Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PEREMPUAN itu tak bisa lagi diajak bicara. Omongannya lebih sering melindur dan melantur. Saat ditanya tentang usianya, misalnya, ia mengaku sudah berumur 100 tahun. Padahal sebenarnya usianya baru 84 tahun. Penyakit pikun agaknya telah menggerogoti kemampuan otaknya. "Sudah tidak nyambung," kata kerabatnya, Dastiyah, 70 tahun, akhir Juli lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Namanya Ijah. Ia satu dari tiga perempuan yang pernah dinikahi Hendra Gunawan. Pada 1963-an-masa sebelum geger tragedi Partai Komunis Indonesia-Hendra bertemu dengan Ijah, yang kala itu sedang mencari kerja di Bandung. Hendra kemudian "lenyap" dari Bandung meninggalkan istrinya, Karmini, dan tiga anaknya. Ia hidup dua tahun, 1963-1965, di kampung halaman Ijah di Desa Panongan Lor, Cirebon, Jawa Barat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dibanding Karmini dan Nuraeni yang dinikahinya di penjara Kebonwaru, Bandung, nama Ijah memang jarang terdengar. Bahkan banyak yang ragu Hendra pernah mempersunting Ijah. Ciputra, kolektor dan sahabat Hendra, mengaku tidak mengetahui ihwal pernikahan tersebut. Sejauh ini, Ciputra hanya tahu bahwa Hendra menikahi Karmini dan kemudian Nuraeni.
Pengamat seni dan penulis buku biografi Hendra Gunawan, Agus Dermawan T., mengungkapkan, dia mendengar kabar tentang pernikahan itu hanya dari penuturan seorang pelukis yang dekat dengan Hendra di Bandung. Tapi Agus belum pernah melakukan penelusuran hingga ke Cirebon. "Kalau kabar pernikahan Hendra dengan perempuan Cirebon itu benar, ini sangat menarik," ucapnya.
Berdasarkan penelusuran Tempo, Hendra memang tercatat pernah menikah dengan Ijah, tapi tak punya keturunan. Pernikahan Hendra dengan Ijah berlangsung di rumah orang tua Ijah di Dusun Cibogo, Desa Panongan Lor, Kecamatan Sedong, Kabupaten Cirebon, pada 1963. Dari kampung itulah Ijah berasal. Boleh dibilang waktu itu ia adalah kembang desa di sana.
Usia pernikahan Hendra dengan Ijah hanya sekitar dua tahun. "Sebelum saya, dia menikah dengan Ibu Ijah. Tapi saya belum pernah bertemu dengan Ibu Ijah," ujar Nuraeni kepada Tempo, akhir Juli lalu. Dastiyah, yang kala itu menjadi asisten rumah tangga Hendra dan Ijah, menyebutkan Hendra biasa melukis sejak pagi sampai siang atau sore. "Saya kerap diminta menjadi model lukisannya," ucap Dastiyah. Sebagian besar lukisan Hendra merupakan pesanan. Pemesannya dari Jakarta, Bandung, dan Surabaya. Menurut Dastiyah, Hendra biasanya mengantarkan sendiri lukisan-lukisan itu kepada para pemesannya. "Uang hasil penjualan dipakai untuk keperluan hidup sehari-hari."
Lukisan yang dibuat Hendra di Cirebon sejauh ini tak bisa diidentifikasi ciri khasnya. Ini berbeda dengan lukisan Hendra di penjara Kebonwaru, yang selalu diberi inisial "KW"-kepanjangan dari Kebonwaru. Inisial itu ditulis Hendra di bawah tanda tangannya yang ia guratkan dalam lukisan.
Menurut Dastiyah, lukisan di Cirebon sama dengan lukisan lain buatan Hendra. Kepada Dastiyah, Tempo menunjukkan beberapa lukisan Hendra dalam buku Surga Kemelut Pelukis Hendra: Dari Pengantin Revolusi sampai Terali Besi karya Agus Dermawan yang terbit pada 2018. Dastiyah menyatakan model lukisan yang dibuat Hendra di Dusun Cibogo sama dengan yang ada di buku itu.
Dastiyah bercerita, sepekan sebelum peristiwa 1965, Hendra pamit pergi ke Bandung untuk mengurus pernikahan anaknya. "Setelah itu, dia tak pernah kembali ke Cibogo," katanya. Aparat kemudian menggembok rumah Hendra dan Ijah. Ijah dan ayahnya pun dibawa dan disekap selama sekitar satu bulan di sebuah gudang beras di daerah Dongkol, tak jauh dari Desa Panongan Lor.
Menurut Dastiyah, saat rumah itu disegel aparat, ada sekitar 12 lukisan Hendra. Enam lukisan masih basah catnya dan terpajang di tempat melukis. Enam lukisan lain sudah kering dan digulung. "Salah satu lukisan yang catnya belum kering bergambar kuda," ucapnya. Hampir satu tahun rumah itu disegel. Setelah itu, semua lukisan, perangkat gamelan, surat, dan benda lain yang ada di rumah tersebut disita aparat. "Saya enggak tahu dibawa ke mana semuanya."
Karya Hendra yang tersisa adalah lukisannya pada sebidang tembok pembatas rumah dan kolam, ukiran semar di pintu rumah, patung kodok di pinggir kolam, dan gambar Hendra di tembok bak kamar mandi. Tapi karya-karya itu-juga sanggar kesenian yang dirintis Hendra di Desa Panongan Lor-dihancurkan warga yang menuduh keluarga Hendra dan Ijah sebagai anggota PKI. Satu-satunya karya yang tidak hancur adalah gambar di tembok bak kamar mandi. "Itu pun dibawa orang dari Bandung pada 1990-an," kata Intan, anak angkat Ijah, akhir Juli lalu.
Di tengah masalah raibnya karya Hendra di Cirebon, sebuah potongan lukisan yang diduga bikinan Hendra ditemukan di rumah Jasriah, 62 tahun, adik Ijah. Panjang potongan lukisan itu sekitar 1,5 meter dengan lebar sekitar 50 sentimeter. Gambar tersebut berupa sesosok perempuan yang sedang menggendong bakul. Lantaran lukisan terpotong, yang tampak hanya setengah badan perempuan berupa rambut, satu tangan dan kaki, serta sedikit bagian samping tubuh. Perempuan itu dilukis dengan dominasi warna biru dan hijau. Adapun latarnya berwarna kuning tua dan jingga.
Jasriah menuturkan, potongan lukisan itu ia temukan sekitar lima tahun lalu, bermula dari kedatangan seseorang yang mengaku sebagai anggota keluarga Hendra dari Bandung. Kepada Jasriah, orang itu menanyakan lukisan Hendra yang mungkin masih disimpan keluarga Ijah. Jasriah jadi penasaran dan mulai mencari lukisan peninggalan Hendra. "Kemudian saya melihat kain belacu yang menjadi penutup lemari pakaian di rumah saya," ujar Jasriah, akhir Juli lalu.
Ketika diambil, kain penutup lemari itu ternyata lukisan. Bentuknya terpotong, mungkin digunting menyesuaikan luas bidang pintu lemari pakaian. Menurut Jasriah, lemari pakaian itu pemberian ayahnya. Dulu, ayahnya menebang pohon besar di halaman rumah keluarga Ijah di Dusun Cibogo. Kayu pohon itu diolah jadi empat-lima lemari yang kemudian diberikan kepada anak-anaknya yang saat itu sudah menikah. Salah satunya Jasriah.
JEJAK lukisan yang dibuat Hendra Gunawan di Cirebon masih menjadi misteri hingga sekarang. Kurangnya data pasti mengenai lukisan Hendra membuat "periode Cirebon" ini bisa dimanfaatkan pemalsu lukisan. Mereka bisa mengembuskan wacana bahwa ada ciri yang muncul saat Hendra tinggal di Cirebon.
Pada 2014, misalnya, muncul buku Hendra Gunawan Sang Pelukis Rakyat. Buku ini digagas kolektor Agung Tobing. Buku itu memuat 239 karya reproduksi lukisan Hendra yang rata-rata memuat angka tahun 1969-1978, tahun-tahun ketika Hendra berada di penjara Kebonwaru. Sejumlah pihak, sebagaimana dikutip dalam laporan majalah Tempo edisi 27 Juli-2 Agustus 2015 berjudul "Nuraeni dan Polemik Lukisan Palsu Hendra Gunawan", pernah mempertanyakan keaslian lukisan-lukisan Hendra yang dimuat di buku itu. Buku tersebut memuat kata sambutan dari Hatta Rajasa, Menteri Koordinator Perekonomian saat itu, dan tulisan akademikus Suwarno Wisetrotomo yang membahas biografi Hendra. "Saya tidak tahu dapat dari mana semua lukisan Hendra itu. Saya hanya menulis biografinya," tutur Suwarno, awal Agustus lalu.
Yang menarik, buku itu menyinggung periode Cirebon. Di situ disebutkan bahwa, dalam sejarah seni rupa Hendra, ada periode Cirebon. Selama Hendra tinggal di Cirebon, ada masa ketika Hendra mulai menggambar lanskap laut dan awan-awan bergulung menghiasi langit biru. Rosa Vitara, anak Hendra dari Karmini, mengatakan ayahnya pertama kali melukis lanskap laut saat tinggal di Cirebon. Sebab, rumah Hendra berada di lereng gunung. "Dari situ, Bapak bisa melihat laut utara," ujar Rosa kepada Tempo pada 2015.
Suwarno ingat, kepadanya Rosa bahkan menyebutkan imajinasi melukis panorama, pantai, dan gunung Hendra tumbuh subur di Cirebon. "Rosa menyebutkan pada periode Cirebon inilah Hendra hidup dalam situasi penuh gelora," ucap Suwarno. Dalam buku Hendra Gunawan Sang Pelukis Rakyat juga disebutkan lukisan Hendra di Cirebon banyak berupa pemandangan dengan latar Gunung Ciremai. Menurut buku itu, lukisan pemandangan tersebut dihasilkan lantaran rumah Ijah berada di lereng Gunung Ciremai. Rosa mengatakan Hendra sangat produktif melukis di Cirebon. Tapi Rosa tak menyebutkan jumlah lukisan periode Cirebon itu.
Sepanjang ingatan Dastiyah, kerabat Ijah, lukisan Hendra mengenai gunung di Cirebon tak banyak. "Seingat saya, Pak Hendra cuma sekali melukis pemandangan Gunung Ciremai," katanya kepada Tempo. "Itu pun, kata Pak Hendra, pesanan orang dari luar negeri," ucap perempuan yang bekerja menyiapkan segala keperluan Hendra, dari urusan melukis hingga menu makanan sang maestro, itu.
Menurut Suwarno Wisetrotomo, lukisan-lukisan yang dimuat dalam Hendra Gunawan Sang Pelukis Rakyat adalah urusan Agung Tobing dan keluarga Hendra. Setelah melihat lukisan-lukisan tersebut, Suwarno justru menaruh curiga atas keasliannya, termasuk sederet lukisan pemandangan yang dikategorikan sebagai periode Cirebon.
Prihandoko, Nurdin Kalim (Cirebon), Shinta Maharani (Yogyakarta), Anwar Siswadi (Bandung)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo