Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

The Walrus dalam Gesekan

Komponis Haryo "Yose" Soejoto menginterpretasi lagu The Beatles dan jawara rock 1970-an. Membuka perhelatan Festival Salihara.

22 September 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hoedown. Lagu Emerson, Lake and Palmer (ELP) tahun 1972 dari album Trilogy itu disajikan oleh 27 musikus penggesek dawai. ELP adalah trio progressive rock Inggris yang dikenal sering mengaransemen komposisi klasik menjadi sebuah lagu rock. Hoedown sesungguhnya komposisi dari Aaron Copland-komponis dan dirigen Amerika (1900-1990). Dan malam itu kita melihat tafsir ELP atas lagu Aaron Copland "dikembalikan lagi" oleh Haryo "Yose" Soejoto dengan materi seluruhnya string.

Malam kedua (14 September) repertoar Magical Mystery Tour Haryo "Yose" Soejoto dan Anime String Orchestra di Salihara berlangsung unik. Disajikan di ruang oval di lantai dua, yang biasanya digunakan untuk pameran foto dan lukisan, posisi 27 penggesek dawai yang bermain dekat dengan penonton membawa aura berbeda. Suasana jadi lebih cair.

"Ini tafsir saya atas Jimi Hendrix," kata Yose saat mengawali lagu Hendrix: Spanish Castle Magic. Kita bertanya-tanya bagaimana gabungan violin, viola, cello, dan double bass itu bisa menggantikan permainan gitar elektrik Hendrix yang garang. Di sinilah tingkat kesulitan pertunjukan. Pertanyaan yang sama juga muncul saat Yose mengaransemen lagu ELP lain, Trilogy Opening, yang didominasi permainan maut keyboard Keith Emerson.

Pentas dibagi dua babak. Pada bagian pertama, Yose membawakan karya-karya The Beatles dalam format orkestra dan kuartet cello-biola. Total ada 14 lagu Beatles yang diinterpretasi oleh Yose, antara lain Magical Mystery Tour, Her Majesty, Let it Be, Penny Lane, Drive My Car, Yesterday, dan I am the Walrus.

Pada lagu-lagu pembuka, komposisi Yose masih terdengar serupa dengan musik aslinya. Ia tak banyak bereksperimen pada dua lagu pertama, yakni Magical Mystery Tour dan Eleanor Rigby. Melodi yang dimainkan orkestra serupa dengan aslinya. Seperti mendengarkan lagu di lounge bar. Barulah pada nomor selanjutnya, saat Yose memainkan And I Love Her, terasa ada pembawaan yang beda dengan lagu aslinya. Yose melambatkan tempo dan menyusun orkestrasi menjadi lebih lirih.

Dalam Roll Over Beethoven, kualitas Yose semakin tampak. Di lagu ini, ia banyak bermain dinamika suara, dari gesekan lembut yang mendadak jadi keras atau sebaliknya. Emosi pendengar ikut dibawa naik-turun mengikuti arahan Yose. Di titik inilah ia berhasil menarik diri dari musik Beatles yang dibangun oleh instrumen elektrik dan drum. Ia mengganti tabuhan Ringo dengan permainan nada bas, sehingga ketukan seolah-olah tampak ada, padahal tak ada.

Yang termasuk top malam itu adalah komposisi I am the Walrus. Yose mengatur ritme dengan baik sehingga semua bisa merasakan begitu mencapai puncak pada bagian akhir. Di tengah bagian, saat Lennon dan McCartney dalam lagu aslinya melantunkan lirik aneh: I am the eggman, they are the eggman, goo, goo, g'joob, g'goo, goo, g'joob, g'goo goo, para penggesek ikut berteriak-teriak. Tafsir yang menarik.

Yose mengenyam pendidikan musik dari empat lembaga: Akademi Musik Indonesia, Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (LPKJ), Wellington Polytechnic di Selandia Baru, dan Institut Seni Indonesia di Yogyakarta. Ia tergolong komponis mbeling. Ia bersama kawan-kawannya pernah naik ke panggung dengan masing-masing menyetel radio transistor. Komposisi yang dihadirkan adalah permainan gemeresek gelombang antar-radio. Inilah karya untuk mengenang komposer eksprimental Amerika, John Cage. Yose juga pernah membawa belasan tukang kayu ke Galeri Cemeti, Yogya. Mereka disuruh bekerja sebagaimana biasa. Menyerut kayu, memaku, memukul-mukulkan martil, dan sebagainya. Menurut Yose, tiap tukang itu memiliki ketukan yang berbeda. Yose mengonduktori "musik konkret" tersebut.

Dan, malam itu, guru cello privat dan dosen musik di Universitas Pasundan, Bandung, tersebut ingin menanggalkan stigma bahwa alat gesek selalu memainkan musik klasik. Selain membawakan karya ELP dan Hendrix, Yose dan Anime String menyodorkan Led Zeppelin. Tapi penggemar Zeppelin mungkin akan mengatakan kurang menggigit saat mereka menampilkan Immigrant Song. Akan halnya tatkala mereka mengaransemen lagu Yes, Roundabout dan Long Distance Runaround, fan Yes mungkin cukup lega. Permainan keyboard Rick Wakeman yang berlapis-lapis dan rumit serta tempo lagu yang tak terduga bisa disuguhkan dengan baik oleh paduan string.

Siapa saja yang pernah menyaksikan pementasan Yes di Ballroom Pacific Place, Jakarta, beberapa tahun lalu akan melihat penampilan Yes sudah "kendur". Chris Squire (bas), Alan White (drum), Steve Howe (gitar), dan Geoff Downes (keyboard), yang rata-rata sudah berusia di atas 60 tahun, hanya menampilkan suatu nostalgia. Dan aksi panggung vokalis muda Jon Davidson (saat itu 40 tahun)-yang dipilih menggantikan vokalis utama Yes, Jon Anderson-meski berusaha keras meniru Anderson, tetap seorang "KW".

Tiba-tiba malam itu, menyaksikan orkestra string tanpa vokal ala Yose terasa membayangkan berdiri seseorang dengan karakter warna suara halus menyanyikan Roundabout, sebagaimana Jon Anderson pernah menyanyikan lagu-lagu Yes diiringi sebuah symphonic orchestra. Keenan Nasution-mantan personel grup Guruh Gipsy-yang ada di antara penonton, merasa cukup puas atas apa yang disajikan Yose. "Ya, dia cukup berhasil," ujarnya.

Ananda Badudu, Seno Joko Suyono


'Mantra' Orgel Chrobokova

Mendengar komposisi Johann Sebastian Bach dalam Toccata and Fugue in D minor, BWV 565 dalam nada yang keluar dari orgel atau organ pipa di gereja mungkin sudah biasa. Nada yang keluar dari organ itu seperti mengantarkan kita pada suasana spiritual yang kental saat umat kristiani bersembahyang.

Tapi nada yang terdengar serupa di Teater Salihara pada Senin, 15 September 2014, bukan suara organ pipa seperti yang terpasang di gereja. Suara ini keluar dari organ putih dengan deretan tuts bersusun empat milik Katerina Chrobokova, pemusik asal Republik Cek. Organ ini memang sudah dimodifikasi sedemikian rupa, termasuk pedal-pedal berwarna-warninya, sehingga menghasilkan suara yang senada dengan organ pipa.

Tak seperti orgel yang mempunyai tombol analog yang banyak, rumit, dengan pipa-pipa besar dan panjang, organ Chrobokova ini sangat sederhana. Organnya hampir seperti organ biasa yang terdiri atas tiga bagian, hanya ditunjang pedal dan perangkat komputer pengatur nada dan aneka bunyi. Tak ada tombol analog di sisi kiri dan kanan. Meski demikian, organ ini tetap menghasilkan bunyi yang sangat mirip.

Penonton terkesima oleh penampilan pembuka Chrobokova dengan komposisi Bach itu. Chrobokova mendalami organ pipa sejak berumur 14 tahun. Ia mempelajari organ pipa di Janacek Academy of Music and Performing Arts di Brno dan Ivanka Stoianova di L'Ecole Doctorale Esthetique di Technologies des Arts, Universite Paris 8. Chrobokova menjelaskan, ia sangat menghormati nilai spiritual di gereja dan organ pipanya. Tapi dia merasa kurang leluasa untuk selalu menggunakan alat musik yang kompleks itu. Yang menarik dari organ putihnya itu, bisa keluar berbagai suara organ gereja pada periode Barok, Renaisans, atau Romantis.

Chrobokova lantas meneruskan komposisinya dengan "alunan" flute. Di tengah-tengah komposisi yang kalem itu, dia menggebrak dengan rangkaian nada yang merambah semua nada. Dia menyuguhkan pula komposisi abad ke-20 milik idolanya, Olivier Messiaen, Communion et Sortie from the Messe de la Pentecote-komposisi yang memunculkan suara-suara burung.

Dengan organnya ini, Chrobokova juga bisa menampilkan komposisi lagu yang ngerock. Pada komposisi Mantra, bunyi yang keluar seperti rapalan doa umat Hindu tatkala bersembahyang. Karya itu memang terinspirasi dari pergaulannya dengan pemusik Bali. Ada juga komposisi dengan unsur bebunyian seperti mesin. Chrobokova mengaku menyukai bunyi derak mesin-mesin itu karena tumbuh dari daerah industri di bagian utara Republik Cek.

Dian Yuliastuti

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus