Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

<p><font face=arial size=1 color=brown><B>William Chittick:</B></font><BR><B>Mereka Salah Paham</B>

17 Desember 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

William Chittick memang gampang dikenali. Ia salah seorang bintang pada simposium internasional tentang Maulana Rumi di Istanbul, Turki, Mei 2007. Ke mana ia melangkah, selalu ada lingkaran kecil para akademisi yang mengelilinginya. Para peserta simposium selalu menyapanya, mengajaknya berdiskusi, atau sekadar untuk foto bersama.

Chittick dikenal sebagai intelektual dengan spesialisasi kesusastraan Persia, pemikiran-pemikiran sufi dan filsafat Islam. Ia menyelesaikan studi doktornya mengenai kesusastraan Persia di Universitas Teheran pada 1974. Kemudian mengajar di Universitas Teknik Aryamehr, sampai 1979, beberapa saat sebelum pecah Revolusi Islam Iran.

Menguasai bahasa Persia dan Arab, Chittick adalah pakar yang kritis terhadap peradaban modern dan Barat. Buku-bukunya membahas aneka hal, dari sufisme, Ibnu Arabi, Rumi, hingga Syamsi Tabriz. Banyak yang menyebut, dialah sosok paling menjulang dalam bidangnya setelah Sayyed Hossein Nasr, seniornya, juga bekas dosennya. Berikut adalah petikan wawancara Idrus F. Shahab dari Tempo dengan Chittick, Mei silam, di Istanbul.

Orang di Barat dan Amerika jatuh cinta pada Rumi. Fenomena apa ini? Mengapa?

Sesungguhnya banyak yang belum mengenal Rumi, tapi syair-syair Rumi menjual cukup baik karena dia telah dipopulerkan oleh penyair Amerika. Dia (Coleman Barks—Red.) penyair berbakat, penyair yang baik. Puisi-puisi itu memahami mentalitas kontemporer orang-orang Amerika dengan baik.

Maksudnya, seperti apa sih mentalitas mereka?

Mereka ingin hidupnya cukup punya arti tanpa harus melakukan apa pun untuk meraih hidup yang punya arti itu. Mereka menginginkan cinta dan keindahan tanpa menjalankan sesuatu beserta tanggung jawabnya. Rumi dengan mudah dapat dikutip sebagian-sebagian, hanya tentang cinta, keindahan, rasa riang, tanpa menyinggung topik-topik seperti kenabian dan pentingnya mengikuti Nabi. Cinta, damai, harmoni, kebahagiaan, musik—Rumi seolah-olah mewakili suatu pelarian dari realitas sehari-hari.

Jadi, mereka salah paham?

Ya, kalau mereka memahami apa yang dikatakan Rumi, ia tak akan sepopuler ini.

Mungkin ada sisi baik dari popularitas ini?

Beberapa tahun lalu saya memberi kuliah—ada empat kuliah tentang Rumi dalam sehari—di Smithsonian Institute di Washington DC, dengan sekitar seratus orang di antara audiens. Tiba-tiba seseorang menanyakan terjemahan syair-syair Rumi yang dilakukan Coleman Barks. Sesungguhnya, dari kacamata ilmiah itu bukan terjemahan yang akurat, tapi saya tahu, kalau bukan karena Coleman Barks, saya tidak akan memberikan kuliah seperti ini. Ada yang positif di sini. Rumi mulai dikenal dan sebagian orang terus mencari tahu tentang Rumi. Mereka mencari buku yang lebih serius. Sebagian tertarik pada sufisme, Islam, atau kembali ke akar Kristennya, karena Rumi adalah panggilan untuk kembali kepada Tuhan. Kalau memang mau, mereka bisa membaca: ikutilah nabimu, ikuti dengan hati-hati.

Untuk membaca karya-karya Rumi, kita juga perlu mengenal biografinya. Apa mereka juga salah paham tentang hidup Rumi?

Well, biasanya mereka yang tertarik pada Rumi tak atau belum tahu tentang hidup Rumi, misalnya kisah Syamsi Tabriz. Mereka salah paham, menganggap persahabatan mereka sebagai persahabatan dua manusia belaka.

Tapi tentang Rumi sendiri mungkin ada hubungannya dengan penggemarnya di Barat. Rumi tidak seperti Buddha yang berkelana, menderita sebelum tercerahkan. Ia hidup di istana... terhormat, tak menderita, jadi agak pas dengan kecenderungan masyarakat modern.

Buddha—dia tidak meminta orang lain mengikuti jalan yang ditempuhnya. Dia memang harus melalui jalan yang sukar itu untuk memperoleh pencerahan dan itu tak berarti kita harus melalui jalan itu juga. Dia mengajarkan Delapan Jalan Utama dan Empat Jalan Kebenaran. Jalan Buddha adalah jalan tengah.

Dan Rumi?

Juga jalan tengah. Ini tipikal jalan yang Islami. Bahkan Nabi hidup di dunia, di tengah masyarakat. Islam tak punya monasteri. Juga Buddhisme dalam perkembangannya kemudian tidak monastik.

Barat jatuh cinta pada Rumi, tapi arus besar di sana sering meletakkan tasawuf sebagai sebuah gejala agama belaka: antitesis terhadap syariah. Anda setuju?

Pandangan ini tidak hanya populer di antara para sarjana Barat, tapi juga di antara para ilmuwan muslim kontemporer. Saya sendiri tak setuju. Itulah salah satu contohnya kita salah membaca sejarah. Tasawuf lebih dari sekadar gejala agama. Tasawuf bagian inheren dari Islam. Banyak sekali contoh yang bisa disebutkan tentang ini.

Tapi saya menerima bahwa dalam beberapa kasus, misalnya, sekarang ini fundamentalisme yang sangat buruk di dunia Islam, dan sufisme mewakili alternatif terhadapnya. Tapi mengatakan bahwa fundamentalisme ini mewakili syariah, saya rasa ini sangat salah. Hal ini juga mewakili penyelewengan syariah dan salah tafsir tentang syariah. Tak ada paksaan dalam Islam, laa iqraha fid diin. Penerapan fiqih gaya fundamentalis justru menimbulkan hipokrisi. Masyarakat terpaksa menjalankan peraturan pada penampilan luar saja. Pada penampilan di dalam mereka berontak. Dalam negara Islam, kita menjumpai pemberontakan terhadap Islam.

Jadi, Islam itu.…

Organik, tidak mekanik. Tidak melalui sistem yang dipaksakan, melainkan sesuatu yang muncul dari hati. Dan dalam hal itu sufisme adalah jantung dan semangat hidup Islam, dengan syariah sebagai aktivitas Islam. Kita membutuhkan bimbingan, mana yang benar, mana yang salah. Dan kaum fuqaha memang berperan menunjukkan cara-cara itu. Tapi spirit lebih penting dari aktivitas itu. Spirit mencintai Tuhan harus ada, seperti yang dimiliki Nabi dan para sahabat. Aktivitas dan bentuk syariah adalah badan Islam. Tapi sekarang di mana-mana kita bisa menjumpai badan tanpa roh Islam. Itulah fundamentalisme.

Seperti Rumi, Anda tampaknya selalu mendekati masalah dengan membedakan badan dengan roh, bentuk dengan isi, bahasa dengan makna. Mengapa?

Kita hidup dalam dunia yang terpesona pada hal-hal superfisial, hanya tampak pada permukaan, dan menampik realitas di luar itu. Masalah kita saat ini adalah bagaimana kita menghadapi penampilan yang menipu ini. Kita memang tetap menghargai kepercayaan pada kosmologi pramodern, pada malaikat dan sebagainya. Tapi di lain pihak kita juga gigih bertahan pada pandangan-pandangan yang sangat mengagungkan penampilan luar. Tentu saja, pendapat seperti ini menghalangi pandangan kita akan realita yang sesungguhnya.

Sekarang, tolong terangkan tentang cinta yang ditawarkan Rumi untuk dunia kini....

Ada pendapat umum yang menggambarkan Rumi sebagai orang yang mencintai sesama, toleran, berpikiran bebas. Ya, seperti tokoh-tokoh kontemporer di dunia modern itu. Padahal, bagi Rumi, cinta turun dari Tuhan, dan cinta manusia kepada Tuhannya itulah yang utama dalam tasawuf. Cinta menuntut penyerahan diri total, melakukan apa yang diperintahkan Tuhan. Cinta bukan sensasi senang belaka. Bahkan cinta itu, menurut Rumi, pada mulanya menyakitkan. Cinta adalah api yang membakar ilusi-ilusi, termasuk identitas diri.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus