Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

150.000 Bertarung Di Jakarta

Jumlah peminat jauh melebihi jumlah rumah yang dibangun oleh perumnas. tetapi pembangunan rumah di medan, jakarta, depok, cirebon, padang dan bandung belum disertai dengan sarana pelengkap. (kt)

25 Februari 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEKITAR 150.000 orang di Jakarta sedang bertarung. Mereka sedang memperebutkan satu kebutuhan penting: rumah. Ini terjadi selama 15 hari dalam bulan Pebruari baru lalu. Yaitu ketika di Kampung Malaka wilayah Klender Jakarta Timur pihak Perumnas membuka ke sempatan pendaftaran bagi 7000 buah rumah murah yang sedang dibangun di sana. Jumlah peminat dan rumah yang diperebutkan seperti di atas hampir menyerupai perbandingan antara jumlah yang semestinya dibuat setiap tahun dengan angka rata-rata rumah murah yang mampu didirikan per tahun -- untuk seluruh Indonesia. Yaitu dari 440.000 buah rumah yang semestinya dibangun setiap tahun ternyata hanya mampu dibuat kurang dari 20.000 per tahun. Tak heran jika setiap kali Perumnas mengeluarkan pengumuman pendaftaran formulir permohonan selalu diperebutkan. Karenanya pihak Perumnas selalu merasa dipacu. Terutama untuk memburu jumlah 53.000 buah rumah yang telah direncanakan untuk kota-kota Jakarta Depok Bogor Bekasi Surabay~Kamal (Madura) Bandung Medan S~emarang Cirebon Yogyakarta Solo ~Ujung Pandang Padang dan Samarinda. Perumnas telah berhasil mendirikan sebagian atau seluruh rumah sederhan~ yang direncanakannya di beberapa kot tadi sambil bersiap untuk memulai d kota-kota lainnya. Beberapa koresponden dan pembantu TEMPO telah mencoba membuat gambaran singkat mengenai rumah-rumah murah buatan Perumnas di kota masing-m~asing. Antara lain berikut ini: Akhir Oktober ti~lun lalu Gubernur Sumatera Utara Marah Halim meresmikan 276 unit rumah tahap pertama dari 2.500 unit yang direncanakan. Letaknya di Kampung Helvetia Kecamatan Medan Sunggal, 6 km dari pusat Kota Medan. Dalam rencana pengembangan kota kawasan Helvetia memang dirancang untuk menjadi kota satelit-satu di antara 4 kota satelit untuk ibukota Propinsi Sumatera Utara itu. Di atas tanah 100 hektar di Helvetia itu sekarang telan berdiri 710 unit rumah dari type D36 dan D45. Dalam~ bulan Juni nanti diharapkan 2.500 unit ~yang direncanakan sudah berdiri semua. ~Untuk ini hingga sekarang telah mengalir 3.500 buah formulir permohonan. Selain air bersih PAM dan listerik PLN serta jalan beraspal untuk para penghuni Helvetia juga akan didirikan 9 STK, 6 unit kios pasar dan 2 unit pertokoan. Januari lalu sebuah STK telah dibuka sementara SD dan SMP masih menunggu pembangunannya oleh Pemda Kotamadya Medan. Sayang hingga saat ini air bersih yang dijanjikan belum mengalir. Sehingga para penghuni Hel~etia hams puas dulu dengan air pompa. Dan meskipun tak sedikit penghuni yang merasa telah menemukan idaman yang diimpikan selama puluhan tahun ada juga yang merasa kecewa. Terutama karena belum mampu mengembangkan rumah yang memang kecil itu. Juga lantai semen dibuat dengan adukan yang kasar, susunan umah agak bertumpuk dan agak terlalu apat. Dan walaupun opelet sudah menghubungkan areal perumahan itu dengan ~kota, namun penghuni di sana masih merasa ngeri jika bepergian atau pulang malam hari. Karena sepanjang jalan (sekitar 2 km) menuju Helvetia belum ada penerangan listerik. Anak-anak juga harus bersabar menempuh jarak ke kota untuk bersekolah.~ Karena sebuah SD Inpres yang direnca~nakan siap akhir Desember lalu hingga sekarang masih belum selesai. Apa lagi SLP. Karena itu beberapa di antara ru~mah yang ada masih belum berpenghuni semata-mata karena merasa tempat baru itu terlampau jauh bagi anak-anak mereka untuk pulang-pergi sekolah. Penghuni Helvetia 75% terdiri dari pegawai negeri ~15% pensiunan ABRI~~~ dan sisanya pegawai swasta. Menurut M. Mulia SE Kepala Pengelola Proyek Perumnas Medan di antara sekian ribu pelamar diketahui 8 orang diantaranya telah memiliki rumah sendiri. Karena itu permohonan mereka ditolak.~ ~ JUMLAH pelamar rumah mu~rah di Klender (Jakarta Timur) jauh lebih banyak dibanding ketika Perumnas untuk pertama kalinya membuka kesempatan bagi calon penghuni rumah murah di Depok Bogor.~~ Menurut drs. Syaifullah Kepala Urusan Pengelola Proyek Rumah Murah Perumnas Klender dengan 10 buah loket (3 loket untuk pegawai ~negeri, 2 untuk ABRI 3 swasta 1 pensiunan dan 1 korban gusuran di hari pertama, harus ditambah menjadi 15 loket pada hari kedua. Inipun masih belum cukup. Pada hari ketiga jumlah loket telah menjadi 19. Selama 15 hari pendaftaran tak kurang dari 10.000 formulir masuk di sela-sela loket-loket tadi setiap hari. Kampung Malaka (Klender) itu hanya berjarak 15 km dari Jakarta. Separo lebih dekat dibanding Depok. Tapi berbeda dengan Depok (rumah-rumah disewa dulu 2 tahun dan selanjutnya belum pasti dapat dibeli atau terus disewa) di Klender itu kelak para penghuni langsung dapat membelinya setelah menyewa selama 2 tahun. Perbedaan ini menurut drs. Frans Khuana bawahan Syaifullah karena proyek di Klender mendapat bantuan Bank Dunia. Tapi pengalaman di Depok menunjukkan bahwa di Klender rumah-rumah inti harus lebih banyak agar mudah dapat dikembangkan penghuninya. Sebab sewaktu di Depok rumah-rumah inti jenis T20 (paling ~kecil) sedikit dibuat ternyata penghuninya terdiri dari golongan berpenghasilan rendah yang rata-rata mempunyai angg~ota keluarga banyak. Karena itu di Klender sengaja banyak dibuat rumah inti agar penghuninya dapat mengembangkannya dan agar lebih banyak yang bisa mendapatkannya kata Khauma. Tapi rupanya masalah harga tanah juga menjadi pendorong lebih banyak rumah inti dibuat di proyek Klender ini. Jika di Depok Perunmas masih membebaskan tanah dengan harga Rp 600 per-MÿFD (dengan areal 112 hektar) di Klender Rp 850 per-MÿFD di atas tanah 155,5 hektar. Sehingga dengan mem perbanyak rumah inti T20 di Klender jumlah rumah terbesar diberikan kepada mereka yang kurang mampu. Kota Cirebon masih memerlukan sekitar 14.000 buah rumah bagi warganya. Dan Perumnas yang merencanakan akan mendirikan 2.600 unit rumah murah jenis D70, D54 F & G dan type C (1 kamar tidur) baru berhasil menyediakan 302 buah. Sisanya akan mulai ditempati bulan April nanti. Proyek perumahan itu terletak di Kampung Larangan di atas tanah seluas 150 hektar. Tapi ternyata warga kota udang ini lebih banyak memilih type rumah besar sementara type C yang paling banyak dibuat hampir tiada peminat. Pada pembangunan tahap pertama rumah-rumah itu diprioritaskan bagi para pegawai Kotamadya Cirebon. Tapi bukannya tiada tantangan cukup berat yang dihadapi para penghuni Kampung Larangan itu. Bulan Januari baru lalu sebuah SD Inpres yang didirikan untuk penghuni di sana dan sudah 60~% selesai terbang dibawa angin. Daerah ini bekas tanah sawah dan masih terbuka sehingga angin masih dengan bebas menampar benda-benda maupun blmgunan yang ada. Lalu dari akhir Januari hingga pertengahan Pebruari para penghuni perumahan sederhana di sana direndam banjir kiriman dari Sungai Cikalong. Walau hujan tak begitu deras tapi dinding batako rumah-rumah sederhana itu telah sempat direndam air setinggi 90 cm. Ir. Wajat Tamam Pimpinan Proyek Perumnas Cirebon, menolak ihwal banjir itu sebagai kesalahan pihak Perumnas. Menurut Wajat banjir kiriman itu karena konsultan Belanda yang merancang kawasan itu untuk Perumnas dulu lalai memperhitungkan air dari Sungai Cikalong. Konsultan itu hanya menghitung dan mencegah banjir khusus di kompleks Perumnas ini saja kata Wajat. Tapi sebaliknya drs. HM Djufri Sekwilda Kotamadya Cirebon melihat banjir itu sebenarnya urusan Perumnas sebab terjadi di dalam kompleks. Kata Djufri lagi dulu Perumnas Pusat sudah setuju untuk menanggulangi masalah banjir ini. Caranya dengan membuat saluran Sungai Cikalong sepanjang 1 Km ke arah laut dengan biaya Rp 14 juta. Soal banjir ini belum beres juga sehingga para penghuni di sana masih selalu dalam keadaan siap direndam masalah lain timbul pula. Yaitu mengenai sarana pelengkap seperti pasar sekolah puskesmas masjid dan sebagainya. Dulu tidak ada perjanjian antara Pemda Kotamadya Cirebon dengan Perumnas soal sarana pelengkap ini ujar Djufri. Sebab pihak Pemda Cirebon berpendapat Perumnas bukan perusahaan yang mencari untung barangkali sarana pelengkap disediakan juga. Nyatanya tidak. Kami hanya menyediakan tanah di dalam kompleks silakan Pemda membangun toh untuk kepentingan warga kota sambut Wajat Tamam. Alasan Djufri mudah diduga: terbatasnya anggaran. Akibat dirasakan penghuni di sana jua. Anak-anak harus menempuh jarak yang cukup jauh bila hendak bersekolah sementara ibu-ibu yang akan belanja harus sabar mencapai jarak 4 Km untuk ke pasar terdekat. Untung angkutan umum memang sudah menjangkau wilayah itu. Hingga bulan Mei 1978 nanti di Air Tawar, Ulak Karang, 7 Km dari pusat Kota Padang telah berdiri 368 unit rumah murah. Sebagian besar di antaranya telah selesai dan dihuni sejak pertengahan tahun lalu. Air Tawar hanya sekitar 150 meter di tepi jalan raya menuju lapangan terbang Tabing dan dibatasi sebuah sungai dengan Kompleks Wisma Indah dan Wisma Wartawan yang sudah ada sebelumnya. Karena itu seperti diakui Walikota Padang, dilihat dari sudut perkembangan kota hal itu tak banyak menolong. Tapi rupanya tempat itu ditentukan karena tak ada pilihan lain. Dewasa ini amat sulit membebaskan tanah di Kota Padang. Sehingga Walikota Padang berpendapat Perumnas mendirikan perkampungan baru di Air Tawar justeru akan lebih memadatkan lalulintas di sana. WALIKOTA Padang memang pada mulanya mengharapkan Perumnas mengambil tempat di sebelah tumur kota yang perkembangannya lamban. Tapi harga pembebasan tanah tak mencapai kecocokan. Sistim pemilikan tanah secara kesukuan yang ada di sini memang cukup menyulitkan bahkan tetap menimbulkan keributan. Ada di antara warga suku yang sudah setuju menjual tanah sementara sebagian lain ngotot tak mau melepaskan tanahnya. Namun seperti pernah diungkapkan Direktur Perencanaan Perumnas Pusat ir. Sujono, wilayah timur Kota Padang itu tetap jadi inceran Perumnas temtama untuk lokasi bagi 1.000 rumah murah yang akar didirikan dalam tah~un anggaran 1978/ 1979 ini. Penghuni Air Tawar 75% terdiri dari pegawai negeri. Sisanya karyawan swasta dan korban penggusuran. Untuk sekian ratus rumah telah diperebutkan oleh tak kurang dari 5.000 pendaftar. Sebagian besar di antara penghuni merasa lega setelah mendapatkan rumah baru itu. Untuk mendapatkannya juga tah begitu sulit terutama bagi mereka yang benar-benar memenuhi syarat dan memang amat membutuhkan. Pensiunan Koptu M. Zen misalnya merasa tak ada kesulitan apa-apa untuk mendapatkan rumah sederhana yang ditempatinya sekarang. Ia sudah mempunyai masa kerja 30 tahun. Selesai mendaftarkan diri bulan April tahun lalu bulan Juni ia telah diberitahu akan mendapatkan rumah. Keluarganya dengan 13 anak kini menempati rumah type D45. Kami sekeluarga gembira sekali tuturnya. Ia sekarang merencanakan menambah bangunan rumahnya di bagian belakang. Meskipun bulan-bulan pertama penghuni Air Tawar mengeluh karena air bersih tak lancar mengalir umumnya mereka menyatakan rasa puas. Tapi sementara itu dari pihak Perumnas selalu mengawasi penghuni yang ada menilai ko~duite masing-masing. Ini penting untu~k menentukan apakah rumah itu dapat di~beli atau terus disewa oleh penghuninya setelah melewati waktu 2 tahun pertama. Dalam hal kelancaran membayar sewa rupanya tak seluruh penghuni mematuhinya. Seorang petugas Perumnas di Air Tawar mengungkapkan bahwa ada 20 orang penghuni yang tak lancar membayar sewa bulanan. Tapi memang karena keadaan penghasilan mereka kata Mawardi dari Bagian Pengelola Proyek Perumnas Padang. Diakui penunggakan terus menerus akan memberatkan penghuni. Tapi kita mau apa jika penghasilan mereka memang rendah kata Mawardi lagi. Meskipun toleransi masih diberikan pihak Perumnas terhadap golongan yang demikian itu namun denda 20% bagi setiap penunggakan secara resmi tetap dikenakan juga. Sejak 1976 Perumnas mulai mendiri~n kan rumah-rumah sederhana di kawasan (Kotamadya Bandung). Letaknya di Sadangserang dan Sukaluyu utara Kota Bandung dan Cijerah. Di Sukaluyu sudah terdapat 150 unit jenis M45 sedang di Sadangserang 860 unit dari berba~gai jenis di Cijerah 460 Unit. Dalam tahun ini direncanakan 4.000 unit rumah murah akan dibuat di Sukasari. Untuk Kota Bandung cukup sekian dulu saja kata Utju Djunaedi Walikota Bandung. Penghuninya terdiri dari pegawai negeri golongan I dan II di samping ABRI pensiunan dan swasta. Selain Perumnas perusahaan-perusahaan real estate (swasta) di beberapa kota juga mendirikan rumah-rumah murah dalam pengertian sederhana. Di Jakarta misalnya rumah-rumah sederhana berukuran sekitar 8 x 9 meter. Tapi tentu dengan harga yang tidak sederhana jika dibanding rumah-rumah Perumnas. Di Jakarta misalnya yang dikatakan rumah murah buatan para pengusaha real estate bergerak di atas harga Rp 3 juta untuk ukuran 8 x 9 meter persegi. dengan 2 kamar tidur. Mutu maupun bentuknya tentu jauh lebih baik dibanding rumah-rumah eks Perumnas. Walaupun rumah-rumah jenis itu dapat dimiliki juga dengan sistem mencicil namun uang pangkal yang tinggi dan jangka cicilan yang singkat umumnya dirasa berat oleh para peminat. Akibatnya jika Perumnas selalu diserbu oleh peminat perusahaan-perusahaan real estate swasta itu sebaliknya menyerbu halaman-halaman suratkabar melalui iklan mereka untuk menawarkan rumah-rumah itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus