Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tiba-tiba saja nama Cepi Iskandar menjadi sorotan. Hakim 57 tahun yang bertugas di Pengadilan Negara Jakarta Selatan itu menjadi pengadil tunggal gugatan praperadilan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Setya Novanto. Setya menggugat status tersangka perkara korupsi kartu tanda penduduk elektronik yang disematkan Komisi Pemberantasan Korupsi.
Meski menangani perkara yang menghebohkan, Cepi bekerja seperti biasa. Hanya seorang polisi yang terlihat mengawalnya dari ruang praperadilan pada Selasa pekan lalu hingga ke ruang kerjanya. Selepas itu, ia terlihat berjalan sendiri. Begitu juga ketika ia pulang-pergi ke rumahnya yang tak jauh dari pengadilan.
Untuk urusan praperadilan, Cepi baru dua kali menanganinya. Salah satunya ketika pengusaha Hary Tanoesoedibjo menggugat status tersangka pesan ancaman kepada jaksa Yulianto pada Juli lalu. Cepi menolak gugatan tersebut. ¡±Apa yang menjadi tugas harus dilaksanakan, apa pun risikonya,¡± kata Cepi seusai salat zuhur di Masjid Nurul Adli di kompleks pengadilan.
Cepi menolak dalil pengacara Hary Tanoe yang mempersoalkan terbitnya surat perintah dimulainya penyidikan (SPDP). Menurut Adidharma Wicaksono, pengacara itu, Cepi seharusnya mengabulkan gugatannya karena SPDP itu terbit sebulan setelah polisi mengumumkan status tersangka Hary.
Alas hukumnya adalah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 130 Tahun 2015 yang menyatakan SPDP wajib diberitahukan kepada pihak-pihak yang terkait dengan perkara, seperti jaksa penuntut umum, pelapor, dan terlapor, paling lambat tujuh hari setelah keluar surat perintah penyidikan atau pengumuman status tersangka. "Seharusnya hakim patuh dan taat terhadap putusan tersebut," ujar Adidharma.
Nyatanya, Cepi menolak dalil itu. Ia menganggap polisi sah menjadikan Hary Tanoe sebagai tersangka pengancaman lewat pesan pendek (SMS). Hary tak terima disidik dalam perkara dugaan manipulasi pajak di Mobile-8, anak perusahaan MNC Group ketika kasus itu terjadi.
Di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Cepi menyidangkan 5-10 kasus per hari. Kasus yang ditangani pria yang menjadi hakim sejak 1992 itu lebih banyak perkara kriminal yang tak melibatkan tokoh besar, seperti pencurian, penipuan, pembunuhan, dan perceraian. "Perkara ecek-ecek juga ia tangani," kata juru bicara Pengadilan Jakarta Selatan, Made Sutrisna, teman seangkatan Cepi, pada Selasa pekan lalu.
Sebelum bertugas di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Cepi pernah bertugas di Pengadilan Negeri Depok dan menjadi Ketua Pengadilan Negeri Purwakarta.
Rekam jejaknya juga tak tersangkut di Komisi Yudisial dengan pengaduan krusial. Komisi pernah menerima empat pengaduan perkara yang ditangani Cepi. Itu pun dua di antaranya ditujukan kepada majelis hakim tempat Cepi menjadi salah satu anggotanya. "Di Indonesia, semua hakim dilaporkan," ujar juru bicara Komisi Yudisial, Farid Wadji.
Satu laporan dari seorang advokat mengadukan putusan hakim yang melarangnya mendampingi kliennya. Cepi, yang menjadi anggota majelis itu, melarang pengacara ini karena ia tak bisa menunjukkan bukti pelantikannya sebagai advokat.
Pengaduan lain soal putusan Cepi yang dianggap tak adil pada 2015. "Setelah kami bersidang, diputuskan bahwa putusan hakim bersifat independen, sehingga Komisi tak bisa mencampuri," kata Farid.
Asep Iriawan, mantan hakim Pengadilan Negeri Tangerang, yang menjadi hakim pertama yang menghukum mati pengedar narkotik pada 1999, mengenal Cepi sebagai hakim yang tak banyak tingkah dan menangani perkara-perkara kecil yang tak muncul di berita. "Dia tak menonjol," ujarnya.
Gadi Makitan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo