Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta bersama Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers menyoroti kekerasan dan intimidasi terhadap jurnalis saat meliput demo Kawal Putusan MK pada 22 Agustus 2024. AJI dan LBH Pers mencatat setidaknya 11 jurnalis menjadi korban kekerasan oleh aparat keamanan.
Kekerasan terhadap jurnalis tersebut melibatkan tindakan fisik, ancaman pembunuhan, dan penggunaan kekuatan berlebihan, seperti gas air mata.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Kekerasan fisik, mental, dan psikologis terhadap jurnalis oleh aparat kepolisian merupakan pelanggaran serius terhadap kebebasan pers yang dijamin oleh Pasal 4 UU Pers," kata Ketua Umum AJI Nany Afrida dalam konferensi pers via Zoom, Sabtu, 24 Agustus 2024.
AJI dan LBH Pers juga menekankan bahwa intimidasi dan kekerasan ini merupakan pelanggaran hukum yang harus ditindak tegas, bukan hanya diberi sanksi etik yang sering kali tidak memadai.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mereka mendokumentasikan sejumlah kasus kekerasan, termasuk serangan terhadap dua kameramen Podcast Makna Talks yang terluka akibat gas air mata yang ditembakkan oleh polisi tanpa peringatan. Kasus serupa juga dialami Angga Permana, jurnalis Konteks.co.id, yang mengalami luka di kepala saat meliput di depan DPR. Kekerasan juga dialami oleh jurnalis Tempo, M dan H, yang terkena gas air mata dan dipukul saat merekam penangkapan demonstran. Intimidasi juga dialami jurnalis Narasi dan Deduktif.
Jurnalis yang mengenakan atribut pers dan identitas pembeda di lokasi demonstrasi tetap saja menjadi sasaran amuk aparat keamanan. AJI, LBH Pers, dan Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ) menilai tindakan kekerasan ini sebagai upaya sistematis untuk menghalangi kerja jurnalis dalam mencari dan menyebarkan informasi.
Dalam forum ini, mereka menuntut agar Polri segera menghentikan segala bentuk impunitas dan memberikan perlindungan kepada jurnalis saat melaksanakan tugasnya. "Sanksi etik Polri tidak cukup untuk menghukum pelaku kekerasan. Kekerasan terhadap jurnalis adalah tindak pidana yang harus diselesaikan di meja pengadilan," kata perwakilan LBH Pers, Chikita Edrini Marpaung.
Sepanjang 2023, AJI mencatat 89 kasus kekerasan terhadap jurnalis yang dilakukan oleh aparat keamanan. Kondisi ini diperparah dengan praktik impunitas yang makin memperkuat budaya kekerasan yang mengakar di tubuh Polri. Hingga kini, belum ada satu pun kasus yang berakhir dengan penegakan hukum yang adil, meski laporan resmi telah diajukan.
AJI dan LBH Pers menegaskan bahwa tanpa tindakan yang nyata dari Polri, kekerasan terhadap jurnalis akan terus berlanjut dan mengancam kebebasan pers di Indonesia. Mereka juga mengingatkan bahwa perlindungan terhadap jurnalis bukan hanya kewajiban hukum, tapi juga tanggung jawab moral untuk menjaga demokrasi dan hak asasi manusia.
Pilihan Editor: Kejagung Bakal Panggil Sandra Dewi Bersaksi di Sidang Harvey Moeis, Ini Kata Pengacaranya