Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Rumah Murah Dan Pisang Goreng

Pembuatan rumah murah tak sesederhana seperti membikin pisang goreng. perumahan yang nyaman membutuhkan perencanaan yang matang. sebaiknya calon pemakai terlibat dalam perencanaan.

25 Februari 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

~~MEMBANGUN rumah tentulah tidak sama dengan ~membikin pisang goreng biarpun rumah murah. Karena manfaatnya untuk mewadahi perikehidupan pembangunan kawasan perumahan lazimnya sudah disusun dalam paket permukiman. Meliputi tidak hanya bangunan rumah--tetapi juga bangunan sarana dan prasarana yang memungkinkan kehidupan manusia yang hendak ditampung di situ bisa utuh. Mereka yang bakal tinggal di situ harus bisa sukur mudah cari makan. Tersedia air untuk minum mandi mencuci. Sistim saniter yang menjamin keselratan lingkungan. Tempat berteduh dan kelengkapan guna mewadahi kehidupan kebutuhan dan pergaulan. Pendidikan sekurang-kurangnya tingkat dasar bagi anak mereka. Lalu komunikasi yang mudah dan murah. Itulah kriteria fisik dasar yang dibutuhkan untuk suatu kawasan permukiman. Kalau ingin lebih perencanaan dapat memikirkan untuk membentuk lingkungan yang nyaman. Tersedia barang dan jasa secara mudah. Keamanan dan ketenteraman hidup baik f~isik ekonomi perlindungan hukum maupun kehidupan sosialnya. Kambing Congek Lebih hebat lagi bila perencana mau lebih jauh memeras akal dan kebisaannya untuk memikirkan kebutuhan batiniah~ penghuni. Karena yang mau diwadahi bukan batu memainkan manusia sejak pagi harus pula disadari bahwa mereka juga punya harga diri punya kecenderungan mempertahankan identitas keagamaan rasa senasib sepenanggungan yang membikin hidup miskin pun rasanya bisa tertahankan. Iklim sama rata sama rasa ~(equity) lazimnya juga dibutuhkan untuk menjamin ketenteraman batiniah tadi. Enak sih kalau kriteria tadi secara persis dirumuskan oleh pihak-pihak yang berkepentingan dalam proses perencanaan permukiman itu. Lazimnya lakonnya terdiri dari tiga pihak: para teknokrat perencana si pengambil keputusan dan bakal penghuni kawasan yang hendak dibangun. Prosesnya merupakan perpaduan antara kemauan calon penghuni dengan keterbatasan yang mengekang si pengambil keputusan. Lalu diolah oleh para teknokrat atau teknisi yang harus memutar otak mencari optima dari kemauan dan keterbatasan itu. Tetapi proses perencanaan di tanah air kita kan belum begitu. Yang lazim terjadi sekarang: teknokrat menyusun alternatif rencana atas dasar nilai dan kriteria yang ia tegakkan dan yakini sendiri. Malahan kadang diturunkan dan kehendak dan nasehat pemilik fulus yang sudah bermurah hati mcmberi hutang mewujudkan impian pengabdian teknokrat. Lalu alternatif rencana disajikan kepada pengambil keputusan untuk dipilih mana yang paling berkenan. Dan jadilah keputusan. Rumah murah dibangun. Sesudah itu rumah-rumah dibagikan sebagai berkah dari langit buat sekelompok rakyat yang juga ditetapkan kriterianya atas usul atau oleh teknokrat itu. Nah lengkaplah sudah peranan calon penghuni itu sebagai kambing congek yang dimasukkan kandang dan hanya bisa mengembik bila kandang temyata kemudian tidak nyaman. Saya tidak meragukan sedikit pun pengabdian teknokrat kita untuk secara sungguh-sungguh memecahkan masalah permukiman yang menjadi tugasnya. Hanya saya risau dengan mekanisme perencanaan seperti yang saya gambarkan di atas. Bisakah mereka dengan tepat memahami cita-rasa calon penghuni yang hendak ditampung. Saya takut karena mendarah-dagingnya persepsi teknis dan latar-belakang sosial ekonomi si perencana-teknokrat itu pemahaman soal tersebut bisa kabur. Apalagi bila disertai pressure si pengambil keputusan atau si empunya fulus yang sudah bermurah hati memberi hutang. Di fihak pengambil keputusan dalam konstelasi seperti sekarang kedudukan lebih rumit lagi. Keterbatasan yang ada padanya berpadu dengan godaan dan desakan kanan-kiri bisa menjerumuskannya pada pilihan yang tidak benar-benar menjawab problematik permukiman yang nyata. Desakan paling efektif tentulah datang dari-elite yang efektif pula. Karena itu sekedar ilustrasi jangan heran bila rumah murah sekarang diprioritaskan kepada pegawai negeri pegawai swasta dan ABRI. Padahal kalau kita jujur mereka itu minoritas yang sudah tergolong mujur di masyarakat kita. Nah tinggallah sekarang si calon penghuni yang tidak punya peranan apa-apa dalam proses perencanaan itu. Mereka menerima kemujuran dapat rumah murah lebih sebagai berkah menang lotre dalam artian yang sesungguhnya. Dari sejak semula persepsinya rumah dibangun untuk diberikan setengah cuma-cuma. Dan karenanya tuntutannya serba cuma-cuma pula. Pemeliharaan sarana kebersihan lingkungan pelayanan administratif dan lainlain cenderung dikembalikan sebagai urusan yang punya kerja. Dan yangpunya kerja itu rasanya dari semula bukanlah mereka. Yang Ideal Idealnya sih para calon penghuni turut ambil bagian terpenting dalam mekanisme pengambilan keputusan. Lalu teknokrat memberi nasehat dan bantuan tehnis untuk menterjemahkan maunya calon penghuni dalam konsepsi dan konfigurasi fisik. Repotnya yang ideal ini tidak selalu bisa dilaksanakan. Calon penghuni toh tidak punya jangkauan informasi dan pengetahuan cukup untuk turut bicara. Mereka tidak terorganisir sehingga tidak. bisa menjelaskan kepentingan bersamanya secara efektif. Lagi pula kita ini kan miskin duit. Miskin ahli miskin waktu. Jadi pilihan cara yang ideal memang repot untuk bisa dilaksanakan. Misalnya kita mau njlimet memusyawarahkan untuk-mufakat soal kriteria dasar pembangunan perumahan. Di samping harus berkejaran dengan akutnya tuntutan kebutuhan fasilitas permukiman yang mendesak juga andaikan berhasil dimufakati kriteria itu fulusnya toh tidak leluasa untuk menetapkan pilihan yang ideal menurut selera calon penghuni. Nah, apa boleh buat. Tetapi dalam keadaan begini kita toh masih boleh punya pesan. Rasanya sudah tiba saatnya para teknokrat perencana dan administrator mengembangkan cara untuk bisa secara tanggap dan benar melnahami bermacam-macam cita rasa dan kebutuhan nyata berbagai kelompok masyarakat. Lalu atas dasar itu mencari pemecahan yang responsif praktis dan efisien. Dan akhirnya mbok ya terus diupayakan adanya teknik dan proses perencanaan yang melibatkan makin banyak peranan si calon pemakai barang atau jasa yang hendak dihasilkan untuk turut serta dalam pengambilan keputusan. Itu saja.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus