Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Adu Siasat Vs Bukti Kuat

Mengulur pemeriksaannya sebagai tersangka di KPK, Setya Novanto berharap praperadilan membatalkan statusnya. Komisi antikorupsi segera menahannya.

18 September 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Adu Siasat Vs Bukti Kuat

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kuasa hukum Setya Novanto memprotes hakim begitu mendengar Komisi Pemberantasan Korupsi meminta sidang praperadilan yang diajukan kliennya ditunda selama tiga pekan.

Menurut Ketut Mulya Arsana, salah seorang kuasa hukum Ketua Dewan Perwakilan Rakyat itu, penundaan selama tiga pekan terlampau lama. Kami minta tiga hari, kata Ketut kepada hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa pekan lalu.

Hakim Cepi Iskandar mengambil jalan tengah. Ia memutuskan sidang ditunda selama sepekan. Tapi kuasa hukum Setya yang lain mencecar hakim meminta kepastian. Apa langkah yang akan diambil Yang Mulia bila KPK minta mundur lagi? ujar Agus Trianto, pengacara tersebut.

Cepi menjawab bahwa ia telah memberikan waktu kepada KPK. Dalam praktiknya, kalau sudah dipanggil, selalu hadir, katanya.

KPK meminta sidang ditunda dengan alasan sedang melengkapi syarat-syarat administrasi. Kepala Biro Hukum KPK Setiadi mengatakan penundaan itu salah satu strategi untuk memenangi persidangan. Namanya kuasa hukum itu harus punya strategi, trik, dan kiat tertentu untuk memenangi suatu pertempuran, ujarnya di gedung Dewan Perwakilan Rakyat. Salah satu tekniknya adalah penundaan.

Menjadi tersangka proyek kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP) sejak 17 Juli lalu, Setya mengajukan permohonan praperadilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan untuk membatalkan status tersebut pada Senin dua pekan lalu--sepekan setelah Direktur Penyidikan KPK Aris Budiman datang ke DPR memenuhi undangan Panitia Angket KPK. Pengadilan Negeri Jakarta Selatan kemudian memutuskan sidang perdana digelar pada Senin pekan lalu dengan Cepi Iskandar sebagai hakim tunggal.

Dalam gugatannya, Setya menyertakan delapan alasan memohon praperadilan. Dia, misalnya, mempersoalkan status penyelidik KPK yang tak berlatar belakang jaksa atau polisi. Setya pun menganggap tak terdapat kerugian negara dalam kasus e-KTP karena tak dihitung Badan Pemeriksa Keuangan.

Dua hal tersebut kerap dijadikan alasan para pemohon praperadilan agar lepas dari status tersangka di KPK. Celah tersebut sebenarnya sudah tertutup. Putusan Mahkamah Konstitusi justru menguatkan kewenangan KPK dalam mengangkat penyelidik dan penyidik dari kalangan sendiri. Demikian pula soal penggunaan audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan untuk menghitung kerugian negara, bukan hanya audit BPK.

Alasan yang paling aktual adalah putusan proyek e-KTP dengan terdakwa dua bekas pejabat Kementerian Dalam Negeri, Irman dan Sugiharto. Dalam pertimbangannya, majelis hakim yang diketuai John Halasan Butarbutar tidak menyebut nama Setya Novanto sebagai salah satu pelaku korupsi e-KTP yang merugikan negara Rp 2,3 triliun. Hakim menyebut pelakunya adalah Irman, Sugiharto, Diah Anggraeni, Andi Agustinus alias Andi Narogong, serta calon peserta lelang proyek itu.

Putusan tersebut menghapus peran Setya sebagaimana diuraikan dalam surat dakwaan dan tuntutan. Entah atas alasan apa hakim tak memasukkannya ke pertimbangan putusan meski para saksi di persidangan berulang kali menyebut peran Setya.

Terakhir, nama Setya Novanto kembali disebut dalam sidang kasus korupsi e-KTP dengan terdakwa Andi Narogong pada Jumat pekan lalu. Dua kali bersaksi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, dua kali pula Diah Anggraeni menyebut peran Setya. Bekas Sekretaris Jenderal Kementerian Dalam Negeri itu berkukuh pernah bertemu dengan Setya dan membicarakan proyek e-KTP.

Sebagaimana saat bersaksi untuk Irman dan Sugiharto pada Maret lalu, pada Jumat pekan lalu Diah berkukuh pernah diminta Setya mengawal proyek e-KTP. Pertemuan itu terjadi di Hotel Gran Melia, Jakarta, pada 2010. "Beliau bilang, 'Bu, nanti di Kemendagri ada program e-KTP. Ayo kita jaga bersama'," ujar Diah dalam kesaksiannya.

Mereka kembali bertemu pada 2014 dalam pelantikan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan Harry Azhar Azis. Saat itu, penyelidik KPK sudah bergerak menelisik kasus e-KTP. Setya, kata Diah, memintanya menyampaikan pesan kepada Irman, yang saat itu menjabat Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil, agar tak membawa-bawa namanya ketika diperiksa KPK.

"Pak Setya Novanto menyampaikan, 'Tolong sampaikan kepada Irman, kalau ketemu orang dan ditanya, bilang saja tidak kenal saya'," ujar Diah dalam persidangan Irman pada Maret lalu.

Saat bersaksi untuk Andi Narogong pada akhir Agustus lalu, Irman mengatakan pertemuan di Gran Melia bersama Diah dan Setya pada 2010 difasilitasi Andi. Menurut Irman, inti dari pertemuan itu adalah Setya menyatakan akan mengawal anggaran proyeke-KTP di DPR.

Meski peran Setya terang-benderang, hakim hanya menyebut namanya dalam putusan Irman dan Sugiharto pada bagian fakta persidangan. Dalam tuntutan Irman dan Sugiharto, Setya dan Andi disebut menerima jatah hingga Rp 574,2 miliar. Ini pun lenyap dalam putusan.

KPK meyakini jatah Setya Novanto dari e-KTP mengalir lewat Andi Narogong. Keduanya terhubung di PT Murakabi Sejahtera, salah satu peserta lelang proyek e-KTP. Perusahaan tersebut dipimpin keponakan Setya, Irvanto Hendra. Adik Andi, Vidi Gunawan, adalah salah seorang pemegang sahamnya.

Sejak kasus e-KTP mencuat, direksi perusahaan berganti. Beberapa waktu lalu, KPK memeriksa sejumlah notaris di Jakarta, Bekasi, dan Bogor untuk menelusuri kepemilikan sejumlah perusahaan yang diduga terafiliasi dengan Setya, termasuk PT Murakabi Sejahtera.

Itu sebabnya KPK meminta banding perkara Irman dan Sugiharto, yang masing-masing divonis 7 tahun dan 5 tahun penjara. Permohonan banding diajukan pada 7 Agustus lalu. Menurut Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarif, putusan banding yang ditunggu-tunggu diharapkan mengoreksi kekeliruan hakim yang menghapus nama Setya dalam putusannya. "Putusan banding ini bisa menjadi bukti tambahan untuk kasus selanjutnya," ujar Laode.

Setya berulang kali membantah terlibat e-KTP. Saat berkunjung ke kantor Tempo pada Maret lalu, Setya menjanjikan Rp 1 miliar kepada siapa saja yang bisa membuktikannya melakukan korupsi. "Demi Allah, demi Tuhan, saya tak korupsi," katanya.

Sembari menyiapkan jawaban praperadilan, KPK terus ngebut merampungkan berkas penyidikan e-KTP supaya bisa segera melimpahkannya ke pengadilan. Hingga kini, 108 saksi telah diperiksa. KPK pun sudah mengantongi sejumlah bukti keterlibatan Setya dari Amerika Serikat. Bukti ini terkait dengan Johannes Marliem, Direktur Utama Biomorf Lone LLC, yang tewas di Los Angeles pada Agustus lalu. Selama ini, bukti tersebut disimpan rapat-rapat.

Meyakini penyidikan perkara Setya Novanto hampir rampung, menurut seorang pejabat KPK, komisi antikorupsi berencana menahan Setya seumpama ia datang dalam pemeriksaan yang dijadwalkan Senin pekan lalu. Tapi Setya absen dengan dalih sakit.

Anton Septian, Maya Ayu, Hussein Abri Yusuf, Andita Rahma, Fransisco Rosarians

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus