Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

'Warisan Dunia' Nomor 593

Situs Sangiran menghasilkan ribuan fosil purba yang bermakna bagi dunia ilmu pengetahuan, khususnya antropologi.

17 Oktober 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KEMARAU lama memanggang kawasan Sangiran. Tanahnya kering, pegas, dan keras. Warga kawasan antara Kota Sragen dan Karanganyar itu karenanya lama tidak menggelar tradisi mereka: memburu fosil zaman purba. Padahal, pemandangan itu senantiasa muncul sehari-hari bila musim hujan tiba. Guyuran hujan bisa menggelontorkan tanah yang berbukit tersebut, sehingga mereka dengan mudah membalik-balik tanah untuk melacak fosil di sela-sela longsoran.

Perburuan fosil telah mentradisi di kawasan Sangiran. Maklum, warga setempat telah bertahun-tahun mengerti bahwa kampung mereka salah satu tambang fosil purba terbesar di dunia. Lapisan tanah di bawah kawasan situs cagar budaya Sangiran seluas lebih dari 59 kilometer persegi itu hingga kini telah menghasilkan hampir 14 ribu fosil dari berbagai jenis. Fosil dari situs Sangiran juga banyak beredar di bursa bisnis lokal dan internasional. Hingga kini, situs Sangiran juga diperkirakan masih menyimpan ”harta karun” purba di relung dalam tanahnya.

Aroma harum tanah Sangiran pertama kali diendus oleh peneliti Eugene Dubois pada 1893. Tak menemukan fosil penting dari Sangiran, ilmuwan Belanda itu justru menemukan fosil Pithecanthropus I di kawasan Trinil, Solo. Setelah oleh Dubois, penelitian di Sangiran dilanjutkan secara intensif oleh ilmuwan G.H.R. Von Koenigswald pada 1937. Berkat kegigihannya, Koenigswald menemukan fosil berupa sebuah fragmen tempurung kepala (calotte) yang dinamai Pithecanthropus II. Berkat dua temuan penting itu, nama Sangiran, juga Solo, dikenal di seluruh dunia, apalagi setelah Komite Warisan Budaya Dunia di bawah badan Persatuan Bangsa-Bangsa UNESCO menetapkan situs Sangiran dalam daftar warisan budaya dunia nomor 593.

Sangiran adalah nama desa di Kecamatan Kalijambe. Sedangkan kawasan situs Sangiran terutama terletak di Kecamatan Kalijambe, Plupuh, dan Gemolong—ketiganya di Kabupaten Sragen. Sisanya berada dalam wilayah di bawah administrasi Kecamatan Gondangrejo, Kabupaten Karanganyar. Daerah ini ditetapkan sebagai daerah cagar budaya oleh pemerintah Indonesia pada 1977. Penetapan ini berdasarkan hasil penelitian terhadap fosil-fosil yang ditemukan pada rentang waktu dari 1930 sampai 1970.

Situs Sangiran bernilai penting untuk ilmu pengetahuan. Situs ini memiliki singkapan seri batuan sedimen (endapan dari tumbuhan atau benda hidup sehingga membentuk gugusan) yang lengkap dari akhir zaman tersier sampai kuarter. Secara arkeologis, situs ini menghasilkan barang-barang artifak hasil budaya manusia purba, misalnya alat serpih dan alat batu masif. Artifak ini terutama terkonsentrasi pada sedimen yang berumur sekitar 800 ribu tahun.

Secara paleoantropologi (ilmu tentang fosil untuk menyingkap sejarah manusia purba), Sangiran menghasilkan fosil hominid (marga manusia) purba yang mencakup sekitar 50 individu. Jumlah ini 65 persen dari keseluruhan fosil hominid yang pernah ditemukan di Indonesia, dan 50 persen dari temuan seluruh dunia. ”Fosil hominid Sangiran sangat berarti bagi studi evolusi manusia purba,” kata Drs. Tri Harmadji, Kepala Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Jawa Tengah, kepada TEMPO. Bagi antropolog, temuan tersebut menggambarkan tahapan evolusi manusia yang lengkap dari Meganthropus palaleojavanicus, Pithecanthropus erectus (Homo erectus erectus), sampai Pithecanthropus soloensis (Homo erectus soloensis).

Secara paleontologis, kawasan Sangiran menunjukkan perkembangan evolusi kehidupan. Bermula dari lingkungan laut, kehidupan berlanjut ke lingkungan payau, lingkungan danau air tawar, dan terakhir lingkungan daratan. Evolusi itu ditunjukkan oleh temuan fosil-fosil itu: fosil gigi ikan hiu, foraminifera (hewan bersel satu), dan moluska (binatang tak berkerangka) menunjukkan lingkungan laut; fosil buaya dan kura-kura mengarah ke lingkungan air payau; endapan lempung hitam yang menghasilkan moluska air tawar mengindikasikan lingkungan danau air tawar; fosil mamalia daratan dan hominid purba menandakan lingkungan daratan.

Pendek kata, Sangiran menyimpan jejak-jejak tak tepermanai bagi masa lalu kehidupan purba.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus