Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Apa yang pertama kali dilakukan Saifullah Yusuf ketika dirinya resmi dilantik menjadi Menteri Negara Pembangunan Daerah Tertinggal? "Aku ndelok peta. Daerah tertinggal iki sing endi (Saya melihat peta, daerah tertinggal itu ada di mana)," katanya. Bidang yang benar-benar asing bagi Saifullah itu membuat dirinya harus memulai dari nol.
Kementerian Saifullah adalah kementerian baru. Selama seratus hari bekerja, mantan Sekjen Partai Kebangkitan Bangsa itu mengaku baru bisa mendefinisikan dan menetapkan kriteria daerah tertinggal. "Ada rasa kagok?saya mempelajari sesuatu yang baru," katanya. Kebingungan bahkan sudah menghantui Saifullah saat mendapat mandat Yudhoyono mengurusi daerah tertinggal. "Saya tidak tahu harus memulai dari mana," ujarnya. Toh, dia menerima jabatan itu dengan senang.
Jangan dulu bicara program. Seratus hari pertama Saifullah diisinya dengan belajar. Dia mengundang sejumlah pakar dan mantan pejabat, antara lain ekonom Faisal Basri, pengamat politik Eep Saefulloh Fatah, dan mantan Menteri Kehutanan Muslimin Nasution. "Seratus hari pertama ini adalah menyelesaikan konsolidasi menyangkut konsep dan personel," katanya. Saifullah mengaku baru pada hari ke-40 dia menemukan "strategi nasional pembangunan daerah tertinggal".
Jika Saifullah memulai dengan bertanya dan menimba ilmu, Hamid Awaluddin sudah langsung bergerak di lapangan. Tidak sampai seminggu setelah resmi dilantik menjadi Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Hamid Awaludin langsung beraksi. Dini hari, ketika koleganya masih terlelap dalam buaian mimpi, mantan anggota Komisi Pemilihan Umum ini mengunjungi penjara Cipinang tanpa ajudan ataupun pengawalan. Petugas jaga penjara, yang tidak mengenalnya, langsung menghujani Hamid dengan berbagai pertanyaan seputar identitasnya.
Tidak cukup. Petugas penjara itu juga menggeledah sekujur tubuh Hamid. Belum selesai aksi penggeledahan, tiba-tiba penjaga itu kaget, sedikit gemetar dan langsung mengucap maaf kepada Hamid. Seorang wartawan yang mengikuti kunjungan mendadak Hamid rupanya membisikkan kata bahwa tamu tak diundang itu adalah seorang menteri.
Safari Hamid tidak berhenti di Cipinang. Kantor Imigrasi Jakarta Pusat dan Rumah Tahanan Pondok Bambu, Jakarta, juga mendapat giliran dikunjunginya secara mendadak. Menteri penyandang gelar doktor bidang hukum itu juga bahkan berkunjung ke tempat-tempat hiburan. Di sebuah kelab malam Kawasan Sunter Podomoro, Jakarta Utara, dia menangkap basah 16 wanita asal Cina yang menyalahgunakan izin visa.
Seratus hari diisi Hamid dengan keluar tengah malam menyusuri jalan-jalan Ibu Kota untuk melihat aparat di bawahnya bekerja. "Kami ingin mencari tahu sendiri ke lapangan, bagaimana sebuah sistem dijalankan," katanya kepada Tempo. Namun, aksi ini dilakukan bukan secara diam-diam. Hamid mengundang beberapa wartawan untuk mengikuti setiap gerak-geriknya.
Tidak sekadar inspeksi mendadak, Hamid juga melontarkan gagasan menjebloskan para koruptor ke penjara Batu di Pulau Nusakambangan. Mencari sensasi belaka? "Di mana-mana yang namanya shock therapy itu pasti sensasi. Dan media perlu agar ada efek bola saljunya," kata Hamid.
Namun, jika perhatiannya pada masalah imigrasi dan penjara begitu tinggi, Hamid tidak terlalu banyak komentar tentang sejumlah rancangan undang-undang. Selama 1999-2004, ada 49 rancangan undang-undang penting yang belum disahkan DPR, antara lain RUU Perlindungan Saksi Korban dan RUU Penghapusan Diskriminasi. Hamid belum menunjukkan minatnya ke situ.
Bagi Hamid, yang kebetulan ditempatkan pada departemen yang sudah terbentuk dan jelas tugasnya, tentu tidak terlalu sulit memulai kerja. Lain halnya dengan kementerian yang baru dibentuk. Adhyaksa Dault, Menteri Negara Urusan Pemuda dan Olahraga, justru baru bisa sibuk mencari pegawai dan kantor sampai masa 100 hari habis.
Meski sudah tiga bulan kementerian itu berdiri, Adhyaksa mengaku belum mempunyai kantor resmi. "Saya bahkan belum punya staf," katanya. "Anggaran juga belum ada." Serba terbatas itulah yang membuat Adhyaksa terlambat menghadiri sebuah diskusi "Peranan KONI Era Menpora" pada akhir Oktober silam. Acara yang dihadiri tokoh-tokoh olahraga itu akhirnya bubar tanpa kehadirannya.
Sempat dikabarkan, Adhyaksa ketiduran. Namun, Berita itu dibantahnya. Menurut dia, keterlambatan itu karena ada salah satu kerabatnya yang meninggal. "Saya belum punya staf yang membantu menyusun jadwal kegiatan," katanya. Gara-gara kegagalannya datang ke acara diskusi itu, kata Adhyaksa, dia sempat ditegur Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Toh, serba terbatas sarana dan prasarana itu tidak melemahkan semangat dan kinerja Adhyaksa. Saat ini, sebuah rancangan undang-undang tentang olahraga sedang digodoknya. "Saya harap RUU Olahraga ini keluar tidak lebih dari 100 hari," katanya, pekan lalu. Namun, agenda itu tertunda karena pemerintah harus memusatkan perhatian pada bencana tsunami yang memorak-porandakan Aceh. "Tapi kini sudah selesai dibahas," kata Adhyaksa.
Kisah lain lagi datang dari Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu. Salah satu kegiatannya dalam 100 hari pertama adalah mengunjungi pasar-pasar tradisional yang becek di kala hujan?tempat yang selama ini tidak pernah dikunjunginya. Bekas Direktur Eksekutif Center for Strategic and International Studies (CSIS) itu kini harus mengurusi harga kebutuhan pokok. Beberapa kali dia harus berdesakan dengan pedagang pasar induk untuk sekadar bertanya soal harga. "Sejak menjadi menteri saya jauh lebih terfokus mengetahui perkembangan harga sembako," tulisnya dalam surat elektronik yang dikirimkan ke wartawan Tempo.
Semenjak menjadi menteri pula, Mari harus mengubah penampilannya. Sebelum panggilan "Ibu Menteri" menempel padanya, wanita kelahiran 23 Oktober 1956 itu suka berbusana santai. "Kini saya berusaha untuk lebih banyak menggunakan busana dan aksesori buatan Indonesia," katanya.
Ada peristiwa unik yang dialami Mari pada hari pertamanya sebagai menteri. Kantornya terletak di Jalan Gatot Subroto, Jakarta, yang rawan kemacetan, dan merupakan kawasan "three in one"?satu mobil harus berisi paling sedikit tiga orang. Dia menelepon adiknya agar bisa ikut ke kantor untuk memenuhi aturan itu. Sampai di kantor, Mari baru sadar bahwa seorang menteri mendapat dispensasi melewati jalan itu tanpa harus berpenumpang tiga orang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo