Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di masa lalu, dia adalah seorang aktor di atas panggung Taman Ismail Marzuki. Seratus hari silam, dia ditunjuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menjadi salah satu aktor di atas panggung politik. Sepekan menjabat sebagai Jaksa Agung, Abdul Rahman Saleh langsung tancap gas. Ia mengatakan akan membuka kembali kasus yang dihentikan penyidikannya. Selasa pekan lalu, bekas hakim agung yang mengajukan dissenting opinion (beda pendapat) dalam perkara korupsi Akbar Tandjung itu menerima L.R. Baskoro dan Sukma N. Loppies untuk sebuah wawancara, di rumah dinasnya di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan. Berikut petikannya.
Setelah 100 hari, langkah konkret apa yang sudah Anda kerjakan?
Dulu saya menjanjikan ada percepatan dan penggalakan pemberantasan korupsi. Ada beberapa langkah: review (meninjau) kasus yang di-SP3 (dihentikan penyidikannya), pembentukan Komisi Kejaksaan, pengangkatan tenaga-tenaga ahli untuk tiga bidang. Yakni tenaga ahli yang langsung diperbantukan untuk Jaksa Agung, tenaga ahli untuk percepatan pembaharuan kejaksaan, dan tenaga ahli untuk task force (gugus tugas) perkara-perkara korupsi. Ketiganya sudah terbentuk. Sedangkan untuk Komisi Kejaksaan, drafnya sudah diperiksa Menteri Hukum dan HAM Hamid Awaluddin, dan sudah dikembalikan ke saya. Besok diserahkan kepada Presiden.
Apakah cuma itu?
Anda tentu ingat, pada hari-hari pertama saya bertugas, saya memanggil seluruh kepala kejaksaan tinggi Indonesia. Saya tanyakan jumlah perkara yang ada di daerahnya masing. Laporannya beragam. Saya tegaskan, perkara dalam tingkat penyelidikan yang bisa dinaikkan ke tahap selanjutnya segera dikerjakan. Jangan ditunda-tunda. Perkara korupsi harus dipercepat dan tidak boleh ditunda-tunda. Tapi ini kemudian menimbulkan salah paham. Dikira saya mencari-cari perkara. Jumlah perkara itu sudah ada dan disebutkan sendiri oleh para kepala kejaksaan tinggi itu. Saya hanya mendorong percepatannya.
Terhadap review (peninjauan) perkara, terbagi dua. Yakni, perkara BLBI (bantuan likuiditas Bank Indonesia) dan yang tidak melibatkan BLBI. Adapun yang tidak melibatkan BLBI, misalnya, yang akan kami ajukan adalah kasus technical assistance contract (TAC-Pertamina). Review kasus ini dibagi dalam dua tahap, yakni tahap perjanjian kontrak dan tahap pelaksanaan. Kasus kedua, kasus tukar guling Lemigas. Dalam diskusi terakhir, kasus ini tinggal menyusun dakwaan untuk dilimpahkan.
Kasus BLBI kami anggap khusus sehingga akan ada lagi diskusi mendalam yang melibatkan pakar ekonomi, karena latar belakangnya juga lain. Misalnya ada release and discharge, surat keterangan lunas. Hal ini terkait juga dengan kepastian berusaha. Beberapa perusahaan sudah dijual dan pemegang sahamnya berganti, sehingga untuk kasus ini akan ada memorandum khusus. Pengerjaan ini mungkin tidak terburu-buru dalam 100 hari ini.
Dalam 100 hari ini, apakah Anda kerap berbicara secara khusus dengan Presiden?
Tidak. Pokoknya Presiden mendukung sepenuhnya dan mengharapkan (partisipasi) masyarakat. Bukan hanya jumlah kasusnya, tapi juga kasus-kasus besar dengan nilai kerugian negara yang besar. Presiden juga sempat menanyakan tersangka korupsi yang lari (kabur). Makanya, Menteri Hukum dan HAM aktif mengurus ekstradisi dengan Singapura. Mutual legal assistance (kerja sama) sudah ada. Tapi kami ingin lebih kuat lagi dengan adanya ekstradisi. Ini kan bukan masalah baru, (sudah ada) sejak tahun 1973. Mudah-mudahan Singapura terketuk hatinya. Apalagi sekarang kan ada konvensi antikorupsi PBB.
Bagaimana Anda mengembalikan citra kejaksaan yang selama ini dinilai buruk?
Kami berharap besar pada Komisi Kejaksaan, karena selama ini orang menuduh pengawasan internal tidak jalan. Kalaupun menghukum, dianggap terlalu ringan. Ada yang diturunkan pangkatnya selama satu tahun. Tapi yang dituntut masyarakat kan lebih dari itu. Saya pikir harapan masyarakat fair juga. Sebab, jika masyarakat melanggar, kan dihukum juga. Jadi standar yang sama mestinya diberlakukan. Jika Komisi Kejaksaan sudah terbentuk, akan ada unsur-unsur luar yang menilai. Selama ini kan tidak ada.
Apa kendala yang dihadapi jajaran Anda setelah Anda tiga bulan di sini?
Kendala, ya, tetap keluhannya bujet (anggaran). Misalnya membawa orang tahanan, membawa ke persidangan. Ternyata suatu kasus hingga sampai vonis di pengadilan negeri membutuhkan dana puluhan juta. Padahal dana yang didapat hanya Rp 3 juta. Untuk tahap persidangan saja kurang, misalnya untuk pengawalan. Semuanya itu terpaksa bayar sendiri.
Saat Anda terpilih sebagai Jaksa Agung, konon ada penolakan dari dalam. Bagaimana Anda mengatasinya?
Selama ini kami tidak melihat (penolakan) itu. Tetapi, dalam perkara gula, memang ada oknum kejaksaan yang jelas-jelas mau bermain politik. Oknum itu membuat fotokopi memo dari Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (JAM Pidsus). Orang itu mengira bahwa dengan cara itu akan mencemarkan nama baik Jaksa Agung dan Wakil Presiden. Dalam surat itu, kira-kira begini, gula ini supaya dilelang sesuai dengan perintah Jaksa Agung berdasarkan arahan Wakil Presiden. Memo itu lalu disebar-sebarkan. Maksud oknum yang sedang bermain politik ini dikiranya bisa mencemarkan nama saya maupun Wakil Presiden. Padahal (proses lelang) itu semua clean dan tidak ada yang disembunyikan.
Apa yang terjadi dengan sang oknum?
Kami sedang mencari. Ya ada beberapa tanda. Saya sudah meminta Jaksa Agung Muda Pidana Khusus untuk memeriksa oknum itu.
Kejaksaan kini banyak memeriksa kasus korupsi di daerah. Anda puas dengan kinerja bawahan?
Siapa sih yang puas? Kami selalu ingin mencapai yang lebih. Dalam jumlah, saya kelihatannya puas. Ini ada da-ta-datanya, sampai akhir Januari, sebanyak 170 perkara korupsi di seluruh Indonesia siap dilimpahkan ke pengadilan. Tapi kan masyarakat tetap menuntut jumlah yang besar-besar. Perkara kan tidak bisa diciptakan. Misalnya, kasus Puteh sudah diambil Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Saat ini kami sedang menyelidiki perkara besar yang menyangkut bank pemerintah. Tapi datanya menunggu dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Anda dikenal melakukan gebrakan, saat ini pemeriksaan bupati, wali kota, gubernur. Menurut Anda, korupsi di Indonesia bagaimana setelah ini?
Seharusnya tindakan represif itu diikuti oleh tindakan preventif. Hanya, sayangnya, tindakan preventif itu menurut sebagian besar berada di luar kendali kejaksaan dan kepolisian, karena menyangkut kesejahteraan. Kalau mau menaikkan gaji, lalu dari mana duitnya? Contoh ketika sidang untuk membawa tahanan, memberi makan, pengawalan, itu semua duit dari mana? Mestinya pemerintah memperhatikan bagian-bagian seperti ini.
Dalam tulisan Kwik Gian Gie (bekas Ketua Bappenas) yang sering saya kutip, pokoknya gaji penegak hukum dinaikkan. Uang yang dikorupsi kira-kira Rp 300 triliun. Lalu, ambil 10 persen dan gunakan. Maka, barulah mereka merasa punya harga diri dan menjalankan tugasnya dengan baik. Ini bisa menyelamatkan Rp 270 triliun itu.
Kejaksaan membuat review kasus yang diberi SP3 (surat penghentian penyidikan perkara). Bagaimana dengan kasus lain, apakah ada kendala atau masih mengumpulkan bahan?
Kasus yang pertama Ginandjar. Tim berpendapat tidak ditemukan pada kontrak. Yang satu lagi, kasus Tanri Abeng. Ternyata ada surat keterangan dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang menyatakan wajar dan tidak ada kerugian negara.
Kekhawatiran masyarakat terhadap SP3 itu adalah pada akhirnya tidak adanya kerugian negara, lalu tidak bisa diproses. Ini bagaimana?
Soal kerugian negara itu masalah BPK dan Badan Pemeriksa dan Pengawasan Pembangunan (BPKP). Kami tidak bisa turut campur. Kami bukan ahli keuangan. Kalau badan resmi sudah mengatakan begitu, kami harus bagaimana?
Dalam tiga bulan ini, penanganan kasus hak asasi manusia tampaknya tidak ada gaungnya?
Dalam kasus hak asasi manusia, kini ada dua macam, salah satunya adalah kasus Abepura. Penegakan HAM yang sesudah pemberlakuan undang-undang itu tidak ada masalah. Tapi, perbedaan pendapat antara kami dan teman-teman LSM selama ini adalah terhadap penanganan HAM sebelum adanya undang-undang atau yang retroaktif, misalnya kasus Trisakti, Semanggi I dan II, dan kerusuhan Mei. Undang-undangnya mengatakan, jika hendak dijadikan kasus, harus ada pernyataan (rekomendasi) DPR. Baru nanti keputusan presiden. Lalu, itu menjadi kasus.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo