Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lagu dangdut itu keluar dari loudspeaker mini-seperti yang biasa dibawa para waria jalanan. Yola Yolvianti, 33 tahun, menggeret loudspeaker yang diletakkan di dalam koper itu. Pinggulnya meliuk. Kepalanya mengenakan bando Minnie Mouse. Lagu Terong Dicabein... adalah lagu favorit sekelompok cewek ABG di Gang Johar, Jakarta, yang menamakan diri Gang Ce Resah.
Koreografi Yola memang didasari riset kehidupan padat perkampungan Johar, Tanah Tinggi. Begitu masuk ke Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, 16 September 2014, penonton langsung menyaksikan sembilan daun pintu di panggung. Pintu-pintu itu sesungguhnya adalah bekas pintu milik warga-warga kampung yang dibuang. Adegan awal: di salah satu lubang pintu, samar-samar Yola berpagutan penuh berahi.
Koreografi kemudian berlangsung cenderung naratif. Para penari, yakni Wardani Astri, Boogie Papeda, Retno Tan, Eka Irianto, Ranisa Adindaa, Iam Murda, Damar Rizal, dan Densiel Prismayan-gabungan dari mahasiswa IKJ dan STSI Solo-menampilkan potret sehari-hari anak-anak kampung. Inti koreografi adalah para penari berinteraksi dengan pintu. Mereka berlompatan dan bergantungan serta mendorong, menendang, dan membanting jejeran daun pintu.
Kampung Johar Baru adalah wilayah padat penduduk di Jakarta Pusat. Tingkat tawuran di sana tinggi. Yola mengenal kampung ini pada 2012, saat ia mengikuti program Jakarta Art Movement. Ia mengumpulkan cerita dari anak-anak sampai ibu-ibu. Termasuk mencermati lagu-lagu apa saja yang disukai ABG. Selama kurang-lebih dua bulan, Yola mengajak para penarinya berlatih di lorong Johar. Yola ingin tubuh mereka merasakan bergerak di ruang sempit. Penduduk ada yang memperbolehkan Yola berlatih di ruang rumah mereka. Tak ketinggalan, mereka mencoba naik odong-odong berkeliling Johar. Jika di panggung ada lampu hias menyala-nyala, itu sesungguhnya lampu hias yang dipasang di odong-odong.
Yola bahkan membawa Ryoya Fudetani, penata cahaya dari Jepang, yang terlibat pementasan ini selama sepuluh hari melakukan survei. Fude terperangah menyaksikan ada perkampungan kumuh tepat di belakang gedung pencakar langit. "Mereka miskin, tapi saya rasa mereka bahagia. Ini berkebalikan dengan kebanyakan orang Jepang," ia berkomentar, entah betul entah tidak. Fude terheran-heran mendapati kenyataan ada pasangan suami-istri yang tinggal bersama tujuh saudaranya di sebuah rumah petak. "Bagaimana mereka bercinta ?" katanya. Fude kemudian membuat konsep pencahayaan. Selera pencahayaannya: temaram. Serba remang-remang.
Di panggung, Yola membebaskan gerakan. "Saya membiarkan para penari berpijak pada ingatan tubuh masing-masing saat berlatih di lorong." Tapi cara tubuh mereka saat membentur, menggeret, dan menabrak pintu kurang menyuarakan kekelaman. Kurang "keras". Pintu-pintu, yang semestinya menjadi "aktor kedua", kurang bisa dihidupkan. Juga saat mereka menari di atas toilet kakus. Sepanjang adegan, disorotkan rekaman video kehidupan sehari-hari anak Johar. Video dibuat saling bertabrakan dengan tubuh, hingga gambarnya cenderung hablur, pecah-pecah. Selera Yola memang demikian.
Ini adalah koreografi kedua Yola yang dibuat berdasarkan riset persoalan urban Jakarta. Dua tahun lalu, di Indonesia Dance Festival, ia menampilkan karya berjudul Water Proof. Ia menggenangi Teater Luwes IKJ dengan air. Penonton duduk di ember kecil dengan kaki terendam air. Slang air berseliweran di atas kepala penari. Penari berebut slang. Karya ini menggambarkan tentang betapa minimnya air bersih di rumah susun.
Yang mungkin sekarang membingungkan adalah mengapa karya soal Johar ini diberi judul I Think… Tonk. "'Tonk' itu maksudnya 'Otong', panggilan seorang anak Johar," ujar Yola. Judul itu, menurut dia, mendeskripsikan remaja kampung yang rata-rata kurang memikirkan masa depan. "Saya menemukan bahwa kemarin dan esok hari tidak ada artinya. Yang mereka pikirkan hanya sekarang, hari ini," katanya. Terong Dicabein....
Ratnaning Asih
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo