Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Nama Subur terkenal di Sangiran. Bukan apa-apa kecuali lelaki berusia 32 tahun itu pernah tersangkut dalam bisnis fosil ilegal. Penampilan kesehariannya bersahaja. Ayah tiga anak itu bila pergi ke ladang sering hanya mengenakan kaus dalam dan celana pendek. Mobil dan sepeda motor pun tak dimilikinya. Subur tinggal bersama istri dan tiga anaknya di sebuah rumah yang tak jauh dari Museum Prasejarah Sangiran.
Rumahnya sederhana. Lantainya terbuat dari keramik berwarna putih dan pilarnya bergaya Spanyol. Dengan luas sekitar 250 meter persegi, rumah itu berbentuk L. Ruang tamunya dipenuhi dos berisi dagangan berupa batik dan suvenir batu oniks. Beberapa potong fosil tergeletak di beberapa tempat. Seperangkat sofa warna hijau mengisi ruang tamu seluas 4 x 3 meter itu. Rumah itu berbeda dari model rumah limasan yang banyak dimiliki warga Sangiran.
Lahir dari keluarga miskin, Subur sempat mengenyam pendidikan sekolah menengah umum. Mandiri sejak kecil, biaya sekolah pun ia tanggung sendiri. Jualan kecil-kecilan pun dia lakukan. ”Setiap jam istirahat, saya berjualan es,” kata Subur mengenang masa lalunya. Tak melanjutkan kuliah ke perguruan tinggi, Subur merintis bisnis suvenir di Jakarta dan Bali. Lainnya, bisnis perabot kuno, batu-batuan, antara lain onix dan batu alam. Juga batik. ”Kami mengimpor bahan sutera dari Cina untuk kain batik,” kata Subur. Belakangan dia membuka toko barang-barang seni di Bogor. Berkat bisnis itu, di mata tetangganya, Subur dianggap sukses.
Rentang waktu 1991-1995, Subur seperti sejumlah tetangganya, pernah ikut membantu penelitian geologi dan arkeologi yang dilakukan peneliti asing dan lokal. Dari situ, Subur mengerti seluk-beluk dunia fosil. Pekerjaan itu mendatangkan honor Rp 10 ribu per hari per orang. Saat itulah Subur berkenalan dengan ahli antropologi ragawi dari AS, Prof. Donald E. Tyler, yang kemudian meletupkan kasus skandal bisnis fosil pada 1993. Namun, Subur belajar seluk-beluk fosil dari Francois Semah, peneliti asal Prancis yang pernah datang ke Sangiran.
Dalam menjalankan bisnis, Subur sering ”melarang” warga Krikilan, desa pusat penjualan fosil di Sangiran itu, menyerahkan temuan fosil ke pemerintah. ”Soalnya, bila fosil itu diserahkan ke museum, selain proses pembayarannya lama, uangnya kecil,” kata Subur. Tengkulak itu juga memiliki enam orang kaki tangan yang tersebar di berbagai lokasi utama penemuan fosil, seperti Sambungmacan dan Tanon. Bila ia melihat seseorang bisa diajak kerja sama, Subur akan meninggalkan kartu namanya. Setiap dua minggu sekali, temuan orang itu akan dicek.
Benarkah Subur makmur dari bisnis fosil? Ia menepis semua tuduhan itu. ”Saya tidak menjual fosil,” kata Subur kepada TEMPO. Memang dia mengakui pernah menyerahkan fosil ke ilmuwan Prof Donald E. Tyler dari Universitas Idaho, AS, pada 1993. Sebab, setahu Subur, benda itu akan dipakai untuk penelitian. ”Karena dia peneliti, saya kira ya untuk penelitian,” kata Subur. Untuk jasanya, Subur mengaku memperoleh uang dari Tyler Rp 200 ribu, sekadar sebagai ganti rugi.
Pedagang fosil seperti Subur bisa saja mengelak. ”Orang kita biasa begitu. Baru sekali saya terlibat, seterusnya nama saya dikait-kaitkan,” tutur Subur. Namun, cacatan Musum Situs Prasejarah Sangiran menunjukkan bahwa nama lelaki yang jago berbicara itu tak hanya sekali itu tersangkut jual-beli fosil. Pada 1995 museum itu menyita fosil fragmen gading gajah dari tangan Subur. Fosil itu dibeli Subur dari Sodikromo, petani Desa Grogolan, Sragen, seharga Rp 325 ribu. Bila Subur hingga kini lolos dari jerat hukum, siapa yang salah?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo