Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Tak Luput dari Kritik

Karya para Indonesianis Amerika dinilai menjadi pelopor penelitian soal negeri ini. Beberapa dinilai tak lagi relevan.

14 November 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TIGA puluh empat tahun silam, pemuda Jepang itu tiba di Indonesia. Baru 29 tahun usianya saat itu. Tapi Takashi Shiraishi sudah menjadi kandidat doktor Universitas Cornell, New York, Amerika Serikat. Tujuannya ke negeri ini jelas: mencari bahan penyusunan disertasinya.

Takashi—memperoleh gelar master hubungan internasional dari Universitas Tokyo pada 1974—berminat meneliti sejarah Indonesia periode awal 1900-an hingga 1920-an. "Sesuatu yang revolusioner terjadi di Indonesia pada masa itu," tutur Takashi kepada Tempo.

Menurut dia, nasionalisme Indonesia lahir pada masa itu. "Politik modern hadir di Indonesia." Rencananya, Takashi berfokus pada pergerakan Islam dan komunis pada masa itu. Tak main-main persiapannya. Sebelum ke Nusantara, dia mempelajari bahasa Indonesia dan bahasa Jawa.

Sejak 1977 hingga awal 1980-an, selama beberapa pekan Takashi mengunjungi Jakarta, Solo, dan Yogyakarta. Riset dan wawancara dilakukannya. Dia juga ingin mengenal sosok Haji Misbach, tokoh Islam komunis di Surakarta. Melengkapi data, Takashi juga meneliti arsip di Den Haag, Belanda. Di situ, dia mengumpulkan hampir semua salinan dokumen kolonial Belanda tentang Jawa Tengah, khususnya Semarang dan Solo, serta Yogyakarta pada periode yang ia teliti.

Takashi menginap tiga bulan di sebuah desa dekat Kecamatan Delanggu, Klaten, Jawa Tengah. Di sini dia mempelajari ekonomi dan politik pedesaan. "Sangat berguna untuk memahami pentingnya sistem kepemilikan lahan." Dia juga mengunjungi tempat pengusaha batik dan mempelajari sejarah keluarga mereka untuk mengetahui pentingnya industri batik dalam sejarah Surakarta.

Singkat kata, Takashi mempresentasikan disertasinya berjudul "Islam dan Komunisme" pada Desember 1983. Dua tahun berikutnya, dia diajak bergabung di Cornell sebagai asisten profesor sejarah. Untuk menempati posisi itu, Takashi harus melengkapi disertasinya dan mempublikasikannya dalam bentuk buku. Pada 1990, An Age in Motion dipublikasikan. Tujuh tahun kemudian, barulah buku berjudul Zaman Bergerak terbit di Indonesia.

Ketua Komisi Ilmu Sosial Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia Taufik Abdullah menilai buku Takashi termasuk penting untuk memahami keberagaman Islam. "Ada berbagai macam kelompok Islam," ujarnya.

1 1 1

CENDEKIAWAN Cornell—mereka yang menempuh pendidikan atau menjadi peneliti di sana—memang cukup banyak menghasilkan karya soal Indonesia. Beberapa di antaranya bahkan bisa disebut sebagai pelopor. Intelektual Daniel Dhakidae dan sejarawan Taufik Abdullah menilai Indonesianis asal Cornell yang paling senior adalah George McTurnan Kahin. Karya monumentalnya berjudul Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia, dipublikasikan pertama pada 1952, menyoroti perjuangan pra dan pasca-kemerdekaan.

Menurut Daniel, karya Kahin menjadi penting karena memelopori penelitian dari kalangan non-Belanda-Anglo-Saxon. Sebelumnya, penelitian soal Indonesia lebih menjadi Indolog, kebanyakan dilakukan oleh peneliti dari Leiden, Belanda, dengan pendekatan etnografi dan geografi, yang bertujuan menguasai tanah jajahan. "George Kahin tak memandang Indonesia sebagai Hindia Belanda, melainkan sebagai Indonesia," kata Daniel.

Keunggulan Kahin—meninggal Januari 2000 pada usia 82 tahun—terletak pada kondisi faktual yang dilihat langsung. Kahin hadir sekitar setahun setelah Indonesia merdeka. "Dia melakukan penelitian di tengah revolusi," kata Daniel. Karya Kahin inilah yang, menurut dia, menginspirasi Indonesianis Cornell lain, semacam Benedict Richard O'Gorman Anderson.

Daniel dan Taufik Abdullah menilai karya Ben Anderson, kini 75 tahun, yang cukup monumental sebagai Indonesianis adalah Java in a Time of Revolution. Menurut Taufik, buku yang merupakan olahan dari disertasi Ben bertajuk "Pemuda Revolution" ini menyoroti peran pemuda dalam revolusi.

Meski demikian, keduanya mengakui karya Ben yang cukup fenomenal adalah Imagined Communities. "Karya ini membuatnya lebih terkenal ketimbang Java in a Time of Revolution," kata Taufik. Musababnya, Ben menggabungkan penelitiannya soal nasionalisme di Indonesia dengan nasionalisme di sejumlah negara lain. Dari studinya itulah Ben kemudian membuat teori soal nasionalisme. "Melalui buku ini, Ben bisa disebut ahli sosial," ujar Daniel.

Indonesianis Amerika yang juga dianggap menjadi pelopor adalah Clifford Geertz, meninggal pada usia 80 tahun pada 2006. Menurut Taufik, karya monumental Geertz antara lain The Religion of Java, yang diterjemahkan menjadi Abangan, Santri, Priyayi. Karya ini mengungkap persoalan kehidupan beragama ala orang Jawa. "Tak mungkin berbicara soal Jawa kalau tak membaca buku ini," kata Taufik. Daniel dan Taufik juga mengatakan Geertz membangun teori dari hasil penelitiannya di negeri ini.

Meski bisa dianggap monumental, karya para Indonesianis asing tak luput dari kritik. Peneliti Utama Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Bidang Politik yang belum lama pensiun, Mochtar Pabottingi, menilai Imagined Communities karya Ben Anderson tak luput dari kesalahan konsep soal komunitas berbayang. Menurut Mochtar, komunitas berbayang bukan mengacu pada nation seperti diungkap Ben, melainkan pada nasionalisme. "Tak mungkin nation yang sudah terwujud disebut sebagai berbayang lagi. Nation itu nyata, nasionalismelah yang berbayang," kata Mochtar.

Dari tinjauan filosofis pun, teori Ben juga dipandang lemah. Misalnya, ujar Mochtar, Ben mengungkapkan semua komunitas pada dasarnya berbayang, bahkan pada hubungan dua orang. "Itu nonsense. Hubungan kita dengan orang tua di rumah masak dibayangkan? Itu nyata."

Mochtar juga mengkritik pendekatan Clifford Geertz yang hanya bertolak dari monokultur. Disebutkan Geertz, ada semacam prototipe kebudayaan yang mengakibatkan sifatnya tak berubah. Mochtar menilai kebudayaan pada dasarnya tak statis dan terus berubah. "Tak pernah ada blueprint budaya," katanya.

Taufik Abdullah juga menilai teori yang dikemukakan Geertz dalam The Religion of Java juga agak mengabur belakangan ini. Musababnya, terjadi perubahan dan pencampuran antara kaum priayi, abangan, dan santri. Ia mencontohkan, dulu tak banyak orang Jawa berjilbab. "Sekarang sudah banyak yang berjilbab."

Meski demikian, Taufik menganggap karya yang dibangun para Indonesianis itu masih bisa mewakili kondisi faktual. "Yang jelas, karya mereka sangat relevan pada masanya."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus