Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEMBARI menenteng amplop kertas cokelat, Helpandi berjalan menuju kantornya di gedung Pengadilan Negeri Medan, Kamis pagi pekan lalu. Dia baru saja beranjak dari warung tidak jauh dari kantor pengadilan. Langkah Helpandi terhenti ketika sejumlah orang berseragam rompi Komisi Pemberantasan Korupsi menghampirinya. ”Dia sempat berontak saat hendak ditangkap,” ujar Mudhi, saksi yang menyaksikan kejadian itu, kepada Tempo pada Kamis pekan lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perlawanan Helpandi tidak ada artinya. Tim KPK tetap meringkus pria yang sehari-hari menjadi panitera pengganti itu. Belakangan, diketahui penyidik KPK membawa Helpandi ke kantor Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara untuk menjalani pemeriksaan awal karena ia diduga baru saja melakukan transaksi suap. Setelah memeriksanya, tim KPK menemukan amplop cokelat yang dibawa Helpandi berisi duit Sin$ 130 ribu dalam bentuk pecahan Rp 1.000. ”Duit itu untuk hakim ad hoc tindak pidana korupsi pada Pengadilan Negeri Medan, MP (Merry Purba),” ujar Ketua KPK Agus Rahardjo.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tim KPK lainnya lantas bergerak ke Gedung B Pengadilan Medan. Secara beruntun, belasan petugas komisi antikorupsi menciduk hakim Merry, hakim Sontan Merauke Sinaga, Wakil Ketua Pengadilan Negeri Medan Wahyu Prasetyo Wibowo, Ketua Pengadilan Negeri Medan Marsudin Nainggolan, dan panitera Oloan Sirait. Dalam waktu yang bersamaan, anggota satuan tugas lembaga antirasuah menangkap pengusaha Tamin Sukardi dan anak buahnya, Sudarni, di kediaman masing-masing di Medan.
Menurut Agus Rahardjo, operasi tangkap tangan itu terjadi karena ada praktik pemberian suap dari Tamin terkait dengan persidangan perkara tindak pidana korupsi yang membelitnya. Pemberian diduga melalui perantara Helpandi dan sopir Merry. Total uang yang diterima Merry sebesar Sin$ 280 ribu. Jatah uang muka untuk Merry senilai Sin$ 150 ribu telah diberikan Tamin melalui utusannya kepada Helpandi di Hotel JW Marriott pada 24 Agustus lalu. ”Pemberian untuk mempengaruhi putusan majelis,” ucap Agus.
Sehari sebelum operasi tangkap tangan itu, majelis hakim yang diketuai Wahyu Prasetyo Wibowo serta dua anggota, Merry Purba dan Sontan Merauke Sinaga, membacakan putusan perkara Tamin Sukardi. Pemilik PT Erni Putera Terari itu dinyatakan terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi karena telah menjual tanah yang belum dihapus dari aset negara dengan nilai lebih dari Rp 132 miliar. Dia dijatuhi hukuman 6 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider 6 bulan kurungan serta diminta membayar uang pengganti Rp 132 miliar. Putusan ini lebih ringan daripada tuntutan jaksa, yakni pidana penjara 10 tahun, denda Rp 500 juta, dan diminta membayar uang pengganti Rp 132 miliar.
Putusan ini diwarnai dissenting opinion atau perbedaan pendapat, yang dilakukan hakim Merry. Ia menyatakan dakwaan terhadap Tamin tidak terbukti. Salah satu alasannya adalah obyek yang dijual Tamin bukan lagi milik negara karena sudah ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Dua hakim lain, Wahyu dan Sontan, berpandangan aset itu masih milik negara karena belum dihapusbukukan. Majelis memutuskan dengan suara terbanyak sehingga Tamin dinyatakan terbukti bersalah.
Seorang penegak hukum mengatakan pemberian besel untuk para hakim agar dalam putusan tersebut Tamin dinyatakan tidak bersalah. Sebelum penyerahan uang itu, Tamin bersama salah satu kuasa hukumnya, Hadi Setiawan, intens berkomunikasi dengan para hakim. Menurut penegak hukum tadi, diduga sempat ada pertemuan antara Tamin, Hadi, Marsudin Nainggolan, dan Wahyu di Hotel JW Marriott. ”Mereka menyewa kamar,” kata penegak hukum itu.
Dalam pertemuan tersebut, Tamin meminta dijadikan tahanan rumah. Ia juga meminta dalam putusan dinyatakan bebas. Sebagai imbalan, Tamin memberi majelis hakim dan ketua pengadilan sejumlah uang. ”Kode mereka sepohon. Satu pohon artinya satu miliar rupiah. Tapi uangnya dalam bentuk dolar Singapura,” ujar penegak hukum itu.
Menurut penegak hukum tadi, jatah untuk Marsudin dan Wahyu sudah diberikan melalui Hadi. Sedangkan besel untuk Merry, sang hakim perempuan, diberikan melalui Helpandi. Dari pantauan KPK, suap untuk Merry menggunakan sandi ”ratu kecantikan”. Sedangkan fulus untuk Sontan senilai Sin$ 130 ribu belum sampai. ”Dia sudah sepakat dengan nominal tersebut. Cuma, pas uangnya mau dikasihkan, tidak diketahui keberadaan Sontan,” kata sumber ini.
Kesepakatan mengenai nominal dan pemberian uang melalui Hadi. Namun Hadi belum ditangkap hingga kini. Meski demikian, Hadi bersama Tamin telah ditetapkan sebagai tersangka pemberi suap. ”Hadi juga sudah ditetapkan dan masuk daftar pencarian orang,” kata Agus Rahardjo. Ia juga membenarkan timnya mendapat informasi penggunaan sejumlah kode atau sandi dalam transaksi suap mereka. ”Pohon itu sandi untuk uang, sedangkan ratu kecantikan kode untuk salah satu hakim,” ujar Agus.
Satu hari setelah operasi tangkap tangan itu, KPK mengumumkan Merry dan Helpandi sebagai tersangka penerima suap. Sedangkan Tamin Sukardi dan orang kepercayaannya, Hadi Setiawan, menjadi tersangka dengan tuduhan pemberi suap. Tiga hakim lain, yakni Wahyu, Marsudin, dan Sontan, sementara dilepaskan karena bukti keterlibatan mereka belum kuat.
Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarif mengatakan tiga hakim itu turut diterbangkan ke Jakarta karena ada informasi ihwal keterlibatan mereka. ”Kami telah mengantongi informasi awal,” kata Syarif.
Juru bicara Pengadilan Negeri Medan, Erintuah Damanik, menyangkal kabar bahwa Marsudin dan Wahyu ditangkap KPK. ”Mereka hanya dimintai keterangan,” ujarnya. Tamin, Marsudin, Wahyu, dan Sontan saat tiba di gedung KPK memilih bungkam ketika dimintai konfirmasi tentang pemberian suap ini. Sedangkan Merry membantah telah menerima suap. ”Saya tidak tahu. Memang saya tidak menerima,” katanya.
Komisi Yudisial mengantongi informasi dugaan kongkalikong itu sejak persidangan Tamin dimulai. Salah seorang investigator Komisi Yudisial mengatakan tim mereka lantas memantau sidang ini pada Mei lalu. ”Selama sidang, hakim memberikan porsi berlebih kepada terdakwa dan tim kuasa hukum dalam setiap argumen,” ujarnya. Namun ia tak sampai mendengar adanya penyerahan uang. ”Itu ranah KPK.”
Wakil Ketua Komisi Yudisial Sukma Violetta mengatakan lembaganya memang memantau dugaan pelanggaran yang dilakukan para hakim itu. ”Pengawasan tidak berhenti meski tanpa diperhatikan publik,” ucapnya.
Selain diduga melobi hakim, selama persidangan Tamin Sukardi sering berakting terlihat lemah dan menggunakan kursi roda. Jaksa penuntut umum Salman sempat meminta hakim agar mengizinkan Tamin melakukan perawatan di rumah sakit pada awal Mei lalu. ”Terdakwa memiliki riwayat penyakit jantung koroner,” kata Salman. Sejak saat itu, penuntut umum menangguhkan penahanan Tamin.
Sidang perkara Tamin Sukardi bergulir sejak awal Mei lalu. Menurut jaksa Salman dalam surat dakwaannya, korupsi tanah yang menyeret pengusaha Tamin Sukardi bermula pada 2002. Kala itu ia mengetahui dari koran bahwa hak guna usaha 106 hektare lahan yang dipakai PT Perkebunan Nusantara II (Persero) di Kebun Helvetia tidak diperpanjang. Tamin berniat menguasai lahan yang lokasinya di Pasar IV Desa Helvetia, Labuhan Deli, Deli Serdang, Sumatera Utara, itu berbekal 65 lembar surat keterangan tentang pembagian dan penerimaan tanah sawah/ladang.
Melalui orang-orang kepercayaannya, Tamin membayar dan mengkoordinasi sejumlah warga agar mengaku sebagai ahli waris hak garap di lokasi tanah. Mereka lantas dibawa ke notaris untuk menandatangani bundel dokumen berkaitan dengan tanah itu. Pada 2006, warga diakomodasi agar memberikan kuasa kepada Tasman Aminoto untuk mengajukan gugatan ke pengadilan negeri di Deli Serdang. Setiap selesai persidangan, warga juga singgah ke rumah Tamin di Jalan Thamrin, Medan. Mereka diberi uang Rp 100-500 ribu melalui Tasman ataupun anaknya, Endang.
Gugatan warga akhirnya dikabulkan pengadilan dan dikuatkan sampai peninjauan kembali. Setelah putusan pengadilan tingkat pertama, menurut dokumen persidangan, Tasman melepaskan hak atas tanah itu kepada Tamin Sukardi yang menggunakan PT Erni Putera Terari dengan ganti rugi Rp 7 miliar pada 2007. Akta di bawah tangan kemudian didaftarkan ke notaris Ika Asnika.
PT Erni Putera Terari menjual 74 hektare dari 106 hektare lahan yang dikuasai kepada Mujianto selaku Direktur PT Agung Cemara Reality senilai Rp 236,25 miliar pada 2011. Penjualan itu tanpa mengurus peralihan hak atas tanah tersebut dan tanpa melalui ketentuan Undang-Undang Agraria. Namun Mujianto baru membayar sekitar Rp 132,4 miliar kepada Tamin. Sisanya akan dibayarkan setelah sertifikat tanah terbit.
Meski dalam persidangan sudah terbukti bahwa obyek jual-beli antara PT Erni dan PT Agung masih tercatat sebagai tanah negara, tim Komisi Yudisial juga mencermati majelis hakim dalam putusannya yang tak mengusik status tanah itu. ”Hak penguasaan lahan yang dijual Tamin seharusnya disita negara,” ujar investigator tersebut.
Salah satu kuasa hukum Tamin, Fachruddin Rifai, mengklaim tidak tahu-menahu ihwal permainan kliennya selama persidangan. Ia juga menyatakan tidak tahu terkait dengan suap terhadap para hakim tersebut. ”Urusan seperti itu, kami tidak mengerti sama sekali,” ucapnya. LINDA TRIANITA, RUSMAN PARAQBUEQ, SAHAT SIMATUPANG, IIL ASKAR MONDZA (MEDAN)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo