Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Agung Y. Achmad
Barangsiapa yang berijtihad, kata Nabi s.a.w., yakni melakukan jerih payah intelektual yang berhubungan dengan hukum, berdasarkan kemampuan tertentu, dan ternyata hasil usahanya benar, ia mendapatkan pahala.
Siapa yang tak mengenal Syu’bah Asa dalam menggunakan tanda baca koma (,) pada kalimat-kalimat yang ia tulis, yang selalu berliku, bertingkat, beranak kalimat panjang dan bersayap? Ia senantiasa membutuhkan banyak koma, seperti pada contoh kalimat di atas. ”Allah menciptakan koma untuk, antara lain, mengantarai anak kalimat. Di belakang subjek tidak boleh ada koma, kecuali ada satu koma lagi di akhir anak kalimat itu,” begitu Syu’bah pernah bertutur, setengah bercanda.
Tidak ada yang istimewa, sebenarnya, pada ungkapan Syu’bah itu. Aturan berbahasa menurut EYD pun menyebut demikian. Tetapi, Syu’bah memerlukan banyak koma bukan tanpa alasan. Ia begitu hormat terhadap makna tiap kata, frase, anak kalimat yang bertingkat, dan karena itulah koma dihadirkan. Apa lagi jika bukan agar kalimat-kalimat yang ia tulis utuh maknanya dan tidak ambigu, selain menjadikan artikelnya itu terbaca indah. Ketelitian Syu’bah dalam ”bermain” koma membedakannya dengan banyak penulis. Ia menerapkan koma secara khas. Seperti katanya, Tuhan telah menentukan ”takdir” bagi si koma itu.
Banyak pembaca kita, terlebih lagi yang awam, yang belum memahami ”takdir” si koma itu, akan mengernyitkan dahi, bahkan sesekali harus marah lebih dahulu, sebelum akhirnya mengerti pesan atau makna dari kolom-kolom sekompleks karya Syu’bah itu.
Sudah pasti, Syu’bah tidak sedang menjelaskan ”hak hidup” si koma, tentang di mana tanda baca itu selayaknya tersemat. Masalahnya adalah terlampau banyak tulisan, seperti di koran, atau internet, yang mengingkari ”takdir” koma, bahkan tidak dalam ukuran se-”ekstrem” paham Syu’bah itu. Dan, jangan tanya lagi berapa banyak kasus serupa pada teks-teks resmi pemerintah hingga pidato resmi presiden. Tampaknya tanda koma bisa menghilangkan kesan formal!
Maka, terjadi kesalahkaprahan dalam penggunaan tanda baca koma. Banyak penulis cenderung mencantumkan koma sebatas untuk memberi jeda pada bagian-bagian yang tertulis secara berurutan pada sebuah kalimat untuk menunjukkan kesetaraan. Tujuan lainnya, agar kalimat itu enak dibaca. Pendekatan ini memang lazim, dan dibenarkan EYD (Ejaan Yang Diperbarui), terutama pada kalimat sederhana. Masalahnya menjadi berbeda jika hal itu diterapkan pada suatu kalimat dengan anak kalimat yang panjang.
Paling tidak ada tiga modus ketidaktepatan atau kesalahan penggunaan koma yang sering kita jumpai. Pertama, koma dipakai di belakang subjek. Koma, dengan demikian, memisahkan subjek dengan predikat. Contoh: ”Terbiasa didongengi ibunya tiap menjelang tidur di masa kecilnya, Ahmad, kini menjadi suka membaca buku.” Subjek kalimat, yakni Ahmad, dibajak kata ”kini”.
Kedua, koma tidak disematkan secara teliti pada keterangan waktu dan tempat. Misalnya: ”Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, menurut rencana, usai meresmikan Rapat Kerja Gubernur se-Indonesia di Denpasar, Bali menemui Presiden George W. Bush di sebuah hotel di Nusa Dua, pada siang ini.” Semestinya, kata Bali diletakkan di antara dua koma agar tidak berebut peran sebagai subjek kalimat dengan Presiden.
Ketiga, koma tidak dibubuhkan di belakang kata penghubung di awal kalimat. Tanda baca koma semestinya dicantumkan pada kata penghubung seperti: sebab; karena itu; meskipun; atau; dan; jika ditulis di awal kalimat untuk menunjukkan kelanjutan atau anak kalimat dari kalimat (induk) sebelumnya. Tanpa koma, kalimat tersebut, yang sesungguhnya merupakan anak kalimat itu, menjadi tidak lengkap karena tanpa subjek.
Tentu masih banyak lagi kasus penyalahgunaan koma ini. Pertanyaannya: bisakah aturan kebahasaan tanda koma ini diabaikan jika khalayak pembaca bisa memaklumi dan merasa telah mengerti pesan yang ingin disampaikan penulisnya? Persoalan bahasa dalam hal penggunaan koma bukan masalah pelit atau obral di dalam pembubuhan tanda baca itu, tetapi lebih kepada mendudukkan ”takdir” si koma pada kalimat agar benar strukturnya, dan pesan yang terkandung di dalamnya tidak ambigu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo