Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JALAN Kiai Saleh Nomor 12, Semarang, menjadi saksi sejarah kiprah Oei Tiong Ham menjalani hari-harinya. Di sanalah rumah konglomerat terkaya masa Hindia Belanda pada awal abad ke-20 yang terkenal sebagai raja gula Asia itu berdiri megah. Sang raja gula menempati sebuah rumah besar berarsitektur Eropa klasik dengan delapan pilar penyangga teras. Beberapa lampu gantung mempercantik teras. Sentuhan arsitektur Jawa tampak pada tritisan dengan ornamen sirap.
Melewati pintu utama, kita langsung masuk ke ruang utama yang lebih mirip hall sebuah gedung kuno di Eropa. Warna putih kekuning-kuningan mendominasi ruangan seluas hampir separuh lapangan sepak bola itu. Lantainya dari marmer putih. Tembok dindingnya menjulang setinggi lebih dari lima meter. Langit-langitnya cembung berhias ornamen kuningan berbentuk bunga. Dua lukisan sepasang lelaki dan perempuan tua ala bangsawan Belanda menghiasi ruangan itu.
Bekas ruang utama dan kamar tidur keluarga Oei Tiong Ham itu kini telah disulap menjadi hall yang diberi nama Bernic Castle. Tempat itu disewakan untuk berbagai pesta dengan kapasitas seribu orang. Berbeda dengan ruangan itu yang sudah direnovasi, tidak demikian dengan tempat di belakang hall yang masih utuh. Inilah ruangan tempat bermain anak-anak Oei Tiong Ham.
Luasnya sekitar 12 x 12 meter. Dindingnya tanpa tembok dan tulang beton, melainkan rangkaian jendela kayu berwarna putih. Kini tiap sore ruangan ini dijadikan sanggar berlatih balet. Adapun beberapa ruangan tambahan di bagian belakang dimanfaatkan sebagai lembaga kursus bahasa Inggris, Study World.
Bekas rumah Oei Tiong Ham itu nyaris kembali ke bentuk aslinya setelah Budi Poernomo, pengusaha setempat, membelinya dari PT Rajawali Nusantara Indonesia pada awal 2000. Sebelumnya, bangunan bersejarah ini terbengkalai dan terkesan angker. Pada 1970-an, rumah itu sempat dimanfaatkan Komando Daerah Militer IV Diponegoro sebagai Balai Prajurit.
Awalnya rumah itu berdiri di atas lahan berkontur perbukitan seluas sekitar 9,2 hektare. Dalam bukunya, Oei Hui Lan, putri Oei Tiong Ham, melukiskan bahwa luasnya lahan itu menjadikan sang ayah seperti mendirikan sebuah istana di tengah kota.
Rumah itu memiliki 200 ruangan, ditambah dapur dan dua paviliun besar yang biasa digunakan sebagai ruang pesta keluarga. Dilengkapi juga dengan tempat sembahyang, taman, danau buatan, dan kebun binatang pribadi. "Saking luasnya, saya harus ditemani pembantu saat bermain agar tidak tersesat," tulis Hui Lan dalam buku Kisah Tragis Oei Hui Lan, Putri Orang Terkaya di Indonesia.
Menurut Koordinator Komunitas Pegiat Sejarah Semarang Rukardi, luas taman rumah Oei Tiong Ham mencapai 81 hektare, yang menghampar dari kawasan Gergaji, Jalan Pahlawan, Simpang Lima, hingga Randu Sari. Tak mengherankan jika jalan di permukiman di belakang rumah itu bernama Jalan Bale Kambang. Itu merujuk pada nama lain rumah Oei Tiong Ham yang sering disebut Bale Kambang, yakni bangunan yang seolah-olah terapung karena dikelilingi danau. "Kini luas lahan bangunan itu tinggal 7.560 meter," kata Rukardi.
Oei Tiong Ham bergaya hidup mewah. Untuk memenuhi selera makan, dia memiliki lima kepala koki dari luar negeri-empat orang didatangkan dari Tiongkok dan seorang dari Prancis khusus untuk memenuhi selera makanan Eropa. Salah satu menu Eropa favorit Oei adalah daging sapi tenderloin mentega dan steak. Untuk memenuhi kebutuhan daging, ia langsung mendatangkan sapi dari Australia.
Ke mana-mana Oei memakai mobil yang dibeli dari Inggris. Sopirnya juga khusus didatangkan dari Inggris. Sedangkan untuk menjaga keamanan rumahnya, dia khusus mendatangkan orang dari Afrika. Semua karyawannya tinggal di sebuah mes yang berada satu kompleks dengan rumahnya.
Rukardi menuturkan, satu hal yang unik dari Oei Tiong Ham adalah cara dia mandi. Konon, cara mandinya dengan berdiri di tengah kolam berlapis marmer putih di dalam kamar mandi. Para pembantunya kemudian disuruh menyiramnya dengan bergayung-gayung air hangat, lalu air dingin. "Hingga kini kolam tersebut masih terawat," ujarnya.
Rumah yang ditempati Oei Tiong Ham mempunyai riwayat cukup panjang. Awalnya rumah itu milik Hoo Yam Loo, pengusaha Cina yang memegang monopoli perdagangan candu. Namun, pada 1883, Yam Loo bangkrut. Seluruh kekayaannya dilelang dan jatuh ke tangan Oei Tjie Sien, ayah Oei Tiong Ham. Oei Tjie Sien, yang lahir di Desa Li Lim Sia, Provinsi Hokkian, 23 Juni 1835, berasal dari keluarga cukup terpelajar.
Pada masa mudanya, ayah Oei Tiong Ham ini bergabung dengan gerakan Tai Ping untuk memerangi rezim Kerajaan Manchu, yang dianggap meresahkan rakyat. Pada 1858, bersama dua rekannya, ia nekat pergi ke Semarang dengan menumpang sebuah Junk dari Hokkian. Setiba di Semarang, dia memulai usaha kecil-kecilan dengan berdagang porselen murahan dalam keranjang berpikulan bambu.
Sekitar lima tahun berselang, dia bersama seorang temannya mendirikan firma dagang Kian Gwan Kongsi, yang berarti Sumber dari Seluruh Kesejahteraan. Di bawah kendalinya, Kian Gwan maju pesat. Selain berjualan beras, Oei Tjien Sien berdagang kemenyan dan gambir. Ia juga mengekspor dagangannya ke Siam (Thailand) dan Saigon (Vietnam).
Kian Gwan kian berkembang dan terkenal di Semarang. Pada 1888, Oei Tjie Sien menyerahkan bisnisnya itu kepada Oei Tiong Ham, putra semata wayangnya yang saat itu baru berusia 22 tahun. Berbeda dengan ayahnya yang menjalankan usaha dengan pendekatan keluarga, Oei Tiong Ham mengembangkan bisnisnya dengan cara Barat. Dia berani membayar orang Eropa untuk mengelola bisnisnya secara profesional, terutama bisnis gula.
Bahkan, ketika usaha gulanya kian berkembang, ia berani berkongsi dengan seorang pengusaha Jerman untuk membeli sebuah pabrik gula. Dari sinilah cerita Oei Tiong Ham sebagai raja gula dimulai. Selanjutnya ia memiliki lima pabrik gula, yakni di Rejoagung, Krebet, Tanggulangin, Pakies, dan Ponen. Untuk menjamin suplai tebu bagi pabrik gulanya, Oei mengontrak tanah seluas 7.082 hektare.
Bisnis Oei Tiong Ham pun menggurita. Selain bisnis candu, ekspor aneka hasil bumi, dan gula yang telah lama digeluti, dia mendirikan pabrik tepung tapioka, perbankan, dan usaha properti. Nama Kian Gwan berubah menjadi Oei Tiong Ham Corner.
Dalam buku Konglomerat Oei Tiong Ham yang disunting oleh Yoshihara Kunio disebutkan, pada 1911-1912, ekspor gula Oei Tiong Ham mencapai 200 ribu ton dengan keuntungan 2-5 sen per kilogram. Perluasan pasar ekspor dibarengi dengan pembukaan cabang di Oei Tiong Ham Concern di London, Singapura, Shanghai, dan Mumbai. Kunio, yang dikenal dengan studinya tentang ersatzcapitalism (kapitalisme karbitan) di Asia Tenggara, menyebutkan bahwa Oei Tiong Ham dari Semarang itulah yang merupakan pendiri konglomerasi pertama dan terbesar dalam sejarah wilayah yang kini disebut ASEAN.
Pada sekitar 1920, Oei Tiong Ham meninggalkan Semarang dan menetap di Singapura. Dia tidak setuju dengan aturan pajak ganda dan undang-undang tentang warisan dari pemerintah kolonial. Dia juga diduga menghindari membayar pajak sebesar 30 persen yang dikenakan pada keuntungan semua bisnisnya yang ia peroleh selama Perang Dunia I (1914-1918).
Setelah sekitar empat tahun tinggal di Singapura, Oei Tiong Ham wafat dengan meninggalkan 8 istri dan 26 anak. Dia mewariskan imperium bisnis dengan kekayaan mencapai 200 juta gulden, yang separuhnya berupa uang tunai. Bisnisnya kemudian diteruskan oleh dua anaknya. Namun kejayaan bisnis Oei Tiong Ham kemudian meredup dan perusahaannya disita begitu saja oleh pemerintah Indonesia pada 1961.
Sohirin (Semarang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo