Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tiba-tiba, sesosok lelaki dalam usia enam puluhan tahun, jubahnya lusuh dan gelap, bergegas menembus iring-iringan itu. Tubuhnya tipis, tapi gerakannya begitu ligat. Pada November 1244 yang tiris, persis di depan deretan toko penjual manisan, ia menghentikan rombongan para akademisi dari madrasah di pinggir kota lama.
Lebih gila lagi, tanpa salam-tanpa memperkenalkan diri, ia berani merebut kendali keledai dari tangan sang guru–sosok yang tengah duduk anteng di atas hewan itu. Dan ia tidak buang-buang waktu lagi untuk menembakkan pelurunya ke sasarannya: sang guru. ”Siapa hamba Allah yang paling agung, Muhammad Sang Rasul atau Bayazid al-Bistami,” katanya lantang. Berteriak, matanya tajam ke arah sang guru. Di jalanan pasar itu, dalam sepintas orang bisa menangkap wataknya yang kasar.
Sang guru, tak lain dari Jalaludin Rumi, seorang ustad terkenal di Konya saat itu, sosok yang sangat berwibawa, menghadapi serangan mendadak ini dengan kalem. Ia memilih yang pertama. ”Muhammad adalah yang terbesar dan tak tertandingi, nabi yang paling agung,” tuturnya.
Tapi lelaki itu cepat menukas. ”Jika demikian,” katanya, ”bagaimana mungkin Muhammad pernah berkata, ’Kami tidak mengetahui-Mu, ya Allah, padahal Engkau adalah sosok yang mestinya dikenali’.” Lelaki itu membandingkannya dengan Bayazid al-Bistami, sufi yang memiliki kedekatan istimewa dengan Sang Pencipta, pernah menyebut Subhani–Terpujilah Aku! Alangkah besar kejayaanku.
Menurut riwayat, Rumi jatuh pingsan setelah dialog singkat dengan lelaki tua itu. Lelaki yang kemudian dikenal sebagai Syamsi Tabriz. Sejak kejadian di pasar itu, Rumi dan Syamsi Tabriz menjadi dua yang tidak terpisahkan: mereka bersama menggali kedalaman spiritual, mendaki puncak-puncak pencapaian batin manusia tertinggi.
”Dua samudra bertemu, tentu di bawah kekuasaan Tuhan.” Begitu Syekh Jelalaudin Loras, tokoh tarekat Maulawiyah di Amerika, manggambarkan pertemuan dua tokoh, masing-masing dengan kedalaman batin luar biasa. Yang satu tidak lebih tinggi dari yang lain. Pendapat Prof Dr Mahmud Erol Kilic, pengajar sufisme di Universitas Marmara, di Istanbul, Turki, tak jauh berbeda. ”Syamsi adalah mentor khusus untuk Rumi seorang, langsung dikirim Tuhan,” katanya kepada Tempo bulan lalu. Di mata Prof Mahmud Erol Kilic, Syamsi Tabriz tak lebih dari seorang ”agen” dengan tugas istimewa.
Di antara para toko yang menjual oleh-oleh di Mevlana Cardessi, Konya, di seberang Kubah Hijau, kompleks makam Muhamad Jalaludin Rumi, sufi itu adalah lukisan seorang lelaki tua, janggut dan rambutnya putih, dengan sikke, topi cokelat-abu-abu yang memang dibikin menyerupai bentuk batu nisan. Agak menunduk, matanya redup, ia duduk bersila, tenggelam di atas sajadah dengan seutas tasbih di tangan.
Di deretan toko yang sama, masih di Mevlana Cardessi, Rumi adalah seorang tua, dengan rambut dan janggut yang putih. Kemungkinan besar masih dalam usia yang sama, tapi telah bangkit dari tafakurnya. Ia tengah berputar, menari, jubahnya yang putih mengembang, membentuk lingkaran kecil. Rumi yang satu ini terbuat dari patung keramik yang dicat putih, memperlihatkan dirinya sebagai seorang darwis, the whirling dervish. Rumi melakukan sama. Kedua tangannya terentang. Tangan kanannya menengadah, menerima yang kudus dari langit; tangan kirinya menelungkup menebar berkah ke muka bumi.
Sekitar tahun 1247, dua-tiga tahun setelah pertemuannya dengan Syams, Jalaludin Rumi telah jatuh cinta, terbakar dalam cintanya kepada Sang Kekasih, Rabb. Dalam sebuah tulisannya, ia sendiri menggambarkan perjalanan spiritualnya yang dramatis: dari ”mentah, masak”, kemudian ”gosong-terbakar” oleh cinta ilahiah. Semenjak pertemuannya yang singkat—disusul perpisahannya—dengan Syamsi Tabriz, Rumi tidak lagi berusaha menutup-nutupi bahwa ia mengalami kejadian-kejadian ekstatis. Ia berubah, dari seorang ustad terhormat yang menguasai yurisprudensi Islam di sebuah madrasah ternama menjadi penyair ”sinting” yang tak lagi melihat perbedaan di antara hal-hal dunia ini.
Seumur-umur Muhamad Jalaludin Rumi berusaha menyidik apa yang tersembunyi di balik semua, mencoba menangkap hakikat segala sesuatu. Dan sekarang Rumi telah sampai di ujung jalan, dan ia menyaksikan semua itu satu. Ia telah mencapai puncak yang tinggi itu: di balik keragaman bentuk yang bertebaran di depan matanya, terdapat prinsip transendental yang mutlak. Dan itulah Kebenaran Tertinggi, the ultimate reality, menurut istilah para ahli metafisika.
Ya, mungkin tak ada lagi yang tahu di mana pertemuan bersejarah Rumi-Syams itu berlangsung. Di bawah matahari musim semi Kota Konya, kepada Tempo, Mehmet, seorang pemuda warga setempat berusia 20-an tahun, mencoba menjelaskan situs istimewa itu. Tentu saja, sebisanya—dari pengetahuan turun-temurun yang diwariskan dari ayah, juga dari kakeknya. Dengan telapak tangannya yang mengembang, ia menunjuk ke arah selatan: ke belakang sebuah pemakaman umum yang sudah ratusan tahun usianya. Mehmet minta maaf, tidak sanggup menjawab pertanyaan lebih jauh.
Tahun lalu, di Balkh, kini di kawasan Mazar-i-Sharif, Afganistan, tempat Rumi dilahirkan dan menjalani masa kecilnya, Tempo mendapati gambaran yang lebih jelas mengenai keluarga Rumi. Di satu pelosok yang terpencil dan cokelat berdebu, berdiri pilar-pilar, potongan-potongan kubah madrasah, yang tak lagi utuh. Konon di tempat itulah Jalaludin Rumi belajar agama pertama kalinya langsung dari tangan ayahandanya sendiri, Bahaudin Walad, seorang ustad yang diberi gelar ”sultan para ulama”.
Delapan ratus tahun silam, tepatnya 30 September 1207, Muhamad Jalaludin Rumi lahir di Balkh, tapi tak banyak yang tersisa dari kehidupan Rumi di sana saat ini. Rumi, sebagaimana diketahui, selalu diklaim oleh tiga negara yang bertetangga di kawasan itu sebagai putra daerahnya—Iran, Afganistan, dan Turki. Afganistan menyebutnya Jalaludin al-Balkhi, Jalaludin Putra Balkh. Tapi sejauh ini mungkin hanya Konya yang menyimpan banyak kenang-kenangan mengenai tokoh yang menggetarkan dunia dengan syair-syair cinta ilahiah melalui karya-karya masterpiece-nya: Matsnawi, Diwan-i Kabir, dan Diwan Syamsi Tabriz, dan beberapa lainnya.
Di pusat Konya, jenazah Rumi disemayamkan, persis di bawah Kubah Hijau atau Yesil Turbe. Tapi inilah Konya, tempat yang telah menyedot begitu banyak turis.
Di mausoleum yang sambung-menyambung dengan museum, tampak makam Maulana Rumi yang megah. Ada 65 jenazah orang terpandang di zamannya yang dikebumikan di tempat itu, termasuk jenazah Bahaudin Walad, ayah Rumi. Tapi makam Maulana Rumi lain sendiri, berselimut kain hijau, dengan sikke dan serban putih di atasnya—titik yang paling terang, dengan penerangan lampu kristal yang tergantung di sekelilingnya. Itulah titik yang paling dikerumuni pengunjung di kompleks itu.
Jauh sebelum mausoleum itu berdiri, pada abad ke-13, di sana terbentang sebuah kebun mawar yang luas. Satu-satunya makam di atasnya waktu itu milik Bahaudin Walad, ayahanda Rumi. Pernah ada tawaran supaya jasad Rumi di kemudian hari dimakamkan di sana, di sisi ayahnya. Tapi Rumi lalu cepat-cepat menolak. ”Apakah masih ada mausoleum yang lebih baik daripada yang beratap langit.” Tapi waktu bergulir, dan akhirnya, pada hari kematiannya 17 Desember 1273, putra Rumi setuju menguburkan jasad sang ayah berdampingan dengan kakeknya di sana. Seorang arsitek Persia kemudian mendirikan empat buah pilar di empat penjuru makamnya.
Kini pengunjung harus melewati sebuah pintu masuk, Gerbang Darwis. Sebuah pengumuman menyuruh pengunjung melepas alas kaki, mengenakan kerudung bagi pengunjung perempaun, dan tidak berisik. Tapi tak ada yang bisa membendung begitu banyak orang yang berbisik. Bisikan-bisikan, ditambah kilatan blitz dari kamera para wisatawan Jepang dan Cina yang bergerak berkelompok, lalu-lalang para pengunjung, dan sekali-sekali terdengar orang membaca al-fatihah bagi si mati–semua yang akhirnya menimbulkan bunyi yang tak seirama dengan suasana ziarah. Agak hiruk-pikuk, meski semua kelihatan megah, tertata baik, dan sangat terawat.
Di halaman dalam mausoleum ada sebuah kolam jernih, dengan air mancur berhias kepala singa tepat di tengah-tengah dan empat sisinya. Semuanya sempurna, seolah-olah tak ada yang suram dan lusuh di kompleks itu—kecuali bunyi ney, seruling bambu muda yang perlahan dan menyayat. Bunyinya mengalir dari pengeras suara kemudian bergabung dengan gemericik air kolam. Ney bukan instrumen tiup biasa, melainkan bagian dari tradisi maulawiyah, tarekat yang sangat banyak berutang pada pikiran Jalaludin Rumi.
Ada komposisi ney sederhana yang tak pernah jelas siapa penulisnya. Basta-i Qadim atau komposisi kuno bercerita tentang cinta, pengalaman mistis menakjubkan, juga seruling yang istimewa. Ney seruling yang musiknya hanya bisa menyanyikan perpisahan, mengutarakan kerinduan untuk kembali ke asal. Kerinduan akan rumah, pulang ke habitat semula ke tepian sungai—suatu metafor Sang Pencipta.
Dengarlah seruling itu, Bagaimana ia meratapi perpisahannya, ”Aku terkoyak Ingin berbagi penderitaan ini Dan siapa pun yang terpisah dari asalnya Akan merindukan pertemuan itu.” (Nyanyian Seruling – Matsnawi)
Rumi mengambil contoh seruling ney untuk melukiskan kondisi dan perjalanan mistis para sufi. Yaitu, mereka yang mengharapkan pertemuannya dengan Sang Kekasih.
Keterasingan, penderitaan, dan keterperpisahan adalah tema sentral dalam pemikiran-pemikiran dan hidup Rumi. Mohamad Iqbal, pemikir Islam Pakistan, mengungkapkannya dengan kata-kata yang tepat. ”Ada kepedihan yang tak asing bagi kita,” komentarnya tentang Rumi.
Hidup adalah penderitaan, tapi semua itu tentu tidak berangkat dari penderitaan, melainkan dari persatuan: seperti bersatunya bambu muda dengan habitatnya sebelum menjadi seruling ney. Pada diri manusia, persatuan dengan Yang Absolut merupakan awal dari semua. Dan penderitaan, keterpisahan merupakan keadaan yang harus dilalui sebelum akhirnya bersatu kembali dengan Sang Pencipta. Rumi membandingkan penderitaan dan kepedihan dengan seorang tamu yang mengetuk pintu. ”Kepedihan ini membimbing kita,” katanya.
Ia berbagi dengan pembacanya betapa ia ”terluka, terluka karena perpisahan itu.” Dan ratapan seruling ney, kita tahu, merupakan sesuatu yang nostalgis.
Cinta Tuhan yang mendorong semua ini bergerak dengan tujuan seperti itu. Sebagaimana juga beredarnya atom pada orbitnya mengelilingi nukleus, juga bergeraknya planet-planet mengelilingi matahari pada garis orbitnya. ”Tapi pantulan cinta Tuhan yang paling penuh berada di dalam diri manusia yang memiliki cinta ’imitasi’ dan suatu saat bisa menjadi ’cinta sejati’,” kata William Chittick, pakar sufisme Rumi yang paling mencorong–setelah Sayyed Hussein Nasr—saat ini (lihat Mereka Salah Paham).
Dalam segenap pikirannya, Rumi terus mencari sesuatu di balik penampakannya. Begitu juga pandangannya tentang agama-agama itu. Jalaludin Rumi melukiskan dirinya sebutir debu di alas kaki Rasulullah Muhammad. Ia juga menyebut dirinya tak pernah meninggalkan garis syariah Islam. Tapi ia tak beringsut dari pendekatannya membedakan ”kulit” dengan ”isi.” Termasuk dalam memandang agama-agama di dunia ini. Di antara agama yang berbeda di muka bumi, ia melihat suatu kesatuan transendental. Dan keberagaman yang tampak itu tak lain dari bentuk luar dan bukan isi agama-agama itu. Dari pandangan ini Rumi mengembangkan toleransi yang begitu besar terhadap agama di luar Islam.
Dengan pemikiran seperti itu, Rumi memang bisa meraih siapa saja tanpa peduli asal-muasalnya. Ia menjangkau pemusik (musik mendapat tempat khusus dalam pikiran Rumi dan tarekat maulawiyah), pencinta, dan akademisi—bahkan tanpa harus meninggalkan syariah, ia menjangkau orang-orang dengan agama yang berbeda. ”Dan ia mengatakannya dengan kelembutan di Anatolia pada abad ke-13, ketika Perang Salib masih berkecamuk,” kata Coleman Barks, penyair yang paling banyak memperkenalkan karya Rumi kepada khalayak Barat melalui penerjemahan puisi-puisinya.
Di Indonesia sendiri, karya Rumi sudah mulai dikenal pada abad ke-16. Dr Abdul Hadi W.M., penyair juga dosen tasawuf di Universitas Paramadina, menilai bahwa pemikiran Rumi banyak dicerap Sunan Bonang, sosok yang menggunakan seni sebagai media transendensi. Abdul Hadi juga mencatat: ”Rumi bisa menaklukkan bangsa Mongol melalui tasawuf. Dan kekalahan dalam Perang Salib dan melawan invasi Mongol ini bisa dibalas lewat tasawuf.”
Pada abad ke-16 muncul Suluk Syamsi Tabriz, yang bercerita tentang pengembaraan Syamsi di masa penaklukan oleh tentara Mongol. Dalam suasana politik yang kacau-balau ini, Syamsi dikisahkan berjalan jauh sampai ke Yerusalem. Bahkan dalam buku Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat, Martin van Bruinessen menyebut keberadaan tokoh satu ini dalam suasana sangat lokal. Syamsi atau Samsu disebut sebagai putra Seh Jumadil Kubra. Ia menikahi seorang putri Campa dan memperoleh dua anak, salah satunya adalah Sunan Ampel. Wallahu’alam.
Rumi memang mempunyai jangkauan yang melampaui ruang dan waktu. Delapan ratus tahun setelah kematiannya, orang tak dapat melepaskan perhatiannya dari sang maulana.
Tiap-tiap hari, orang berduyun-duyun menziarahi makamnya di Konya. Dan khususnya tanggal 17 Desember ini, orang merayakan seb-i arus atau syabi arus–perkawinan spiritual, pertemuan kembali dengan Yang Absolut. Dan kita mendengar ia kembali menyeru setiap orang untuk menyingkap sebuah dunia kekal: dunia spiritual, dunia cinta ilahiah.
Idrus F. Shahab, Imron Rosyid (Solo)
Dari Balkh ke Konya
1207: 30 September, Jalaludin Rumi, putra pasangan Bahaudin Walad dan Mu’min Khatun, dilahirkan di Balkh. Balkh saat itu bagian dari Khorasan, Persia.
1208-1210: Terjadi ketegangan antara Bahaudin dan Vaksh, hakim ketua Kota Balkh.
1216-1222: Bahaudin meninggalkan Khorasan, membawa pengikut dan keluarganya, termasuk istrinya, Mu’min Khatun, dan dua anaknya, Alaudin dan Rumi.
1217-1222: Bahaudin memulai perjalanannya ke Timur Tengah. Ada kemungkinan para pengikutnya berhenti di Bagdad, kemudian berziarah ke Mekah. Menurut legenda, di suatu tempat di Nisyapur, Rumi bertemu dengan sufi besar Faridudin Atthar
1299: Bahaudin dan keluarga sampai di Konya. Ia mendapat jabatan yang baik, mengajar di sebuah madrasah. Di bawah Dinasti Saljuk, Konya berkembang dengan iklim toleran.
1231: Bahaudin wafat.
1232: Guru lama Bahaudin, Sayyid Burhanudin Muhaqqiq, muncul di Konya. Ia kemudian mengajar Rumi.
1232-1240: Rumi meluangkan banyak waktu di sebuah padepokan elite di Suriah, menyempurnakan pengetahuannya tentang Islam. Ia mulai menyelidiki buku harian almarhum ayahnya dan belajar tasawuf.
1239-1244: Rumi Kembali ke Konya, lalu mengambil alih jabatan ayahnya di madrasah. Ia punya reputasi khusus sebagai ahli yurisprudensi Islam. Istrinya yang pertama, Ghauhaer Khatun, meninggal, dan Rumi menikah lagi dengan Kirra Khatun.
1244: 29 November, Syamsi Tabriz tiba di Konya. Rumi terpesona pada Syams, tapi banyak murid yang cemburu dan ingin mengusirnya dari Konya.
1245: 11 Maret, Syams meninggalkan Konya menuju Suriah. Rumi merasa putus asa.
Awal 1247: Sultan Walad, putra Rumi, menemui Syams dan membujuknya kembali ke Konya.
Pertengahan 1247: Rumi bersukacita. Tak lama kemudian, beberapa murid Rumi mulai bergerak lagi untuk menyingkirkan Syams.
Akhir 1247: Syams menghilang. Rumi tak pernah melihatnya lagi. Beberapa ahli percaya ia terbunuh, ada kemungkinan oleh anak lelaki Rumi, Alaudin. Sebagian ahli percaya ia pergi ke Suriah dan memulai hidup baru di sana.
1248-1249: Rumi sendiri mencari Syams ke Suriah, tapi tak berhasil menemuinya. Rumi yang tak berdaya itu mulai menulis gazal atau larik-larik pendek.
1250: Rumi akhirnya dapat menerima kenyataan bahwa ia tak akan dapat bertemu dengan Syams. Ia memilih seorang tukang emas, Shalahudin, sebagai sahabat barunya. Beberapa muridnya kembali cemburu.
1258: Shalahudin wafat. Sekarang Rumi memilih Hisyamudin, sahabat lamanya, menggantikan Shalahudin.
1261-1264: Rumi mulai menulis Matsnawi.
1273: 17 Desember, Rumi wafat, konon di saat matahari terbenam.
(disarikan dari Rumi: Spiritual Biography karya Leslie Wines)
Karya-karya
Matsnawi Inilah karyanya yang paling agung. Terdiri atas enam jilid dan sekitar 25 ribu untaian bait bersajak. Matsnawi ditulis atas permintaan Husamudin. Rumi menghabiskan 15 tahun untuk menyelesaikan kitab ini. Abdurahman Jami menyebutnya Quran dalam bahasa Persia.
Maqallat Syamsi Tabriz Sering dianggap sebagai buah persahabatan Rumi-Syams. Ada dialog-dialog mistik antara Syams selaku mentor dan Rumi sebagai murid. Menurut penerjemah Rumi, Nicholson, ada beberapa doktrin Rumi sang penyair dalam buku ini.
Majlis Sab’ah Berisi catatan rekaman pidato-pidato dan konseling Rumi dalam bentuk prosa. Baik pidato di depan umum maupun di hadapan para ahli sufi.
Diwan Syamsi Tabriz Karya yang memukau, dipersembahkan Rumi untuk guru tercinta, Syams. Rumi menulis dengan rasa hormat dan hampir pada tiap akhir sebuah bait ia membubuhkan nama Syamsi Tabriz. Diwan Syamsi Tabriz berisi sekitar 2.000 ode mistik.
Fihi Ma Fihi Ditulis oleh putra tertuanya, Sultan Walad, buku ini berisi ucapan-ucapan dan percakapan-percakapan Rumi. Berbeda dengan buku-buku lainnya, karya ini dalam bentuk prosa. Di dalamnya, kita bisa menikmati banyak analisis Rumi yang tajam. Buku yang sangat didaktis.
Rubaiyat Berisi sekitar 1.600 kuatrain, dengan jangkauan topik yang cukup luas: iman, akal, cinta, ikhlas, tawakal, dan banyak lagi. Berbeda dengan Matsnawi dan Diwan yang sering memperlihatkan pengulangan, Rubaiyat adalah karya yang singkat dan padat.
Maktubat Kumpulan surat-menyurat yang banyak ditujukan kepada bangsawan dan pangeran di Konya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo