Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Atmodirono, Sang Arsitek Tentoonstelling

Atmodirono satu-satunya arsitek pribumi yang ikut mendesain paviliun expo Semarang. Siapa dia? Tempo melacaknya.

22 September 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

CUKUP sulit mencari jejak Atmodirono di Semarang. Jejaknya hanya bisa ditemui di kawasan Bangkong. Di sana nama dia diabadikan menjadi nama sebuah jalan. Padahal dia satu-satunya arsitek pribumi yang ikut merancang paviliun pada pameran akbar Koloniale Tentoonstelling. Bersama dua arsitek asal Belanda, Maclaine Pont dan D.C. Buurman, Atmodirono (almarhum) mendesain sebagian dari 105 paviliun yang digunakan untuk stan pameran.

Menurut Tjahjono Rahardjo, ketidakpopuleran Atmodirono lantaran dia tak meninggalkan bangunan monumental yang masih bisa dijumpai hingga kini. "Di Semarang, nama Atmodirono tak sepopuler Herman Thomas Karsten, yang mengarsiteki Pasar Johar, Rumah Sakit Elisabeth, dan kawasan permukiman di candi," kata dosen magister lingkungan dan perkotaan Universitas Soegijapranata, Semarang, itu.

Tapi bukan berarti Atmodirono tidak membangun atau terlibat dalam pembangunan gedung dan bangunan di Semarang. Sebagai pegawai Dinas Pengairan dan Pekerjaan Umum Negeri Semarang, dia kemungkinan besar lebih berfokus pada proyek pembangunan sarana umum, yang pengerjaannya atas nama pemerintah. "Bangunan di Tentoonstelling sendiri, meski bagus, hanya bersifat semipermanen," ujar Tjahjono.

Satu-satunya bangunan monumental yang menjadi jejak kearsitekan Atmodirono justru berada di Solo. Karyanya bisa dilihat pada gedung Monumen Pers Nasional di Jalan Gajah Mada. Gedung tersebut dibangun oleh KGPAA Mangkunegara VII pada 1918 sebagai tempat pertemuan kerabat Mangkunegaran dan dinamakan gedung Societeit Sasonosuko.

Dulu di dalam gedung itu dilengkapi beberapa jenis permainan, seperti meja biliar dan papan catur. Masyarakat pada masa itu menyebutnya sebagai Gedung Ngesus. Atmodirono memang bersahabat dengan Mangkunegara VII. Dia bahkan mendapat gelar mas dari Keraton Solo.

Hingga kini gedung itu masih berdiri kokoh. "Bentuk gedung tersebut masih sama dengan saat selesai dibangun 96 tahun silam. Hanya warnanya yang berubah," tutur Subardi dari Seksi Konservasi dan Preservasi Monumen Pers Nasional. Dulu, kata Subardi, bangunan tersebut berwarna kuning gading. Pengecatan menjadi warna abu-abu tua dilakukan pada awal 1980-an.

Lahir di Wonosobo, Jawa Tengah, 18 Maret 1860, Atmodirono bernama lengkap Aboekassan Atmodirono. Dia putra dari Atmodirono, jaksa kepala di Purworejo. Sebagai anak jaksa, ia mendapat kesempatan bersekolah di Europeesche Lagere School (ELS), yang hanya diperuntukkan bagi anak-anak orang Eropa. Tamat dari ELS, ia meneruskan sekolah ke Koningin Wilhelminaschool.

Lulus dari Wilhelminaschool, Atmodirono diangkat menjadi opseter kelas III pada Dinas Pengairan dan Pekerjaan Umum Negeri, yang kala itu merupakan jabatan cukup bergengsi. Atmodirono menjadi sedikit dari orang Jawa yang telah dipersamakan dengan orang Eropa, baik dalam hal pekerjaan maupun gaji, di Dinas Pengairan. Sekitar tiga tahun kemudian, ia naik pangkat dengan diangkat sebagai opseter kelas I, yang ditempatkan di beberapa daerah, seperti Pejarakan, Kebumen, Karanganyar, Banjarnegara, dan Semarang.

Dalam sebuah harian yang terbit di Semarang, sejarawan Amen Budiman menulis, minat Atmodirono yang kuat pada arsitektur mendorong dia ikut ujian untuk menjadi arsitek pengairan di Semarang pada 1898. Setelah lulus, dia bekerja sebagai arsitek di Dinas Pengairan dan Pekerjaan Umum Negeri. Atmodirono kemudian menjadi arsitek yang hebat.

Pada 1912, dia dianugerahi bintang kehormatan De Orde van Oranye Nassau dari pemerintah Hindia Belanda. Penyematan bintang jasa itu dilakukan dalam suatu upacara yang sangat meriah, dihadiri puluhan insinyur dan para opseter dari daerah-daerah sekitar Semarang.

Selain sebagai arsitek, Atmodirono melek politik. Pada 1911, dia mendirikan Mangoen Hardjo, organisasi khusus untuk para ambtenaar pribumi. Organisasi itu kemudian berkembang, beranggotakan sekitar 2.000 orang serta memiliki 24 cabang di seluruh Jawa dan Madura. Bukan hanya itu, dia juga mendirikan organisasi khusus untuk para bupati. Saat itu, 40 dari 70 bupati di Jawa menjadi anggotanya.

Dalam bidang pendidikan, Atmodirono berjasa mendirikan sebuah sekolah teknik di Semarang. Tujuannya agar anak-anak pribumi mempunyai cukup bakat dalam pendidikan teknik. Pendidikan diberikan malam hari-lima hari dalam seminggu. Setelah mengikuti pelajaran selama empat tahun, lulusan sekolah itu bisa ditempatkan sebagai opseter rendahan pada dinas pengairan, pekerjaan umum setempat, dan perusahaan partikelir.

Pada 1906, saat pemerintah Hindia Belanda mendirikan Kota Praja Semarang, Atmodirono ditunjuk menjadi anggota Dewan Kota Praja Semarang. Meski menjadi tokoh terkemuka, ia tetap sederhana. "Dia berpenampilan sederhana dan tetap mengenakan pakaian Jawa," tulis Amen Budiman.

Sohirin (Semarang), Ahmad Rafiq (Solo)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus