Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEDAN Mercedes hitam itu berhenti di halaman kantor Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrat, Jalan Pemuda, Jakarta Timur, pekan lalu. Pria berambut putih turun dari mobil, mengenakan setelan jas warna krem. Ia melangkah masuk kantor berdinding biru langit itu. Senyumnya mengembang saat disambut para tamu yang sudah menunggunya di lobi gedung. Pria itu tak lain adalah Subur Budhisantoso, Ketua Umum Partai Demokrat.
Siang itu Budhi memang dijadwalkan bertemu 15 dewan pimpinan cabang partai. Tapi, menjadi ketua partai hanya satu jenis kesibukannya. Guru besar Universitas Indonesia ini juga harus mengajar di kampus pagi harinya. Sepulang dari kantor partai, ia masih harus memenuhi berbagai undangan baik dari dalam maupun luar negeri. Jadwalnya bisa hingga dini hari. Kesibukan pun seolah tak putus-putus.
Nama Budhi mencuat bersama munculnya Partai Demokrat, partai yang mengusung Susilo Bambang Yudhoyono menuju kursi presiden. Tapi, setelah Yudhoyono jadi presiden, nama Budhi lenyap. Jatah tiga kursi menteri yang semula diperkirakan jatuh ke Partai Demokrat berakhir nihil.
Kecewakah dia? "Masih banyak yang lebih layak (jadi menteri)," katanya. "Biar saya membesarkan partai saja." Partai Demokrat, menurut dia, ibarat kuncup sedang mekar. Sembilan persen suara yang diraih pada pemilu legislatif mengantarkan 17 pengurus partai ini menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Kini hanya tersisa lima orang personel di dewan pimpinan partai. "Demokrat masih butuh nakhoda yang peduli pada partai," kata Budhi.
Lain Budhi, lain Irshan Tanjung, satu tokoh pendukung Yudhoyono yang juga tidak masuk dalam kabinet. "Kader partai kecewa tak bisa saya mungkiri. Bukan saya saja," katanya. Mengenal Yudhoyono sejak 2001, Irshan sempat disebut-sebut bakal menjadi Menteri Perekonomian atau Menteri Keuangan. Kini menjadi anggota DPR.
Toh semangat Irshan tidak patah. Dia mengaku ingin belajar lebih banyak dalam posisinya sebagai anggota Komisi Keuangan dan Perbankan DPR. Irshan, yang memperoleh gelar doktor dari University of Illinois, Amerika Serikat, juga masih punya kesibukan lain, yakni membimbing kandidat-kandidat doktor di Universitas Indonesia. Dia menjadi dosen universitas itu sejak 1960.
Tim Sebelas Lembaga Kepresidenan, yang digagas intelektual-politisi Denny J.A. dan Andi Mallarangeng, juga sempat mengorbitkan nama lain untuk kandidat menteri, namun gagal. Nama yang diusulkan adalah Suko Sudarso, seorang pengusaha karib Yudhoyono dan bekas anggota tanki pemikir PDI Perjuangan. Dia juga orang dekat Megawati Soekarnoputri. Dia pula yang memperkenalkan Yudhoyono kepada Megawati. Saat itu Yudhoyono masih menjabat Kepala Staf Sosial dan Politik (Kasospol) ABRI.
Suko mengatakan tidak kecewa atau merasa terpinggirkan. "Enggak tuh. Saya juga tidak minta (jabatan menteri). Saya sudah tua," ujarnya. Dia memilih meneruskan usahanya di perusahaan desain infrastruktur, arsitektur, dan mengaku tetap menjaga hubungan baik dengan Presiden.
Dari kalangan kelompok diskusi Brighten, Institut Pertanian Bogor, nama Joyowinoto juga akhirnya tenggelam. Ekonom ahli pembangunan pertanian ini sempat dijagokan menjabat Ketua Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. Pilihan ke Joyowinoto tampak masuk akal. Selain pernah bekerja di badan tersebut, dia adalah dosen pembimbing Yudhoyono di program pascasarjana IPB.
Apa kata Joyowinoto dan rekan-rekannya di kelompok Brighten? "Kami memang memilih untuk kembali ke kampus," ujar Ani Ratnawati, salah satu dari 14 anggota kelompok diskusi itu. "Brighten tetap memberi masukan kepada presiden tanpa harus terlibat dalam pemerintahan," katanya.
Joyowinoto sebenarnya juga sempat nyaris dilibatkan di Tim Sebelas-nya Andi Mallarangeng. Tetapi tim ini tak kunjung terwujud, dan sejumlah nama kemudian tersingkir. Selain Joyowinoto, nama Kurdi Mustofa juga terlempar. Kurdi, perwira berpangkat kolonel, sempat selama sembilan tahun menjadi anak buah Yudhoyono ketika Yudhoyono menjabat Kasospol. Lulusan IAIN Walisongo, Semarang (1978), itu kini menjadi sekretaris presiden untuk urusan administrasi, surat-surat, dan jadwal presiden. "Saya ini hanya sekrup," katanya.
Bagaimana dengan anggota Tim Sebelas sendiri, sebuah tim yang memiliki peran strategis dalam penyusunan kabinet dan watak pemerintahan baru? Di sini ada nama-nama seperti Rizal Mallarangeng, Chatib Basri, dan Lin Che Wei. Mereka masuk ke lingkaran dalam Yudhoyono setelah mengundang presiden baru itu ke sebuah diskusi Freedom Institute, lembaga kajian yang dipimpin Rizal Mallarangeng. Diskusi itu membahas konsep 100 hari pertama kinerja Kabinet Indonesia Bersatu, September lalu.
Tiga ekonom muda itu kini menjadi anggota staf khusus Menteri Koordinator Perekonomian Aburizal Bakrie. Dulu dikenal sebagai pendukung fanatik Megawati Soekarnoputri dan dekat dengan Taufiq Kiemas, Rizal tidak merasa risau masuk dalam lingkaran Yudhoyono. Jabatannya sebagai staf khusus Bakrie, menurut dia, berkat kedekatannya dengan pengusaha besar itu yang dikenalnya sejak masih kuliah dan sama-sama mendirikan Freedom Institute. Dia pula yang mengatakan memperkenalkan Yudhoyono kepada Megawati Soekarnoputri. "Saya bukan aktivis partai. Saya netral saja membantu yang bisa saya bantu," tuturnya.
Dalam kapasitasnya sebagai staf khusus, dua pekan lalu Rizal sibuk mendampingi Menteri Koordinator Perekonomian, Bakrie, ke Eropa untuk bertemu investor. Direktur Freedom Institute ini mengatakan hanya sekali waktu berkantor di kementerian. "Lebih banyak berada di Freedom Institute," katanya. Hanya, ia mengatakan sering kali dilibatkan dalam rapat-rapat tingkat menteri maupun kabinet.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo