Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Serantang Rendang di Bandara Seattle

Separuh hidup Daniel Lev tertambat di Indonesia. Sangat mengagumi Yap Thiam Hien.

14 November 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SETELAH mengarungi lautan selama 28 hari dengan kapal barang berbendera Denmark, Daniel Saul Lev bersama istrinya, Arlene O. Lev, menginjakkan kaki di Tanjung Priok, Jakarta. "Seketika dia jatuh cinta pada Indonesia," kata Arlene mengenang pengalamannya pertama kali tiba di Jakarta pada 1959.

Ketika itu, Dan Lev berumur 26 tahun dan Arlene 22 tahun. Mereka baru setahun menikah. Lev datang ke Indonesia untuk penelitian disertasinya di Universitas Cornell, Ithaca, Amerika Serikat. Sebelum tiba di Jakarta, ia hanya mengenal Indonesia dari buku, cerita sahabat Indonesianya, dan, tentu saja, George McTurnan Kahin, sang guru.

Pada suatu hari pada 1955, menurut Arlene, Lev bertemu dengan George Kahin. Entah apa yang mereka bicarakan. Tapi, sejak bertemu dengan pendiri The Cornell Modern Indonesia Project itu, minat Lev terhadap Indonesia langsung melejit. Semula Lev mendalami studi hukum internasional, tapi kemudian banting setir ke ilmu politik. "Dia pikir ini proyek hebat dan penting untuk membantu negara Indonesia yang belum lama berdiri," kata Arlene.

Sejak itulah Dan Lev tenggelam dalam tumpukan teks tentang Indonesia di 102 West Avenue—markas The Cornell Modern Indonesia Project. Di sana, lelaki kelahiran Ohio, 23 Oktober, 1933, itu kemudian mengenal sahabat-sahabat Indonesia pertamanya, antara lain Idrus Nasir "Didi" Djajadiningrat, Selo Soemardjan, Sudjatmoko, serta Umar Kayam dan istrinya, Yus Kayam. Kelak, hubungan Lev dan Arlene dengan keluarga Umar Kayam sudah seperti saudara.

Tiga tahun di Jakarta, Lev dan Arlene Lev berpindah-pindah kediaman. Mulanya mereka tinggal bersama keluarga Didi Djajadiningrat, kemudian di rumah Besar Martokoesoemo, advokat pertama Indonesia, di bilangan Menteng, sebelum akhirnya menetap di sebuah kontrakan di Kebayoran Baru. Kelak, periode pertamanya di Indonesia itu melahirkan The Transition to Guided Democracy: Indonesian Politics 1957-1959, yang menjadi buku klasik dan banyak dirujuk orang.

Berulang kali datang ke Indonesia, Lev tak melulu menulis dan meneliti. Ia juga kerap bertukar pikiran dengan pemuda dan kaum cendekia Jakarta. Di sini ia berkenalan antara lain dengan Adnan Buyung Nasution dan Yap Thiam Hien. Rumah Buyung di Menteng ketika itu selalu menjadi tempat diskusi politik dan hukum yang gayeng. Bahkan, menurut Buyung suatu kali, dari diskusi-diskusi itulah tercetus gagasan pembentukan Lembaga Bantuan Hukum.

Lev memang tak cuma piawai dalam studi ilmu politik. Ia juga fasih berbicara tentang hukum Indonesia. Setelah menulis The Transition, ia menulis Law and Politics in Indonesia serta Islamic Courts in Indonesia. Tak mengherankan jika ia akrab dengan banyak sarjana hukum Indonesia. Pada awalnya, Lev mengenal advokat semacam Besar, Yap, dan Buyung. Berikutnya, ia akrab pula dengan Todung Mulya Lubis, Marsillam Simanjuntak, Erman Rajagukguk, dan Arief Tarunakarya Surowidjojo.

Belakangan, ketika berdiskusi, kata Arief Surowidjojo, Lev kerap berseloroh. "Kalian ini pengecut. Kalau mau perubahan, terjunlah ke politik," kata Arief menirukan Lev. Menurut pendiri Pusat Studi Hukum dan Kebijakan itu, Dan Lev memang berharap anak-anak muda bisa mengubah keadaan. Itu sebabnya, saban datang ke Jakarta, Lev senantiasa mampir ke kantor LBH atau Pusat Studi Hukum, serta berkeliling ke banyak daerah untuk melihat perubahan.

Pergaulannya dengan para aktivis hukum itu tak menjauhkan Lev dari orang-orang jelata di sekelilingnya. Menurut Arief, Lev pernah memodali seorang tukang sate di Pasar Santa untuk berdagang. Ia juga berkawan dengan seorang dokter telinga di Pasar Senen. "Dia terkesan gara-gara, setelah berobat dua-tiga kali ke sana, telinganya sembuh total," kata Arief. Padahal dokter Amerika tak bisa menyembuhkan gangguan pendengarannya.

Indonesia rupanya betul-betul meninggalkan kesan mendalam di hati Dan Lev. Rumah mungilnya di Seattle, tempat ia menghabiskan hari-hari terakhirnya, dipenuhi benda-benda dari Indonesia. "Taplak batik, perlengkapan rumah, bahkan koleksi musiknya," kata Arief, yang mengenal Lev sejak 1983 setelah dipertemukan oleh Buyung. Setiap kali ada simposium atau seminar tentang Indonesia di University of Washington, pastilah rumahnya menjadi pusat kegiatan. Seperti saat diselenggarakannya Simposium Gender Indonesia, ketika berbagai peneliti, wartawan, dan aktivis berkumpul di Seattle, antara lain Ben Anderson, Dede Oetomo, dan Sita Kayam, maka rumah Lev dan Arlene menjadi tempat reriungan.

Tak ketinggalan pula soal makanan. Menurut Arlene, suaminya amat menyukai makanan Indonesia yang pedas-pedas. "Meski dia juga suka gudeg Yogya," kata perempuan 74 tahun ini. Arief Surowidjojo juga punya kenangan soal kegemaran Lev yang ini. Tiga bulan sebelum Lev wafat, Arief tinggal di rumahnya selama seminggu. Selama itu, Arief memasakkan makan siang menu Indonesia untuk Lev. "Di tengah sakitnya ketika itu, Lev tampak bahagia," ujar Arief.

Yang lucu, kata Arief, sepulang dari Indonesia, Lev pernah menandaskan serantang rendang sekaligus di Bandara Tacoma Seattle. Gara-garanya, petugas melarang sang profesor membawa rendang melewati pintu pemeriksaan. "Daripada disita, dia habiskan rendangnya di depan petugas."

Sebelum wafat, Lev mewariskan sebagian koleksi bukunya kepada Pusat Studi Hukum dan Kebijakan. Berkardus-kardus buku ia kirim dari Seattle. "Lev sendiri yang memilih buku-bukunya," kata Arlene. Di perpustakaan Pusat Studi, buku-buku Lev bersanding dengan belasan ribu buku lain. Untuk mengenang jasa dan pemikiran Lev, perpustakaan ini dinamai Daniel S. Lev Law Library.

Tapi jejak Lev tak cuma ada di rak buku. Tak jauh dari perpustakaan, menyempil sebuah ruangan seluas 3 x 3 meter persegi yang sekelilingnya kaca. Dulu ruangan ini sengaja diisolasi khusus tempat Lev merokok. Ia kerap mengajak Arief dan kawan-kawan berdiskusi sembari merokok di sini. Lev memang pecandu berat kretek—bukan rokok putih—dan kopi. Sepeninggal Lev, kini, ruangan tersebut jadi musala.

Barangkali gara-gara rokok pula ia divonis kanker paru-paru. Tapi, sebelum wafat pada 2006, gara-gara sakitnya itu, Lev menghabiskan waktu menulis biografi Yap Thiam Hien. Buku ini obsesi lamanya. Lev kenal Yap luar-dalam dan amat mengagumi perjuangannya. "Pengabdiannya pada keadilan dan kesediaannya mengorbankan diri sendiri berpengaruh kepada siapa pun yang di dekatnya," tulis Lev suatu kali. "Mereka seperti kakak-adik," kata Arlene.

Buku yang kelak dinamai No Concession: The Life of Yap Thiam Hien, Indonesia Human Rights Lawyer itu hampir rampung ketika Lev menutup mata. Arlene dan Sebastian Pompe, sarjana hukum asal Belanda yang lama tinggal di Indonesia, melengkapi bab yang tercecer. Sedangkan Benedict R.O'G. Anderson menyempurnakannya dengan memberi kata pengantar. "Saya cuma bikin introduction yang rada panjang," kata Ben merendah.

Ben Anderson pula, di antara para sahabat Indonesianisnya, yang mendampingi saat-saat terakhir Lev. Keduanya memang bersahabat sejak sama-sama aktif di The Cornell Modern Indonesia Project. Ketika Ben datang ke Indonesia pada awal 1960-an, adalah Lev yang mencarikannya tempat indekos dan menitipkannya di rumah keluarga Mohammad Husein Tirtaamidjaja, anggota Mahkamah Agung, ayah desainer Nusjirwan Tirtaamidjaja alias Iwan Tirta.

Mendengar Lev koma, Ben, yang sedang berada di Afrika Selatan, langsung terbang ke Seattle. Begitu masuk ke ruangan tempat Lev terbaring di rumah sakit Seattle, atas usul Arlene, Ben menggenggam tangan Lev dan berbisik ke telinganya. "Aku berjanji akan merampungkan bukumu," kata Ben. Seolah-olah tinggal menunggu Ben, dua puluh menit kemudian, Lev menghadap Yang Mahakuasa.


Buku-buku 'Sakti' Cornell, Harvard, dan Ohio

1.Cornell University, Ithaca, New York:
Melalui Cornell Modern Indonesia Project, yang dirintis George McTurnan Kahin, kampus ini menghasilkan Indonesianis ternama, seperti Benedict Richard O'Gorman Anderson, Ruth McVey, Herbert Feith, Daniel S. Lev, dan Harold Crouch. Untuk lebih menyemai pemikiran tentang Indonesia lintas benua, dipublikasikan juga majalah Indonesia. Para Indonesianis Cornell, menurut salah satu lulusannya, Direktur Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial Daniel Dhakidae, adalah simpatisan perjuangan dan demokrasi Indonesia karena, "Mereka ikut menentukan arah Indonesia."

2. Harvard University:
Profesornya, Clifford Geertz, adalah antropolog yang meneliti tentang pertanian di Pulau Jawa dan Bali. Dia mendeskripsikan agama di Jawa serta mengecilnya "jatah" tanah pertanian, yang dibagi-bagi di antara kerabat di masyarakat Indonesia seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk. "Menarik buat Barat karena, dalam teori modernisasi, mestinya tanah bertambah besar," kata Rizal Mallarangeng, yang menjadi murid William Liddle di Ohio State University. William, menurut Celi—panggilan Rizal—pernah belajar kepada Geertz. Oleh Daniel Dhakidae, Geertz dan Kahin dianggap sebagai dua perintis studi tentang Indonesia modern. Harvard juga sering bekerja sama dengan Universitas Berkeley, yang menghasilkan ekonom Indonesia yang laku pada masa Orde Baru.

3. Ohio State University:
Profesor William Liddle merupakan Indonesianis yang banyak melahirkan pakar politik dari Tanah Air hingga kini. Menurut pendiri Freedom Institute, Rizal Mallarangeng, salah satu muridnya, pendekatan kuantitatif yang umum dipakai di Amerika Serikat, yang terbiasa dengan survei, merupakan ciri khasnya dalam melihat perilaku dan proses politik.


Karya Monumental

1. Nationalism and Revolution in Indonesia (1951)
Buku ini adalah hasil petualangan George McTurnan Kahin bersama elite politik Indonesia, seperti Natsir, Sjahrir, Sukarno, Hatta, dan Tan Malaka, dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia sejak 1946. Kahin adalah serdadu wajib militer yang jatuh cinta pada Indonesia ketika tergabung dalam pasukan terjun payung saat pendudukan Jepang. Kahin "ikut" berperang melawan Belanda dan merekam semua kejadian itu dalam catatannya, yang kemudian menjadi disertasi dan diterbitkan menjadi buku tersebut. Selain itu, dia menulis untuk tesisnya di Stanford University tentang peran kalangan etnis Tionghoa di Indonesia dan terbit menjadi buku Political Thinking of the Indonesian Chinese pada 1946.

2. The Religion of Java (1960)
Sampai kini masih dirujuk pemerhati Indonesia yang ingin melihat struktur budaya sampai perilaku politik Indonesia. Penulisnya, antropolog Clifford Geertz, yang meneliti masyarakat Jawa dan Bali selama puluhan tahun, menilai perilaku ini bisa dibagi menjadi tiga kelompok masyarakat: priayi, santri, dan abangan. Geertz juga menghasilkan Agricultural Involution: The Process of Ecological Change in Indonesia, yang menjadi pedoman melihat perkembangan ekonomi masyarakat dalam modernisasi. Alih-alih bertambah luas seiring dengan pertumbuhan jumlah penduduk, di Indonesia, sawah sepetak menjadi petak-petak lebih kecil untuk rezeki masing-masing keluarga.

3. Java in Time of Revolution: Occupation and Resistance 1944-1946
Karya Benedict Richard O'Gorman Anderson ini, menurut Daniel Dhakidae, di lingkungan Department of Government Cornell University, merupakan karya tentang Indonesia yang antitesis Kahin. Menjelaskan perlawanan Indonesia terhadap Belanda bukan dari kalangan elite, seperti Sukarno-Hatta dan Sjahrir, tapi karena gerakan pemuda. Ben juga menulis tentang simbol-simbol partai dan kekuasaan yang dipakai elite Indonesia kala itu dalam Language and Power: Exploring Political Cultures in Indonesia, yang diterbitkan Cornell pada 1990. Bersama Ruth McVey, dia menyelidiki langsung peristiwa Gerakan 30 September 1965 dalam A Preliminary Analysis of October 1, 1965, Coup in Indonesia. Tulisan itu sebetulnya baru sebuah rangkuman yang disebar ke beberapa akademikus Amerika sahabat keduanya, tapi bocor ke Indonesia pada masa Soeharto. Akibatnya, sejak 1973, dia dicekal masuk Indonesia. Cekalnya berakhir pada 1999.
Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of Nationalism, terbit pada 1983, adalah karya Ben tentang gerakan nasionalisme di seantero dunia. Ben mengambil contoh di Amerika Utara dan Prancis, yang mengalami revolusi pembebasan oleh kesadaran masyarakat yang menentang monarki.

4. The Rise of Indonesian Communism
Buku karya Ruth McVey ini dianggap sebagai empu tentang komunisme di Indonesia dan Asia Tenggara. Maklum, Asia Tenggara saat itu menghadapi ancaman "merah" dari Cina, Vietnam, dan Kamboja, termasuk Indonesia. Dia menjelaskan kemunculan Partai Komunis Indonesia pada 1914 hingga meredup setelah memberontak terhadap Belanda pada 1926.

5. The Transition to Guided Democracy: Indonesian Politics 1957-1959
Buku terbitan Cornell ini mengungkap persiapan dan alasan Sukarno memilih Demokrasi Terpimpin setelah Demokrasi Parlementer. Karya Daniel S. Lev ini menjadi rujukan tentang proses politik sebelum dekrit presiden dikeluarkan Sukarno.

6. Ethnicity, Party, and National Integration: An Indonesian Case Study
Buku yang terbit pada 1970 ini berisi penjelasan tentang perilaku politik Indonesia yang berkaitan dengan kelompok etnis di Indonesia. Karya William Liddle ini menjadi salah satu rujukan penting memahami politik Indonesia hingga kini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus