung, ia disambut dengan baik tapi dicurigai sebagai mata-mata. Menurut Hoesterey, pengasuh Daarut Tauhid berkomentar enteng. "Kalau Jim (James) intel CIA, tidak apa-apa. Nanti kalau pulang ke Amerika, dia akan menjelaskan kepada pemerintah Amerika dengan informasi lebih lengkap dan lebih benar tentang Islam di Indonesia."
Penelitiannya di Bandung menghasilkan disertasi "Sufis and Self-help Gurus: Islamic Psychology, Religious Authority, and Muslim Subjectivity in Contemporary Indonesia". Dia melihat peran ulama seperti Aa Gym sebagai "penolong umat Islam" untuk mengerti tidak hanya soal fikih, tapi juga peran penting budaya populer. Pada Yusuf Mansyur dan pesantren Wisata Hati yang dikelolanya, Hoesterey mempelajari ajaran yang menekankan kekuatan bersedekah. Orang-orang ini, bagi Hoesterey, menjadi figur baru yang punya peran penting dalam kebangkitan dunia Islam di Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo