Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PAPAN bertulisan "Koloniale Tentoonstelling 1914" tergantung tepat di bawah lengkungan gapura raksasa dari rangkaian baja. Di kanan-kiri gapura, menjulang empat menara lengkap dengan lampu penerang menggantung. Gapura menyatu dengan dua baris gedung bergaya Eropa. Pada malam hari, menara menyala seperti mercusuar di tepi laut. Itulah salah satu pintu masuk perhelatan Koloniale Tentoonstelling.
Seratus tahun lalu-tepatnya pada 1914-sebuah pameran dagang internasional (expo) diadakan pemerintah Hindia Belanda di Semarang. Koloniale Tentoonstelling atau Pameran Kolonial yang berlangsung pada 20 Agustus-22 November 1914 itu adalah pameran dagang terbesar di kawasan Asia pada zamannya. Pameran diikuti hampir semua daerah di Nusantara serta mancanegara, seperti Jepang, Cina, India, Pakistan, Australia, dan Amerika. Expo menghadirkan 105 paviliun yang menempati total area seluas 39.260 hektare.
Dari foto-foto lama, kita melihat betapa prestisiusnya pameran yang oleh warga Semarang saat itu disebut Pasar Malam Sentiling tersebut. Menurut Koordinator Komunitas Pegiat Sejarah Semarang Rukardi, Koloniale Tentoonstelling diinisiasi oleh raja gula Asia asal Semarang, Oei Tiong Ham. Oei menghimpun komunitas pengusaha Tionghoa, sejumlah intelektual Jawa, dan pihak Kota Praja Semarang. Ia mendapat dukungan penuh dari pemerintah Hindia Belanda.
Oei berharap selama empat bulan expo tersebut bisa menjadi ajang promosi berbagai komoditas kepada pasar dunia. Akan halnya pemerintah Hindia Belanda di bawah Gubernur Jenderal Alexander Willem Frederik Idenburg, yang saat itu gencar melakukan strategi Politik Etis, ingin menjadikan pameran tersebut sebagai bukti kepada dunia bahwa mereka berhasil memajukan negara jajahannya. "Tentoonstelling mempertemukan kepentingan pengusaha dan politik Hindia Belanda waktu itu," kata Rukardi.
Semarang sendiri saat itu menjadi kota penting dalam perdagangan ekspor di Hindia Belanda. Selain letaknya strategis di tengah Pulau Jawa, kota ini memiliki sarana-prasarana transportasi memadai: pelabuhan, kereta api, trem, dan jalur darat (Jalan Daendels). Bahkan jalur kereta api di Semarang tersambung dari pelabuhan sampai ke pedalaman hutan, yang memungkinkan Hindia Belanda mengekspor langsung hasil bumi.
Menurut Tjahjono Rahardjo, dosen magister lingkungan dan perkotaan Universitas Katolik Soegijapranata, Semarang, selain alasan Politik Etis, melalui pameran tersebut, Belanda ingin mendorong pertukaran informasi tentang perkembangan teknologi industri. "Saat itu Hindia Belanda sedang gencar melakukan percepatan di bidang industri," ujar Tjahjono.
Tentoonstelling Semarang boleh dibilang istimewa. Sebab, sebelum itu, pameran dagang internasional biasanya digelar di Eropa. Expo berskala internasional yang pertama digelar di London, Inggris. Perhelatan itu diadakan pada 1851 di Crystal Palace. Itu sebabnya pameran tersebut sering disebut sebagai Crystal Palace Exhibition. Pergelaran yang kedua adalah Exposition Universelle des produits de l'Agriculture, de l'Industrie et des Beaux-Arts de Paris, yang digelar di Paris, Prancis, pada 1855.
Menurut pemerhati sejarah dan budaya Taufik Rahzen, Inggris dan Prancis selalu berebut menggelar expo internasional. Setelah 1850-an, silih berganti pameran internasional digelar di Inggris dan Prancis. Belakangan, negara lain, seperti Spanyol dan Amerika, ikut menggelar pergelaran serupa. "Di antara pameran dagang dunia yang digelar sejak 1851 hingga 1914, Semarang kemudian menjadi kota pertama di Asia sebagai penyelenggara. Baru pada 1970, expo internasional diadakan di Osaka, Jepang," kata Taufik.
Tentoonstelling Semarang membutuhkan persiapan lebih dari setahun-terhitung sejak Agustus 1913 hingga akhirnya dibuka pada 20 Agustus 1914. Pameran itu sekaligus digunakan pemerintah Belanda untuk memperingati 100 tahun Traktat atau Konvensi London, yang menyepakati pengembalian Hindia Belanda kepada Belanda setelah diambil alih Prancis dan kemudian Inggris.
Persiapan pameran itu setidaknya melibatkan 3.000 pekerja, yang dikerahkan untuk mempercepat segala rupa pembangunan. Mereka bekerja menyulap total lahan seluas 39.260 hektare menjadi area pameran kebudayaan dan perdagangan. Kini lahan tersebut terhampar dari kawasan Jalan Pandanaran naik ke selatan hingga kawasan Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Semarang dan Taman KB.
Sebagian lahan pameran, sekitar 26 hektare, merupakan tanah milik Oei Tiong Ham yang dipinjamkan. Sang raja gula Asia juga meminjamkan modal tanpa bunga sebesar 200 gulden. Saat itu, Oei adalah taipan kakap. Dia pedagang besar yang memiliki jaringan di seluruh Nusantara dan mancanegara.
Selain mendapat kucuran modal dari Oei Tiong Ham, pameran dagang itu mendapat pinjaman senilai 227.200 gulden, yang dikumpulkan dari sekitar 20 pengusaha Tiongkok. Para residen di kota lain juga dimintai bantuan dana untuk perhelatan tersebut. Total biaya pameran mencapai 839 ribu gulden. "Kalau dengan kurs sekarang mungkin mencapai Rp 3 triliun," ujar Taufik.
Arena Tentoonstelling berupa 105 bangunan semipermanen besar dan kecil. Stan pameran dibangun dalam bentuk paviliun yang megah, memadukan arsitektur Eropa dan gaya tropis Nusantara. Jumlah tersebut belum termasuk sarana pendukung, seperti restoran, bar, taman, toilet, dan lahan parkir.
Menurut Rukardi, bangunan-bangunan itu sebagian besar dirancang dua arsitek Belanda, Maclaine Pont dan D.C. Buurman, serta seorang arsitek pribumi, Mas Aboekassan Atmodirono. Atmodirono adalah arsitek yang saat itu bekerja pada Dinas Pengairan dan Pekerjaan Umum Negeri Semarang. "Atmodirono-lah yang mendesain sebagian besar paviliun," katanya. "Kecuali paviliun untuk negara-negara tertentu yang membawa knock-down bangunan sendiri, seperti Jepang dan Cina."
Di samping diikuti perwakilan dari mancanegara dan hampir semua daerah di Nusantara, pameran ini diikuti beberapa perusahaan yang bergerak di bidang pertanian dan perkebunan, yang memamerkan keunggulan produksi gula, karet, teh, kopi, kakao, tembakau, kapuk, kina, dan jati.
Perusahaan minyak, gas, otomotif, telekomunikasi, dan listrik, baik dalam dan luar negeri, juga turut serta. Pameran pun menghadirkan stan kerajinan tangan, kesenian tradisional, dan olahraga. Ada pula paviliun khusus perempuan sebagai bentuk dorongan gerakan emansipasi. Oei Tiong Ham, selaku penggagas acara, memiliki paviliun khusus yang memamerkan bisnis gulanya.
Dengan melihat denah dalam buku Gedenkboek van de Koloniale Tentoonstelling Semarang karya M.G. Van Heel, sekretaris utama Koloniale Tentoonstelling, kita bisa membayangkan betapa besarnya pameran dagang tersebut. Di depan gerbang masuk, bangunan yang menjulang adalah stadion olahraga. Di sisi timur, ada kompleks paviliun bangunan-bangunan Nusantara.
Aceh membuat rumah Pidie seluas 325 meter persegi, berupa rumah panggung yang kaya ukiran kayu. Selain memamerkan kerajinan khas Aceh, mereka menampilkan pelbagai seni dan budaya, seperti tari Saman serta musik rebana. Paviliun Aceh merupakan paviliun terbaik dari perwakilan residen atau kesultanan di Hindia Belanda.
Tapanuli membuat rumah Batak, Palembang menyajikan rumah adat Palembang, Jambi memamerkan rumah Muara Boengo dan rumah Kerinci, Sulawesi membuat rumah terakhir Raja Bone, serta Bali dan Lombok membuat rumah para dewa. "Semua dibuat serupa aslinya," ucap Taufik. Semua rumah tersebut dibangun di bawah arahan arsitek pribumi yang sangat terkenal waktu itu, Atmodirono. "Tapi, sayang, sedikit sekali informasi tentang Atmodirono ini," Taufik menambahkan.
Di sisi barat, ada paviliun negara-negara di luar Nusantara. Negara lain yang berpartisipasi di antaranya Jepang dan Cina. Van Heel mencatat, Jepang khusus memboyong arsitek dan kuli dari negara sendiri untuk mengerjakan paviliun mereka. Jepang juga khusus membawa kayu-kayu asli negeri mereka untuk mengerjakan bangunan seluas 750 meter persegi tersebut. Paviliun Jepang dikerjakan selama enam pekan. "Mereka menunjukkan kerja yang energetik," tulis Van Heel.
Paviliun Jepang terdiri atas dua bangunan bergaya arsitektur Jepang klasik. Paviliun itu menyerupai pagoda kembar. Pada tiap ujung pagoda terdapat bendera matahari terbit. Di salah satu ruang paviliun dipamerkan aneka benda seni dan kerajinan, seperti lukisan, guci, dan kain tenun. Di bagian lain, Jepang memamerkan teknologi sepeda motor berbahan bakar listrik, sepeda, jam, dan kamera fotografi. Di sebelah kiri paviliun terdapat kafe yang khusus menyajikan teh.
Paviliun Cina berdinding tinggi dengan pintu masuk menyerupai kuil Shaolin. Bentuk atapnya mirip pelana kuda. Ukiran kayu berbentuk naga berwarna merah dan kuning emas terdapat di sana-sini. Kontingen Cina juga membangun taman untuk bersantai dengan aneka tanaman dan air mancur. Di dalam paviliun, mereka memamerkan aneka kerajinan furnitur, seperti kursi tamu dengan meja dari marmer, konsul, dan tempat tidur.
Terdapat juga paviliun perwakilan dari Prancis. Prancis membuat sebuah taman besar tepat di sebelah timur stadion olahraga. Panitia penyelenggara agak kewalahan menghias taman tersebut karena Prancis membuat air mancur dengan teknologi yang terbilang sulit dicari pada masa itu.
BAGI Kota Semarang, kehadiran pameran dagang itu memberi berkah tersendiri terhadap pembangunan kota. Menurut Tjahjono, guna menyukseskan perhelatan tersebut, Pemerintah Kota Praja Semarang menambah jalur trem dari Bulu ke lokasi Tentoonstelling.
Sebelumnya, jalur trem hanya ada dari Stasiun Jurnatan-Bojong (Jalan Pemuda)-Bulu. Pada Mei 1914, pembangunan Stasiun Kereta Api Tawang sebagai penyempurnaan Stasiun Kereta Api Poncol juga sudah jadi. Sebelumnya, Maret 1914, proyek pembangunan waterleiding (perusahaan air ledeng) juga telah selesai.
Kalangan swasta pun menyambut baik rencana Tentoonstelling dengan membangun hotel baru, rumah penginapan, penyewaan mobil, dan restoran, lalu mengiklankannya di koran. Tarif hotel semalam 5 gulden per orang dan 7,50 gulden untuk dua orang. Jika tinggal sebulan penuh untuk dua orang, tarifnya 100 gulden. Sekitar tiga bulan sebelum perhelatan dibuka, pihak panitia gencar memasang iklan pembukaan Tentoonstelling.
Sayangnya, pameran akbar yang dipersiapkan matang itu gagal dari target peserta dan jumlah pengunjung. Hal ini tak lepas dari dampak meletusnya Perang Dunia Pertama di Eropa. Perang yang mulai berkecamuk pada Juli 1914 itu membuat beberapa negara Eropa absen. Hindia Belanda terisolasi. Keterbatasan pelayaran kapal mengakibatkan harga komoditas naik.
Pada 5 Agustus, misalnya, harga beras di beberapa kota naik dari 10 gulden per pikul menjadi 15 gulden. Juga beredar kabar uang kertas tak laku. Kondisi ini memaksa pemerintah mengeluarkan pelarangan kenaikan harga beras dan menepis kabar tidak berlakunya uang kertas.
Kondisi itu membuat masyarakat yang sedianya berharap banyak keuntungan dari Tentoonstelling menjadi waswas. Menurunnya jumlah pengunjung sudah bisa dibayangkan. Karena itu, melalui iklan di koran, pemilik hotel yang semula memasang tarif 5 gulden per orang menurunkannya menjadi 1 gulden. Lotre dengan hadiah utama kalung berlian seharga 10 ribu gulden yang semula dijual 2,50 gulden pun diobral menjadi 1 gulden.
Saat pembukaan, Gubernur Jenderal Hindia Belanda Idenburg, yang sedianya akan membuka acara, batal hadir. Ia diwakili H. Lovink selaku Direktur Pertanian, Industri, dan Perdagangan. Namun sejumlah konsul dan pedagang terkemuka dari berbagai negara tetap hadir.
Pada hari pertama, pameran dagang Semarang itu dihadiri sekitar 23 ribu pengunjung. Namun, hingga pameran usai, total pengunjung hanya mencapai 677.266 orang (306.795 di antaranya orang asing). Jumlah tersebut meleset dari target sejuta orang. "Dari sisi tujuan promosi bisnis, Tentoonstelling gagal," kata Rukardi.
Selain dampak perang dunia, kegagalan Tentoonstelling sedikit-banyak dipengaruhi oleh upaya perlawanan yang dilakukan Soewardi Soerjaningrat (Ki Hadjar Dewantara), yang menolak pameran. Pasca-pembubaran Indische Partij pada Maret 1913, Soewardi dan Tjipto Mangoenkoesoemo membentuk Komite Boemi Poetra untuk menandingi perayaan 100 tahun kemerdekaan Belanda. Hal itu dipicu oleh berita di surat kabar Tjahaja Timoer (Malang) bahwa di Malang telah dibentuk komite perayaan 100 tahun lepasnya Belanda dari Prancis, yang memungut uang rakyat untuk membiayai perayaan. Komite serupa dibentuk di Jakarta dan Bogor.
Pada 19 Juli 1913, Soewardi di koran berbahasa Belanda, De Express, milik Douwes Dekker menulis artikel "Sekiranya Saya Seorang Belanda"-mengkritik perayaan Tentoonstelling. Ia mengkritik sikap pemerintah Hindia Belanda yang melakukan sebuah ironi dengan merayakan kemerdekaannya dari Prancis, tapi perayaan diadakan di tanah jajahan.
"Sekiranya aku seorang Belanda, aku tidak akan menyelenggarakan pesta-pesta kemerdekaan di negeri yang kita sendiri telah merampas kemerdekaannya. Sejajar dengan jalan fikiran itu, bukan saja tidak adil, tetapi juga tidak pantas untuk menyuruh si penduduk pedalaman memberikan sumbangan untuk dana perayaan itu. Fikiran untuk menyelenggarakan perayaan itu saja sudah menghinakan mereka, dan sekarang kita membongkar pula koceknya. Ayo teruskan penghinaan lahir dan batin itu!
Kalau aku seorang Belanda. Apa yang menyinggung perasaanku dan kawan-kawan sebangsaku terutama ialah kenyataan bahawa bangsa penduduk pedalaman diharuskan ikut mengkongsi suatu pekerjaan yang ia sendiri tidak ada kepentingan sedikit pun."
Karena artikel tersebut, Ki Hadjar Dewantara dipenjara.
Menurut Rukardi, di tengah perjalanan pembuangan ke Belanda, tepatnya saat berada di Teluk Benggala, Soewardi mengirim surat seruan pemboikotan terhadap perayaan itu. "Ia meminta rakyat tidak usah datang dan lebih baik tidur saja di rumah," ujarnya.
Ananda Badudu, Nurdin Kalim, Seno Joko Suyono (Jakarta), Sohirin (Semarang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo