Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Tumbal Begal di Operasi Polisi

Puluhan terduga begal ditembak hingga tewas menjelang Asian Games. Cerita polisi bertentangan dengan keterangan saksi mata.

1 September 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Puluhan terduga begal ditembak hingga tewas menjelang Asian Games. Cerita polisi bertentangan dengan keterangan saksi mata.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DOR! Dor! Dor!" Tiga letusan senjata api mengejutkan Hendra Yanuar, 24 tahun, yang berjaga di warung Boboy Thai Tea miliknya di Jalan Angkasa Pura Dalam 1, Kemayoran, Jakarta Pusat, Rabu menjelang tengah malam, 18 Juli lalu. Obrolan dengan ayah dan temannya seketika terhenti. Sejurus kemudian, terbirit-birit dia menghampiri sumber letusan, yang hanya berjarak sekitar 70 meter dari warungnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di belakang mobil odong-odong yang terparkir setiap malam di sana, Hendra melihat tubuh laki-laki terkapar di aspal jalan yang tak diterangi sinar lampu. Empat pria berpakaian sipil yang menggenggam pistol mengelilingi tubuh yang sudah tak bergerak itu. Di belakang mereka, berjejer mobil Toyota Avanza dan sedan polisi. "Saya melihat polisi mau menggotong tubuh orang itu," kata Hendra kepada Tempo, Rabu pekan lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Polisi sempat melarang sejumlah warga sekitar yang mulai berkerumun mendekat. Polisi juga tak mengizinkan mereka mengambil foto dengan telepon seluler. Seorang di antaranya kemudian meminta teman Hendra membantu mengangkat tubuh laki-laki berpakaian kaus dan celana pendek tersebut dan memasukkannya ke bagasi Avanza, yang hanya berjarak sekitar lima meter. Hendra menyaksikan mobil polisi buru-buru pergi meninggalkan lokasi tersebut.

Menurut Hendra, saat polisi mengangkat tubuh laki-laki itu, tak terlihat ada darah mengucur. Kesaksian serupa disampaikan petugas satuan pengamanan Gedung 20, Bandi Hafiluddin, yang mendekati posisi tubuh pria berbadan gempal itu. "Saya mau lihat darahnya, tapi tak ada bercak darah sama sekali di sana," ujar Bandi.

Dua hari kemudian, polisi mengumumkan penembakan Dedi Kusuma alias Jabrik, 33 tahun, pria yang dimaksud Hendra dan Bandi. Polisi menuduhnya sebagai pencuri sepeda motor milik seorang warga di Jalan Ketapang, Kelurahan Kebon Kosong, Kemayoran, Jakarta Pusat. Rilis yang disebarkan polisi kepada wartawan menyebutkan petugas semula menangkap Heru, yang satu kawanan dengan Dedi. Berdasarkan informasi dari Heru, seperti tertulis dalam rilis, polisi kemudian menangkap Dedi di Jalan Kebon Kosong VII pada malam hari. Tapi Dedi melawan dan ditembak di dadanya. Cerita versi polisi ini dimuat di sejumlah media online.

Tempo menemui Untung Santoso, saksi mata yang disebut polisi mengetahui peristiwa pencurian sepeda motor itu. Ternyata, Untung memberikan kesaksian yang jauh berbeda dengan cerita polisi. Menurut koordinator keamanan RW 3 itu, pada Rabu sekitar pukul 12 siang, dia mendengar teriakan "Maling! Maling!". Untung kemudian ikut mengejar pelaku yang lari dari kejaran sekitar 20 penduduk sekitar.

Untung menangkap Dedi dan "mengamankan"-nya di kantor RW 3 Kelurahan Kebon Kosong. "Dia tidak melawan saat saya tarik kerah bajunya," ujar Untung. "Saya telepon Kepolisian Sektor Kemayoran, lalu dua petugas berkendara sepeda motor datang menjemput dia," katanya. Menurut Untung, Dedi terlihat ketakutan dan tidak melawan saat dibawa polisi.

Seorang kerabat Dedi yang tak mau disebut namanya bercerita kepada Tempo bahwa Dedi, yang bekerja sebagai montir, baru dua pekan keluar dari penjara setelah ditahan sejak November 2016 karena kasus pencurian sepeda motor. Kabar Dedi tewas diketahui pada Kamis dinihari. Bermaksud membawa pulang jenazah Dedi dari Rumah Sakit Polri Sukanto, Kramat Jati, Jakarta Timur, keluarganya malah diminta mendatangi Kepolisian Sektor Kemayoran. Di sana, kata kerabat Dedi tersebut, Kepala Unit Reserse Kriminal Ajun Komisaris Bambang Santoso meminta maaf atas kematian Dedi.

Kerabat tersebut bercerita bahwa Bambang menyatakan Dedi sebenarnya bersikap kooperatif dan mau menunjukkan tempat tinggal penadah sepeda motor curian di Jalan Nangka, Kemayoran. Di lokasi itu, polisi menangkap empat orang. Saat menunjukkan rumah tersangka lain, Dedi melawan di dalam mobil dan polisi menembak dia.

Bambang tak merespons pertanyaan yang diajukan Tempo melalui WhatsApp. Panggilan telepon juga tidak direspons. Kepala Kepolisian Sektor Kemayoran Komisaris Saiful Anwar menyatakan Dedi ditembak karena melawan. "Saya tidak ingat persis detail peristiwanya," ujar Saiful. Sedangkan Kepala Sub-Bagian Humas Kepolisian Resor Jakarta Pusat Ajun Komisaris Besar Suyatno mengatakan kronologi yang disampaikan polisi sudah sesuai dengan kejadian sebenarnya. "Sudah sesuai seperti di berita-berita," ucapnya.

Menurut kerabat Dedi, seusai pertemuan dengan Bambang Santoso, seorang polisi wanita di Polsek Kemayoran meminta keluarga menandatangani surat pernyataan bermeterai. Isinya menyatakan keluarga menolak autopsi jenazah, menerima kejadian itu sebagai takdir dari Allah, dan tak akan menuntut polisi. Polisi itu juga memberikan amplop berisi uang. "Sampai sekarang, amplop itu belum kami buka," kata kerabat Dedi itu.

l l l

TEWASNYA Dedi adalah bagian dari rangkaian penembakan terduga begal oleh polisi menjelang pelaksanaan Asian Games 2018, yang dimulai sehari setelah ulang tahun Kemerdekaan. Selama tiga bulan, hingga awal Agustus, misalnya, Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya menggelar operasi penertiban yang melibatkan seribu personel. Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Raden Prabowo Argo Yuwono, pertengahan Juli lalu, membenarkan anggapan bahwa masifnya gerakan polisi itu "untuk membuat efek gentar bagi pelaku kejahatan".

Tak hanya di Ibu Kota, operasi serupa digelar di Jawa Barat, Banten, dan Palembang-tuan rumah Asian Games selain Jakarta. Pada akhir Juli lalu, Kepala Kepolisian RI Jenderal Tito Karnavian menyerukan anak buahnya tak ragu menindak tegas begal yang melawan petugas.

Sikap polisi terhadap penjahat jalanan membuat berang sejumlah lembaga pegiat hak asasi manusia. Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, mengatakan lembaganya mencatat sebanyak 31 begal di Jakarta dan Palembang-dua kota yang menjadi tuan rumah Asian Games-tewas di tangan polisi sejak Januari hingga Agustus. "Kebanyakan tewas sejak polisi menertibkan pelaku kriminal jalanan," ujar Usman. "Begal seperti menjadi tumbal dari operasi polisi."

Anggota Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Saleh Al Ghifari, mengatakan ada sejumlah kejanggalan dalam penembakan para begal. Indikasinya, semua terduga penjahat jalanan yang tewas ditembak di bagian dada. Seharusnya, jika polisi berniat melumpuhkan dan bukan mematikan, "Tembakannya di kaki," ujar Saleh.

LBH Jakarta juga mempertanyakan lokasi penembakan para terduga begal seperti yang terjadi pada Dedi Kusuma. Salah satunya penembakan Fikri Rudi Yanto, 35 tahun, dan Ismail, 43 tahun, terduga begal yang menjadi bagian kelompok Lampung. Kepala Kepolisian Sektor Sawah Besar, Jakarta Pusat, Komisaris Mirzal Maulana, mengatakan Fikri dan Ismail menghindari razia polisi yang digelar di Jalan Kartini, di depan Big Hotel, pada Sabtu dinihari, 21 Juli lalu.

Menurut Mirzal sehari setelah kejadian, polisi yang curiga langsung mengejar sepeda motor yang digunakan keduanya. Di Jalan Industri, tepatnya di dekat pintu perlintasan kereta, kata Mirzal, Fikri dan Ismail melawan dan menembak polisi. Lalu polisi membalas tembakan tersebut hingga akhirnya keduanya tewas.

Tempo menyusuri sepanjang Jalan Kartini hingga Jalan Industri dan mewawancarai lebih dari 20 orang yang mengaku tidak tidur pada saat kejadian. Semuanya menyatakan tidak mendengar suara tembakan. "Tidak ada kejar-kejaran motor dan tidak ada suara tembakan," kata penjaga pintu perlintasan kereta di Jalan Industri, Candra Anggara. Tapi Mirzal berkukuh keduanya tewas di sana. Sama seperti keluarga Dedi, kerabat Fikri diberi duit oleh polisi.

Kejanggalan juga terlihat pada penembakan terduga Heru Astanto, yang disebut polisi menjadi penadah komputer jinjing milik tenaga ahli muda di Kantor Staf Presiden, Armedya Dewangga. Armedya menjadi korban pembegalan pada awal Juni lalu. Direktur Reserse Kriminal Umum Kepolisian Daerah Metro Jaya Komisaris Besar Nico Afinta mengatakan Heru berkomplot dengan kelompok begal bermodus penipuan ban kempis yang dipimpin Ramalia alias Ramli. "Ramalia dan Heru mencoba melarikan diri dan menyerang petugas," kata Nico melalui keterangan tertulis pada 8 Juli lalu.

Kerabat Heru yang tak mau disebut namanya bercerita, enam polisi berpakaian bebas menjemput saudaranya itu pada Jumat, 6 Juli, sekitar pukul 21.00, tanpa membawa surat permintaan keterangan atau surat penangkapan. Seorang polisi mengaku bernama Sutarno dan berasal dari Unit Reserse Mobil IV Polda Metro Jaya. Sutarno mengatakan Heru dibawa ke Polda Metro Jaya untuk dimintai keterangan.

Heru tak kunjung pulang. Keluarganya sempat mendatangi Polda Metro Jaya dua kali, tapi tak mendapatkan hasil. Barulah pada Ahad malamnya, kerabat Heru membaca berita yang menyatakan Heru tewas ditembak di dada kiri. Keluarga yang datang ke Rumah Sakit Polri, Kramat Jati, lebih kaget ketika tahu bahwa Heru ternyata tewas tak sampai tiga jam setelah dia dijemput. "Kami tidak diberi tahu," ujarnya.

Ombudsman Republik Indonesia sempat kencang mempertanyakan penembakan puluhan terduga begal hingga tewas. Ombudsman sempat memanggil Nico Afinta pada Rabu empat pekan lalu. Nico datang menyerahkan data operasi polisi tertanggal 3 Juli hingga 3 Agustus. Setelah pertemuan, Ombudsman kemudian memilih tak melanjutkan perkara itu. "Kami tidak mengurus itu lagi sejak pertemuan tersebut," kata komisioner Ombudsman, Adrianus Meliala.

Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Raden Prabowo Argo Yuwono membantah anggapan bahwa penembakan begal tak sesuai dengan prosedur. "Tindakan tegas dan terukur itu sudah sesuai dengan aturan," tuturnya.

Anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Amiruddin Al Rahab, mengatakan berbagai kejanggalan dalam penembakan terduga begal hingga tewas tak ubahnya peristiwa penembakan preman pada 1980-an yang dikenal sebagai "petrus" atau penembakan misterius. "Saat itu, terjadi penyalahgunaan wewenang dalam menangani tindak kriminal," ujarnya.

Imam Hamdi, Adam Prireza, Pramono

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus