Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Michael Buehler berusia sembilan tahun ketika mengikuti bapak baptisnya, seorang pegawai di perusahaan susu Nestle, bermukim di Jakarta selama tiga tahun sejak 1985. Dia orang Swiss dan melihat Indonesia sebagai dunia yang jauh berbeda dengan kampung halamannya. Perbedaan itu makin kentara ketika dia melancong dari Flores sampai Aceh pada 1997.
Buehler tertarik terutama pada politik Indonesia. "Di Swiss saya tak bisa merasakan politik lagi karena di sana sudah mapan," kata pria yang pernah menjadi konsultan masalah pemerintahan, reformasi politik, dan strategi pemberantasan korupsi pada Asia Foundation, German Technical Cooperation, UNDP, dan Bank Dunia itu.
Sebaliknya, dia melihat setumpuk masalah terpampang di Indonesia, dari korupsi, partai politik, hingga Islam. Bagi guru besar madya di Departemen Ilmu Politik Northern Illinois University, Amerika Serikat, ini, hal seperti itu bagaikan laboratorium. "Banyak pertanyaan yang menarik dan bergaya bagi ilmu politik," ujarnya.
Sehingga, ketika dia menyiapkan disertasinya di London School of Economics and Political Science pada 2004, dia mencari topik tentang Indonesia yang paling penting dan aktual. Pilihannya jatuh pada masalah otonomi daerah dan pemilihan kepala daerah, yang melahirkan disertasi "Politics in Formation: An Analysis of the 2005 Direct Elections of Local Government Heads in Indonesia". Pengalamannya selama penelitian itu membuatnya terus mengamati perkembangan daerah-daerah di Indonesia saat ini, termasuk lahirnya peraturan daerah berbasis syariah.
Buehler berada di barisan Indonesianis muda di Amerika Serikat masa kini. Umumnya para peneliti asing yang mengkaji Indonesia dikelompokkan dalam tiga generasi. Generasi pertama adalah yang datang di masa perjuangan kemerdekaan Indonesia, seperti George McTurnan Kahin dan Clifford Geertz. Generasi kedua muncul di masa 1960-an, seperti Benedict Anderson, William Liddle, Daniel S. Lev, dan Herbert Feith. Generasi ketiga hadir di era 1970-an dan sesudahnya, seperti Robert W. Hefner dan Takashi Shiraishi. Maka orang seperti Buehler, yang datang ke Indonesia pada 1980-an ke atas, dapatlah kita masukkan sebagai Indonesianis generasi keempat.
Ada banyak ahli muda di Negeri Abang Sam dari generasi baru ini. Beberapa di antaranya adalah Thomas Pepinsky di Cornell University, Benjamin Smith di University of Florida, Tuong Vu di University of Oregon, dan Dan Slater di University of Chicago, James Bourk Hoesterey di University of Michigan, Rachel Rinaldo di University of Michigan, dan Jeffrey Hadler di University of California.
Beberapa peneliti itu mengenal Indonesia sejak belia, seperti James Bourk yang berdarmawisata ke Papua saat masih berusia 19 tahun. Eunsook Jung, guru besar madya di Fairfield University, mengikuti program pertukaran pelajar selama enam bulan di Yogyakarta pada 1995, saat masih mahasiswa tingkat sarjana di University of Korea. "Saat itu rezim Soeharto masih berkuasa dan saya sempat berbicara dengan banyak mahasiswa yang menginginkan perubahan. Itu membuat saya benar-benar ingin belajar tentang Indonesia lebih jauh," kata Jung.
Dia kemudian menulis tesis tentang gerakan perempuan Indonesia. Karya ini diteruskannya dengan disertasi di University of Wisconsin tentang partisipasi politik tiga organisasi Islam, yakni NU, Muhammadiyah, dan Partai Keadilan Sejahtera.
Perkenalan dapat pula melalui jalur pertukaran pelajar, seperti American Field Service (AFS), yang dialami Jeffrey Hadler, guru besar madya di University of California, Berkeley. Hadler tiba di Jakarta pada 1985 saat berusia 17 tahun dan bersekolah di SMA Negeri 3. Kebetulan bapak angkatnya orang Minang dan membuatnya tertarik pada budaya Sumatera Barat. "Percaya atau tidak, masa saya setahun di Indonesia itu benar-benar menanamkan benih pada saya. Saya sudah memikirkan budaya Indonesia," kata Hadler, yang kemudian menulis disertasi "Places Like Home: Islam, Matriliny, and the History of Family in Minangkabau" di Cornell University. Dia juga baru meluncurkan Sengketa Tiada Putus: Matriarkat, Reformisme Islam, dan Kolonialisme di Minangkabau, edisi bahasa Indonesia dari bukunya yang diterbitkan Freedom Institute, dan kini sedang meneliti sosok Nashar, pelukis asal Padang.
Bagi Rachel Rinaldo, guru besar madya di University of Virginia, perkenalannya dengan Indonesia adalah sebuah kejutan budaya. Dia tinggal pada sebuah keluarga di Malang selama setahun lewat program AFS. Saat itu Rachel baru berusia 17 tahun dan tak tahu banyak tentang Indonesia. Di kepalanya, gambaran negara Islam adalah Arab Saudi atau Iran dengan perempuan ber-burqa dan tidak boleh keluar rumah.
"Sampai di Indonesia saya melihat Islam yang begitu berbeda. Saya melihat perempuan berjalan ke sana-kemari dalam kota, berbelanja, bekerja dengan banyak profesi, menyetir, bekerja di ladang padi," kata Rachel, yang kemudian menulis disertasi tentang peran agama dalam mendorong perempuan tampil di ruang publik.
Tampaklah bahwa para peneliti ini memusatkan perhatiannya pada topik tertentu, seperti perempuan dan Islam. Aktualitas tema juga menjadi pertimbangan. Doreen Lee, guru besar madya di Northeastern University, misalnya, tiga tahun lalu menulis disertasi di Cornell tentang gerakan mahasiswa 1998. Kini ia melanjutkan penelitiannya tentang fenomena generasi muda Indonesia masa kini, khususnya kemunculan budaya visual baru, seperti grafiti. "Saya baru memotret dan bertemu dengan para seniman grafiti di Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta," kata perempuan yang fasih berbahasa Indonesia dan Mandarin ini.
Doreen mengakui adanya semacam tren dalam pilihan topik penelitian, seperti budaya pop dan Islam. "Islam terutama jadi topik pilihan setelah peristiwa 11 September," katanya.
Di bidang ilmu politik, topik penelitian bergeser pada upaya untuk membandingkan dua negara atau lebih dengan penekanan pada studi kuantitatif. "Tren ini dimulai kira-kira 15 tahun lalu. Perbandingan itu harus dilakukan karena memang begitu prasyaratnya, sehingga studi khusus satu negara, seperti yang dulu dilakukan banyak peneliti, kini tak dapat dilakukan lagi," kata Buehler.
Julie Chernov Hwang, guru besar madya di Goucher College, misalnya, menulis disertasi tentang mobilisasi damai kaum muslim dengan membandingkan gerakan Islam di Indonesia, Malaysia, dan Turki. "Politik Islam itu seksi. Tapi yang pertama-tama menarik dari politik Indonesia adalah dinamikanya. Indonesia sangat dinamis, lebih dari semua negara di dunia," kata Julie, yang kini sedang meneliti Partai Keadilan Sejahtera, Partai Persatuan Pembangunan, dan gerakan radikal di Indonesia.
Para peneliti ini rajin berkunjung ke Indonesia dan menggali banyak aspek. Kemunculan para Indonesianis generasi keempat ini memberikan harapan bahwa ranah kajian Indonesia tidaklah sepi peminat. Namun hingga saat ini tampaknya belum muncul suatu tesis atau karya dari tangan mereka yang benar-benar dapat membantu memetakan macam apa masyarakat Indonesia, seperti struktur abangan-santri-priayi di masyarakat Jawa yang diperkenalkan Clifford Geertz melalui karya monumentalnya, The Religion of Java.
Menurut Buehler, pencapaian Geertz itu sukar didapat para peneliti sekarang, karena masyarakat Indonesia kini jauh lebih kompleks dan sedang dalam masa transisi. "Dalam perubahan semacam ini, susah untuk melihat pola baru atau struktur dalamnya. Mungkin butuh sepuluh tahun lagi untuk bisa melihatnya," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo