Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

'Tak Perlu Gelar Profesor untuk Jadi Presiden'

18 Juli 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEORANG anak muda membaur di tengah Pasar Malam Karebosi. Keriaan dalam sebuah lapangan di Kota Makassar—kini Ujungpandang—pada 1931 itu tak seberapa menarik hatinya. Mata dan perhatiannya semata-mata tertuju ke tribun di panggung bundar tempat pacuan kuda MRC (Makassaarse Ren Club). Di sana, berganti-ganti, K.H. Achmad Dahlan, Mulyadi Djojomartono, dan para pemimpin Muhammadiyah naik-turun panggung. Pidato mereka membuat panas-dingin hatinya yang masih amat remaja. Lebih-lebih ketika sebuah lagu dinyanyikan, sembari sepotong kain merah-putih dibentangkan bersama panji-panji Muhammadiyah. Malam itu, untuk pertama kalinya, anak muda itu mengerti bahwa "Indonesia Raya"—yang dinyanyikan Achmad Dahlan dan kawan-kawan—serta kain merah-putih adalah lagu dan bendera kebangsaan Indonesia. Manai Sophiaan, anak muda itu, belum lagi genap 17 tahun. Namun, pengalaman di pasar malam itu bagaikan titik penting yang cepat mendewasakannya di dunia politik pergerakan. Ia masuk Party Sarekat Selebes (Parsas) kendati belum cukup umur. Alhasil, untuk bisa hadir di kongres-kongres partai, ia terpaksa menyamarkan usia dalam celana Shantung kebesaran, yang dipinjam dari sang ayah. Pada masa-masa inilah Manai sering mendengarkan Nadjamudin Daeng Malewa dan Manik Lengkong, para pemimpin daerah, mengupas kekejaman kolonial di atas podium kongres: rakyat digiring paksa untuk bekerja rodi membangun jalan raya dan jembatan; betapa upah mereka tak dibayar; bea adalah utang kepada kolonial yang sewajibnya dilunasi dengan kerja paksa. Setelah usia 17 tahun, ia mulai belajar memimpin rapat-rapat umum pemuda. Di lain hari, ia tampil sebagai pembicara dalam perkumpulan pergerakan yang biasanya dijaga ketat polisi PID (Politieke Intichtingen Dienst). Dalam kadar berbeda-beda, boleh dikata, aktivitas dan perhatiannya pada dunia politik tidak pernah berhenti. Juga, tatkala usianya terus merangkak melewati kepala delapan. Riwayat Manai Sophiaan adalah riwayat yang berawal jauh di masa lampau, tatkala abad ke-20 belum lagi melewati perempat pertama. Ia lahir di Takalar, Sulawesi Selatan, pada 5 September 1915. Di ibu kota kabupaten yang rindang oleh pohon kenari di kiri-kanan jalan besar itu, Manai melewatkan masa kanak-kanak dan remaja. Ayahnya, Sersan Sengge, adalah seorang kepala polisi (bestuurpolitie). Ibunya, Batjtje, seorang ibu rumah tangga biasa. Pendidikan formalnya berawal dari Twede Inlandse School, Takalar (1926), Schakel School (1931), MULO Makassar (1931), Taman Guru, Taman Siswa Yogyakarta (1936). Selepas studi di Yogyakarta, ia kembali ke Makassar. Di sana ia mengajar di Sekolah Guru Taman Siswa selama empat tahun. Dari depan kelas, Manai berpindah ke depan mesin ketik. Ia menjadi wartawan dan pemimpin redaksi Pewarta Selebes (1942-1945). Manai kemudian memasuki dunia birokrasi. Mula-mula ia menjadi anggota Dewan Gemeente di Makassar (1942-1945). Dalam usia 31 tahun, ia duduk sebagai anggota DPR RI (1946 -1950). Lepas dari jabatan legislatif, Manai berangkat ke Moskow. Selama empat tahun sejak 1963, ia menjadi duta besar RI untuk Uni Soviet. Bung Karno secara khusus memintanya memperbaiki hubungan Indonesia-Soviet. Saat itu dua negara ini dilanda ketegangan akibat politik Partai Komunis Indonesia (PKI), yang melibatkan diri dalam sengketa ideologi antara Uni Soviet dan Cina. Setelah pensiun dari duta besar, Manai kembali aktif di dunia persuratkabaran. Ia memimpin Suluh Marhaen selama empat tahun. Di sela-sela itu, penggemar fotografi dan bridge ini kerap menulis kolom di berbagai media: Merdeka, Indonesian Observer, dan majalah Topik. Sosok Manai juga tak mungkin dilepaskan dari Partai Nasional Indonesia (PNI). Selama 18 tahun (1946-1964) ia aktif dalam partai ini. Mula-mula sebagai sekretaris jenderal (sekjen), lalu anggota Dewan Pimpinan Pusat. Sebagai sekjen, ia pernah melontarkan mosi yang menuntut reorganisasi serta mutasi di lingkungan Angkatan Perang dan Kementerian Pertahanan. Banyak kalangan menilai Manai sebagai sosok yang sangat Soekarnois. Dalam bukunya, Apa yang Masih Teringat (1991), misalnya, ia menulis bagaimana Orde Baru menghapus ide tentang Bung Karno yang melahirkan Pancasila dalam pidatonya 1 Juni 1945. Sejak Orde Baru, 1 Juni memang tidak lagi diperingati sebagai Hari Lahirnya Pancasila. Sebagai gantinya, 1 Oktober—setelah G30S-PKI—dirayakan sebagai Hari Kesaktian Pancasila. Atau, Dekrit Presiden Soekarno kembali ke UUD 1945 pada 5 Juli 1959, yang dilupakan begitu saja. Namun, Manai mengatakan bahwa ia menuliskan hal-hal ini untuk meluruskan sejarah—bukan karena keberpihakan pada Bung Karno. Bukunya yang lain adalah Kehormatan bagi yang Berhak (1994). Di situ ia membeberkan berbagai kejadian tentang peristiwa G30S-PKI. Sikap politiknya terhadap Orde Baru tercermin antara lain melalui Petisi 50. Bersama dengan Ali Sadikin, almarhum Anwar Harjono, A.M. Fatwa, H.R. Dharsono, dan lain-lain, Manai turut menandatangani petisi itu. Dalam dimensi yang lebih pribadi, dunia Manai Sophiaan adalah sebuah hidup yang panjang yang tenteram. Sampai hari ini, ia masih dipertautkan umur dengan Moenasiah Paiso, yang dinikahinya pada 11 Januari 1941. Pasangan ini dikaruniai enam anak, Sophan, Krisant, Helmi, Erri, Viktor, Ina. Kini, dalam usia yang sedemikian senja, Manai Sophiaan tetap bergeming pada semua yang pernah ia lakukan atau ia ucapkan pada masa dulu. Ia lebih banyak melewatkan waktu di rumah. Gerak dan kegiatannya tak lagi leluasa. Lebih-lebih setelah, dalam sebuah operasi, tulang belakangnya dipotong karena menindih salah satu saraf. Dua kali pertemuan dengan Manai berlangsung pada sore hari yang cerah. Bekas duta besar itu menerima wartawan TEMPO Andari Karina Anom, Wicaksono, dan Kelik M. Nugroho, di kediamannya, Jalan Taman Wijayakusuma, Cilandak, Jakarta Selatan. Usia tua dan kesehatan yang kian rapuh membuat bicaranya tak lagi lancar. Ia membutuhkan jeda-jeda panjang untuk menyelesaikan satu kalimat. Dan sering berhenti lama untuk mengingat sebuah detail peristiwa. Berikut petikannya.

Apa saja kegiatan Anda sekarang?

Saya banyak di rumah saja. Satu bulan sekali saya ke rumah sakit.

Masih rajin membaca berita?

Sulit. Huruf-huruf di koran terlalu kecil sehingga sulit bagi mata saya untuk membacanya. Sebagai ganti, saya mendengarkan radio BBC (British Broadcasting Corporation), VOA (Voice of America), dan Deutsche Welle tiap pagi.

Jadi, Anda tentu mendengarkan berita-berita pemilu yang baru lewat. Ada komentar?

Tidak ada negara di dunia yang menyelenggarakan pemilu dengan 48 partai. Umumnya kan cuma dua atau tiga partai.

Tidak selalu. Pemilu 1955 kan menyertakan banyak partai?

Ya, tapi jumlahnya hanya belasan. Waktu itu pemerintah tidak ikut campur.Mereka cuma mengeluarkan uang. Yang menjalankan adalah orang-orang partai. Sesudah Orde Baru, praktis pemerintah yang selalu melaksanakan pemilu. Baru pada Pemilu 1999, Komite Pemilihan Umum (KPU) yang kembali menyelenggarakannya.

Bagaimana PNI, sebagai partai terbesar, mengikuti Pemilu 1955?

Waktu itu kan yang bersaing sebetulnya hanya PNI dan Masyumi. Partai lain ikut pemilu tanpa mendapatkan suara yang banyak.

Apa program yang dianggap penting pada masa itu?

Hubungan dengan Belanda dan politik internasional. Dulu kan ada Uni Indonesia-Belanda, yang kemudian diputus oleh Indonesia. Pemilu pada waktu itu juga menunjukkan hubungan kelompok Islam dan nasionalis yang terwakili melalui PNI dan Masyumi.

Saat ini banyak partai yang mengklaim sebagai kelanjutan PNI. Apa tanggapan Anda?

Orang seperti Ibu Supeni, misalnya, jelas merupakan salah satu pendiri PNI (lama). Saya tahu aktivitasnya sejak dulu dan saya tahu ia tidak mengejar kursi. Tapi banyak nama baru yang tidak jelas yang mengklaim diri sebagai pemimpin. Orang seperti Probosutedjo, misalnya, kan tidak ketahuan aktivitasnya di PNI. Tiba-tiba ia mengaku sebagai PNI. Mungkin benar, tapi dia tidak punya pengaruh di organisasi. Bahkan orang seperti Ibu Supeni pun, sewaktu bikin kampanye, massanya tidak ada.

Gembirakah Anda melihat PNI hidup kembali?

Saya sebetulnya tidak setuju PNI didirikan kembali. Suasananya sudah berbeda. Dulu, kita mengembangkan PNI supaya orang tidak lari ke PKI atau Masyumi. Sekarang kan tidak ada lagi hal seperti itu.

Itu sebabnya Anda tidak mau bergabung dengan PNI Ibu Supeni?

Saya diminta menjadi salah satu pemimpinnya, tapi saya menolak. Bagi saya, waktu menjadi aktivis partai sudah lewat. Lagipula, massa PNI sekarang sebagian besar sudah lari ke PDI. Sebab, dengan penggabungan partai-partai dulu (setelah Pemilu 1971), PDI sudah dianggap mewakili golongan nasional.

Apa penilaian Anda terhadap kelompok-kelompok yang mendirikan PNI?

Mereka semua berlomba menjadi anggota MPR/DPR. Sekarang kan mudah, orang kongko-kongko, lalu bisa membuat partai. Mereka semua ingin punya kedudukan. Ada salah satu kelompok yang datang ke sini, meminta saya bergabung. Saya bilang, "Buat apa?" Saya cuma ketawa melihat kondisi manusia Indonesia sekarang ini. Semua pada mau naik, pada mau kaya.

Tentang PDI, apakah Anda mendukung PDI?

Sewaktu terjadi fusi dulu, orang-orang PNI yang tidak mau bergabung ke PDI berkirim surat minta keluar dari partai. Saya tidak pernah berbuat begitu, sehingga saya merasa anggota PDI sampai sekarang.

Dan Anda mendukung Megawati sebagai presiden?

Syarat seorang presiden adalah mendapat dukungan dari rakyat. Dan Mega jelas mendapat dukungan. Seorang presiden tidak perlu mempunyai gelar ini-itu, tidak perlu jadi profesor. Yang penting, ia didukung oleh rakyat banyak.

Bagaimana dengan mereka yang juga potensial menjadi presiden, seperti Amien Rais, Gus Dur, bahkan Habibie sendiri?

Siapa pun. Selama dia mendapat dukungan rakyat, dia bisa menjadi presiden.

Omong-omong, sebagai sesama warga Sulawesi Selatan, apakah Anda merasa bangga terhadap Habibie?

Tidak. Saya selalu merasa sebagai orang Indonesia. Saya tidak setuju dengan sentimen-sentimen etnis itu. Apalagi kalau sampai ada yang menyebut semboyan SDM (Semua Dari Makassar).

Masa, Anda tidak bangga sedikit pun? Kan beliau dikenal di dunia internasional. Bukankah itu modal penting juga untuk jadi presiden?

Bukan itu yang terpenting. Lagi pula, Habibie kan dikenal cuma karena bikin pesawat. Soal dia mau jadi presiden, harus dibuktikan dulu melalui dukungan rakyat. Kalau memang ada, barulah dia bisa kita sebut calon presiden yang baik.

Anda dulu menolak konsep negara federasi. Bagaimana Anda memandang tuntutan daerah-daerah yang sekarang ingin memisahkan diri karena merasa diperlakukan tidak adil oleh pemerintah pusat?

Bagaimana kalau semua orang di Indonesia berpikiran begitu? Di Jawa saja ada berapa suku. Begitu juga di Sulawesi. Bagaimana nanti kalau Gorontalo ingin mendirikan negara sendiri?

Jadi, Anda tidak setuju ide negara federasi?

Sama sekali tidak. Negara Indonesia ini sebelumnya berjalan dengan baik. Cuma selama 32 tahun di bawah Soeharto lantas menjadi buyar. Tim-Tim, misalnya. Apa pun alasannya, kita memang telah mengambil alih Tim-Tim.

Artinya?

Kalau mayoritas rakyatnya ingin merdeka, ya, lepaskan saja. Timtim kan bukan bagian dari Negara Kesatuan RI.

Anda menyaksikan kejatuhan Bung Karno dan Pak Harto. Bagaimana Anda melihat kedua peristiwa ini?

Soeharto seharusnya ditangkap. Tapi pemerintah menyatakan belum ada bukti untuk menangkap dia. Padahal, saat Bung Karno turun dulu, dia diperlakukan dengan tidak adil dan tidak manusiawi. Mereka lupa bahwa dia proklamator bangsa ini. Perlakuan di tahanan (rumah) sangat buruk. Itu sangat menyakitkan. Mestinya waktu Pak Harto lengser, ia juga harus ditahan. Dia meninggalkan jabatan begitu saja tanpa pertanggungjawaban apa pun. Harta bendanya harus dibekukan. Kalau tidak, hartanya dapat dipakai untuk merongrong negara, membiayai provokator, dan lain-lain.

Mungkin pemerintah tidak punya alasan hukum untuk menangkap Pak Harto.

Itu alasan yang sulit diterima. Dulu Bung Karno ditahan dengan alasan yang tidak jelas. Memang, pidato pertanggungjawabannya pernah tidak diterima oleh MPRS. Tapi, itu saja kan? Dia tidak kaya-raya, tidak korupsi.

Tapi sikap Bung Karno yang tidak mau membubarkan PKI kemudian membuatnya dimusuhi banyak orang.

Itu terjadi karena Bung Karno mementingkan semua unsur bangsa. Tidak peduli dia Islam, Kristen, atau komunis. Ini yang membuat Bung Karno dituduh PKI.

Anda tidak menganggap sikap itu sebagai kelemahan Bung Karno?

Saya rasa bukan, karena tujuannya baik: kalau mau membangun Indonesia, jangan ada unsur yang dimusuhi, termasuk komunis. Hanya, orang-orang komunis juga pintar. Mereka berusaha keras memanfaatkan pengaruh Bung Karno untuk maju. Dan, terbukti, mereka maju. Inilah yang membuat Bung Karno dicap PKI.

Jadi, sikap Presiden Soekarno tidak membubarkan PKI adalah pilihan yang tepat?

Saya setuju sikapnya yang tidak membubarkan PKI. Kalaupun kemudian ada cap Bung Karno PKI, saya rasa itu diucapkan lawan-lawan politiknya. Orang-orang di Masyumi kan tidak menyukai Bung Karno. Juga orang-orang dari partai-partai kecil.

Tampaknya, Anda ini Soekarnois sekali.....

Kedekatan kami adalah lebih pada dimensi ideologis, bukan pribadi. Saya sudah menyaksikan kejatuhan Bung Karno. Sekarang, Soeharto. Tapi, setelah jatuh, dia dijaga dan diamankan, seolah-olah dia adalah orang dengan tanggung jawab besar bagi bangsa, padahal dia adalah warga negara biasa. Mengapa harus diistimewakan? Lihat, berapa tentara yang ditugasi menjaga Soeharto.

Bagaimana Anda menilai hubungan Soeharto-Habibie?

Ini sudah bisa terbaca sewaktu dia menolak calon wapres yang lain kecuali Habibie. Lalu, Habibie membentuk kabinet hanya dalam 20 jam. Ini sangat mencurigakan. Saya menjadi anggota parlemen selama 20 tahun lebih. Saya ikut menjadi penasihat para calon perdana menteri setiap pembentukan kabinet. Proses seperti ini makan waktu berminggu-minggu. Apalagi kalau kita lihat orang-orang yang duduk di sana. Orang-orang yang dulu ikut dalam permainan Soeharto, kini menjabat lagi.

Sewaktu menjadi Sekjen PNI, Anda pernah mengajukan mosi soal ABRI. Sekarang masih ada 38 anggota ABRI di DPR. Apa pendapat Anda?

Sewaktu mosi itu saya ajukan, Pak Nas (Jenderal A.H. Nasution) sangat marah. Ketika itu ABRI tidak mau dikoreksi, terutama dalam hal pemerintahan. Mereka tidak mau ABRI diutak-atik. Dari performance, ABRI sekarang sudah jauh lebih baik. Cuma pemimpin-pemimpinnya itu... (tersenyum getir).

Apa pendapat Anda soal keterlibatan ABRI di politik?

Keterlibatan mereka dalam pemerintahan sudah sangat berlebihan. Padahal, masih ada hal-hal lain yang menjadi tugasnya. ABRI kan seharusnya sama sekali tak usah turut campur dalam jalannya pemerintahan. Nyatanya? Mereka ada di mana-mana, termasuk di DPR.

Kan jumlahnya sudah jauh berkurang. Sekarang kan 38. Tahun 1992 dan sebelumnya malah mencapai 100.

Buat saya, tak ada bedanya 100 atau satu orang. Berapa pun jumlahnya, ABRI masih ada di DPR. Seharusnya mereka tidak ada di sana.

Oh, ya, Anda telah menghasilkan dua buku (Apa yang Masih Teringat dan Kehormatan bagi yang Berhak)).Tampaknya, Anda gemar menulis peristiwa sejarah?

Saya menulis setelah lama merenungkannya. Tujuan saya mengungkapkannya cuma ini: meluruskan tafsiran sepihak yang sengaja diciptakan orang untuk menyangga aspirasi politik tertentu. Sebab, ketidakjujuran (sejarah) sering membuat bulu roma berdiri.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus