WALAUPUN tak banyak disoroti, rancangan logo -- atau simbol, atau tanda -- kian mendapat perhatian. Sejumlah sayembara merancang logo diselenggarakan untuk mendapatkan rancangan yang terbaik. Terakhir, pekan lalu, para pemenang sayembara mendesain logo PON XI menerima hadiah mereka di Balai Kota DKI Jakarta. Sayembara mendesain logo PON XI dimenangkan Agus Tony Suharto (pemenang I), Yusanto (pemenang II), dan Dicky Mulyadi (pemenang III). Logo PON XI pun ditemukan: sederetan pilar runcing di bawah gelang-gelang lambang Olimpiade. Dari sisi rancangan desain logo ini tampak apik. Tidak lagi menggambarkan obor, api, atau tangan secara realistis seperti umum dikenal selama ini. Ada ikhtiar mencari simbol dengan jalan menyederhanakan gambar. Pilar, agaknya, diambil dari bentuk latar belakang Patung Proklamator yang dibangun di Jakarta. Tapi seorang perancang grafis menyebutkan, logo ini sebagai kurang mengena. Ketajaman prestasi yang hendak digambarkan perancangnya tak tecermin -- sebab pilar tajam sangat mungkin membangun asosiasi lain. Sementara itu, seorang pengamat olah raga menyebutkan, logo ini kurang menggambarkan dinamika olah raga. Memang, pilar tajam pada logo PON XI tampak simetris dan sangat statis. Toh panitia sudah berusaha memilih yang terbaik. "Logo yang masuk kebanyakan berupa tulisan PON XI," ujar Suyono Danosayogo, sekretaris panitia. "Padahal yang diperlukan lambang, bukan tulisan." Yang tampaknya merepotkan, sayembara ini terbuka: boleh diikuti siapa saja. Karena itu, masuk lebih dari 3.000 rancangan, dari 22 provinsi. Dari jumlah itu relatif tak banyak perancang profesional yang mengikutinya. Kendati sayembara macam ini bisa disebutkan mengundang partisipasi masyarakat, peluang untuk mendapatkan hasil rancangan yang baik menjadi kecil. Priyanto Soenarto, perancang kawakan yang sering menjadi konsultan penyelenggaraan sayembara, berpendapat sayembara merancang logo sebaiknya tertutup hanya untuk lingkungan profesional. "Selain hasilnya bisa diperkirakan, informasi yang akan menjadi 'isi' logo bisa disampaikan dengan intensif," ujarnya. Pengajar utama Jurusan Desain Grafis Bagian Seni Rupa ITB itu menunjukkan contoh: penyelenggaraan sayembara logo Inka (Industri Kereta Api) dan Perumtel (Perusahaan Umum Telekomunikasi). Para peserta sayembara -- dari kalangan profesional -- di undang ke sebuah ceramah: uraian yang intensif mengenai sejarah dan falsafah dasar perusahaan, juga organisasi dan operasinya. Dari data-data ini para perancang logo mencari gagasan. "Mendesain logo tampaknya sangat sederhana, tapi sesungguhnya sangat rumit," ujar Priyanto. "Yang sulit adalah memeras berbagai data yang biasanya tidak visual menjadi gambar yang sederhana, baik ide maupun ungkapannya." Sarjana seni rupa itu menyebutkan pula, sebuah desain logo harus mampu mengikuti "segala cuaca": bisa dibesarkan dan bisa di kecilkan. Bisa digunakan sebagai lambang di sebuah gedung, tapi juga tidak rusak ketika dikecilkan untuk dicantumkan di kepala surat. Karena itu, seorang perancang harus paham titik pandang perspektil dan proses cetak paling tidak. Sebuah garis yang terlalu tipis karena dikecilkan, misalnya, akan hilang pada proses cetak. Logo atau lambang sebenarnya bukan hal baru. Di Indonesia, lambang berikut pembuatan rancangannya sudah lama dikenal -- dan cukup baik. Desain lambang Kesultanan Yogyakarta dan Lambang Keraton Kasunanan Solo, misalnya, termasuk lambang-lambang yang bagus. Bentuknya tetap baik ketika ditempelkan di berbagai benda: kursi, kereta, dan gerbang keraton. Dan juga tidak rusak ketika dikecilkan untuk dipasang di surat nikah misalnya -- menunjukkan desainnya diperhitungkan. Walaupun demikian baru belakangan desain logo tampak lebih diperhatikan. Menurut Wagiono, pemimpin grup Graphik-Graphos Indonesia -- grup yang cukup banyak memenangkan sayembara logo -- perhatian pada rancangan logo yang baik tak bisa dilepaskan dari perkembangan industri di Indonesia. Perusahaan asing yang menjadi bagian dari perkembangan industri itu telah turut meningkatkan apresiasi kalangan pengusaha Indonesia tentang logo. Dari situ desain logo pun populer. Desain logo pun berubah -- sejalan dengan munculnya sekolah khusus desain grafis. Pada masa lalu logo lebih banyak menampilkan lambang-lambang dengan gambar yang cenderung realistis (lambang-lambang pemerintah daerah misalnya), tapi logo-logo masa kini mulai mengurangi unsur "cerita". Pada tahun 70-an, misalnya, muncul gaya logo yang bertolak dari huruf biasanya huruf awal suatu perusahaan, "S" untuk Hotel Sahid, dan "PJ" pada logo PT Pembangunan Jaya, umpamanya. Di samping itu, muncul pula gaya "geometris": desain logo dibuat berdasarkan pola lingkaran, bujur sangkar, dan segitiga -- dengan garis-garis yang lurus, kaku, dan bersih. Apakah logo kemudian menjadi lebih bagus dari segi gambar, agaknya sulit dipastikan. Tapi dan segi komunikasi, menurut Wagiono, logo menjadi jauh lebih baik. "Logo termasuk salah satu bentuk komunikasi yang efisien," ujar perancang kawakan itu. "Seseorang mengingat suatu perusahaan biasanya lewat logonya. Juga dicerminkan bidang perusahaan itu." Bila dibandingkan, logo yang bertopang pada lambang yang "bercerita" umumnya jadi rumit dan sulit dihafalkan. Kendati demikian, Wagiono cenderung kritis melihat gagasan logo yang berangkat dari mengolah huruf yang disebutnya sering menjadi rumit dan sulit ditangkap. Berbeda dengan huruf Jepang yang punya tradisi kaligrafl, huruf Latin, menurut desainer itu, cenderung membangun "citra bunyi". Karena itu, Wagiono cenderung merekomendasikan logo yang mengolah gambar. Ia berpendapat, asosiasi gambar pada masyarakat jauh lebih mudah diduga. Bola dunia, misalnya, membangun citra yang hampir sama pada setiap orang. Dan, tak jauh dari kritik Wagiono, desain logo di Indonesia akhir-akhir ini memang lebih banyak memanfaatkan gambar daripada huruf. Cahyono Abdi, pemenang sayembara logo Sumpah Pemuda, sependapat dengan Wagiono. "Bentuk-bentuk tertentu memang senantiasa dikenal," ujar perancang dari Grup Citra Indonesia itu. "Misalnya gambar tangan mengacung -- semua orang tahu, itu simbol orang bertanya." Ketika diminta menunjukkan desain logo yang baik, desainer lulusan SSRI itu menunjukkan logo Perumtel, rancangan Djodjo Gozali. Ditemui di Studio Graphik-Graphos Indonesia bersama Dicky Mulyadi, Djodjo Gozali menguraikan gagasan logo Perumtel yang dibuatnya. "Garis-garis dengan arah yang saya buat pada logo itu melambangkan komunikasi," ujar desainer itu, "dan bola dunia, menggambarkan komunikasi modern yang bisa mencapai jarak yang sangat jauh." Dicky Mulyadi, pemenang III sayembara logo PON XI, juga sayembara logo 455 tahun Jakarta, punya sisi menarik. Desainnya umumnya menonjolkan segi keindahan gambar. Hingga, ia kadang-kadang seperti tak mempeduhkan lambang. Toh ada Konsepsi di balik itu. Desainer itu percaya, karakter artistik punya kekuatan membangun citra. Pendapat itu agaknya benar. Dibutuhkan intuisi seniman untuk menentukan sebuah gambar yang mewakili sejumlah besar data -- juga menghelanya dalam sebuah proses yang disebut desain.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini