Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Turun dengan Beragam Alasan

Minat studi tentang Indonesia di Amerika Serikat menurun. Sejumlah lembaga mencoba mengereknya kembali.

14 November 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
material-symbols:fullscreenPerbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Juli silam, James Bourk Hoesterey mengutarakan rencananya. Pada bulan mendatang, Agustus, ujarnya, dia akan bertemu dengan orang-orang USAID-Indonesia. Presiden Indonesia East Timor Studies Council Lake Forest College Chicago ini akan mendiskusikan perihal potensi peneliti baru dan kerja sama dengan universitas-universitas di Indonesia. Selain itu, "Meningkatkan daya tarik Indonesia di mata mahasiswa di universitas-universitas dan masyarakat Amerika pada umumnya," kata Hoesterey.

Minat warga Amerika mempelajari Indonesia memang sedang menukik. Penurunan tersebut mengundang keprihatinan sejumlah pihak, termasuk kampus-kampus yang memiliki program Asia Tenggara, dan pemerintah Amerika sendiri. "Penurunan 40 persen arus siswa pendidikan tinggi Amerika-Indonesia dalam 12 tahun terakhir cukup mengganggu," demikian bunyi laporan misi pemimpin pendidikan tinggi Amerika ke Indonesia yang dikeluarkan dua tahun silam. Laporan tersebut juga menyebutkan sejumlah rekomendasi untuk peningkatan kerja sama di sektor pendidikan tinggi yang berada di bawah program kemitraan komprehensif yang gencar dilaksanakan pemerintah Amerika Serikat belakangan ini.

Laporan tersebut menulis, sekitar 12 tahun lalu mahasiswa Amerika yang belajar ke Indonesia sebanyak 213. Sedangkan dua tahun lalu hanya 130 orang. Lalu, tercatat 13 ribu mahasiswa Indonesia mengambil pendidikan jangka panjang di Amerika pada 1997. Dua tahun silam, angka itu turun hampir separuh, menjadi sekitar 7.500 orang.

Associate professor Departemen Studi Asia Selatan dan Tenggara Universitas California di Berkeley, Jeffrey Hadler, mengakui jumlah mahasiswanya yang mengambil studi tentang Indonesia menurun. Tapi, katanya, secara umum yang mempelajari Asia Tenggara terus meningkat setiap tahun.

Penurunan juga terlihat dari kelas bahasa Indonesia di kampus anggota Consortium for the Teaching of Indonesia (COTI) yang menawarkan kelas bahasa Indonesia untuk tingkat mahir setiap semester ataupun Southeast Asian Studies Summer Institute (SEASSI), yang menawarkan kelas bahasa Indonesia pada musim panas.

Menurut Presiden COTI yang juga pengajar bahasa dan budaya Asia Selatan dan Tenggara Universitas California di Los Angeles, Juliana Wijaya, dulu banyak peminat untuk kelas-kelas di bawah COTI, yang biasa membawa siswanya belajar ke Indonesia. Sehingga, ujarnya, penyeleksian saat itu cukup berat. Kini keadaannya jauh berbeda. "Saat ini hanya tercatat sekitar 20 pelamar," katanya. Padahal, untuk itu semua, yang diterima per tahun 10-12 orang.

Koordinator Program Indonesia di SEASSI, Amelia Joan Liwe, menyatakan hal senada. Pada 1990-an, kata Amelia, banyak mahasiswa Amerika berminat mengikuti pelajaran bahasa Indonesia pada SEASSI di University of Wisconsin-Madison. "Bisa mencapai lebih dari 50 orang," katanya. Pada 2.000-an, angka tersebut menurun drastis. Menurut Amelia, sejak ia menjabat koordinator enam tahun silam, jumlahnya naik-turun. "Tapi belum kembali pada dekade sebelum 2000." Jumlah tertinggi yang tercatat selama Amelia menjadi koordinator adalah pada 2007. Pada tahun itu jumlah mahasiswa setahun tercatat 31 orang. Tahun-tahun berikutnya menurun, dan tahun ini tercatat hanya 16 mahasiswa.

Beragam alasan yang menjadi latar belakang turunnya jumlah mahasiswa itu. Juliana Wijaya dan Mary Jo Wilson—Koordinator Program SEASSI Universitas Wisconsin-Madison—menunjuk salah satu penyebabnya adalah mahasiswa lebih tertarik mengambil bahasa asing yang menjadi tren saat ini, misalnya bahasa Cina atau Jepang.

Pengajar bahasa Indonesia di Universitas Cornell, Jolanda Pandin, menambah alasan lain. Ia melihat, misalnya, masalah anggaran pendidikan dari pihak pemerintah Amerika dan situasi keamanan Indonesia. Menurut dia, selama ini banyak mahasiswa Amerika bergantung pada dukungan dana pendidikan dari pemerintah, atau institusinya, untuk mempelajari bahasa-bahasa asing yang tidak umum pada masyarakat Amerika.

Michael Buehler, asisten profesor Departemen Ilmu Politik Northern Illinois University, menunjuk alasan lain. "Buat pemerintah Amerika, Indonesia tidak terlalu penting lagi," katanya. Sehingga, ujar Buehler, dana yang dianggarkan pemerintah pun tidak begitu besar.

Pada 1960-an, ujar Buehler, pemerintah Amerika menilai Indonesia penting karena takut Indonesia dikuasai dan menjadi komunis. Ketika itu ada konstelasi Perang Dingin, dan Partai Komunis Indonesia merupakan partai komunis terkuat di dunia di luar Cina. "Karena itu, mereka memberi cukup banyak uang untuk meneliti Indonesia," katanya. Menurut Buehler, Pusat Studi Indonesia di Cornell dan Northern Illinois University kala itu mendapat pendanaan besar untuk memahami dinamika di negara-negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Di luar itu semua, dalam lima belas tahun terakhir ini, ujar Buehler, terjadi peningkatan standar penelitian. Seorang profesor, misalnya, harus membandingkan dua negara atau lebih. "Kalau hanya berfokus pada Indonesia, Anda tidak akan mendapat banyak insentif dalam penelitian."

William Liddle, Indonesianis yang juga pengajar Universitas Ohio, memiliki pendapat berbeda. Menurut dia, sebenarnya selama ini tidak pernah ada perhatian terhadap Indonesia. Jadi, ujar Liddle, yang terjadi bukan penurunan. "Mahasiswa yang mengambil kuliah saya dari awal sampai sekarang tetap sedikit," kata pria yang telah mengajar tentang Asia Tenggara selama 40 tahun ini.

Seperti di kampus-kampus lain, mahasiswa di Universitas Ohio, ujar Liddle, lebih tertarik belajar tentang Cina, Jepang, ataupun Eropa. "Indonesia terlalu jauh, kurang maju, dan tidak dikenal orang. Menurut Liddle, banyak mahasiswa S-1 Amerika tidak tahu di mana Indonesia. "Apakah Indonesia bagian dari Bali?" kata Liddle mengutip pertanyaan sejumlah mahasiswanya. Bahkan ada pula yang mengacaukannya dengan Indocina.

Liddle adalah salah satu Indonesianis paling menonjol dari Negeri Abang Sam. Setelah lulus program doktor pada akhir 1960-an dengan mengambil studi tentang Indonesia, praktis sejak itu tidak ada lagi Indonesianis yang bersinar dari kampus Ohio ini. Hingga 1990-an hanya ada segelintir—benar-benar segelintir karena hanya satu atau dua—yang meneliti soal Indonesia hingga mencapai jenjang S-3.

Kondisi seperti itulah yang membuat sejumlah pihak kini berupaya menaikkan minat para mahasiswa Amerika untuk menengok kembali Indonesia. Caranya, antara lain, memperbaiki apa yang ada selama ini. SEASSI, misalnya, menyempurnakan kurikulum dan kualitas pengajar studi tentang Indonesia. "Antara lain dengan membuat program belajar dengan standar pendidikan dan metode pengajaran yang sangat baik dan bertanggung jawab," kata Mary Jo Wilson.

Adapun Liddle mengingatkan akan janji Presiden Obama untuk meningkatkan penelitian tentang Asia Tenggara, terutama Indonesia. Rencana tersebut masuk program kemitraan komprehensif Amerika-Indonesia, antara lain dengan cara meningkatkan jumlah penerima beasiswa Fulbright. "Hanya, saya tidak tahu realisasinya," kata Liddle.

1 1 1

Sejumlah universitas terus melakukan upaya agar studi Indonesia tetap ada, diminati, dan "hidup". Harvard Kennedy School, misalnya, tahun lalu membuka Program Indonesia. Dengan dana US$ 10,5 juta dari Yayasan Rajawali, program Indonesia Harvard Kennedy School menitikberatkan pada pendidikan dan pembangunan kapasitas untuk mendukung pemerintahan yang demokratis dan pengembangan institusional di Indonesia. Kennedy School inilah yang beberapa waktu lalu mengadakan kursus untuk kepala daerah baru terpilih di Indonesia untuk belajar di sana.

Adapun cara yang dipakai para pengajar di Universitas Ohio adalah tetap terus-menerus membicarakan masalah Indonesia. Liddle juga mendekatkan para mahasiswanya dengan Indonesia dengan cara membawa mereka ke kampus-kampus di Indonesia, antara lain ke Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. "Tahun ini, sayangnya, hanya sepuluh orang," ujar Liddle. Ia berharap apa yang dilakukannya itu akan diikuti universitas-universitas lain di Amerika Serikat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus