Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kuasa hukum Setya Novanto di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, September 2017.
Panggilan dari nomor tak dikenal masuk ke telepon seluler Chairul Huda pada akhir Agustus lalu. Dosen hukum pidana Universitas Muhammadiyah Jakarta ini mengabaikannya karena waktu itu ia sedang mengajar.
Teleponnya berdering kembali setelah kelas usai. Di seberang telepon, seorang laki-laki yang tak lagi ia ingat namanya memperkenalkan diri sebagai pengacara Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Setya Novanto. Setya sedang rungsing karena Komisi Pemberantasan Korupsi menetapkannya sebagai tersangka megakorupsi proyek kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP) pada 17 Juli 2017.
Kepada Chairul, pengacara itu meminta pendapat soal materi yang pas untuk mematahkan tuduhan KPK tersebut. Chairul berpengalaman menjadi saksi ahli yang membebaskan Komisaris Jenderal Budi Gunawan dari status tersangka korupsi dan pencucian uang dua tahun lalu. Status tersangka itu membuat Budi terpental dari pencalonan Kepala Kepolisian RI. Belakangan, ia ditunjuk menjadi Kepala Badan Intelijen Negara.
Menurut Chairul, pengacara itu meminta pendapatnya tentang keabsahan penyidik KPK yang menetapkan Setya sebagai tersangka. Dalil yang dipakai Chairul ini sukses mencegah Budi Gunawan masuk bui karena hakim praperadilan mengabulkannya. Hakim Sarpin Rizaldi menganggap penyidik KPK tak sah karena bukan polisi. "Pembicaraan cukup intens," kata Chairul, Selasa pekan lalu.
Chairul menolak merinci saran-saran yang ia berikan. Tapi, dua pekan kemudian, pada Senin dua pekan lalu, Setya Novanto secara resmi menggugat status tersangka yang disandangnya ke sidang praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. "Saran saya normatif saja," ujar Chairul, kini anggota staf ahli Kepala Kepolisian RI.
Sewaktu menjadi saksi ahli yang meringankan bagi Budi Gunawan, Chairul bahu-membahu bersama Romli Atmasasmita, guru besar hukum pidana Universitas Padjadjaran. Ahli hukum yang menjadi pelopor lahirnya Undang-Undang Pemberantasan Korupsi ini belakangan getol mengkritik kerja KPK.
Kali ini, Setya Novanto pun berminat memakai kesaksian Romli kembali. Romli menuturkan, dia dihubungi pengacara yang tak terlalu terkenal dan mengaku sebagai kuasa hukum Setya. Pengacara ini, kata Romli, meminta pandangannya tentang rencana gugatan praperadilan Setya. "Saya mengatakan siap hadir di pengadilan," katanya Jumat pekan lalu.
Ada delapan poin materi gugatan praperadilan Setya Novanto. Selain soal keabsahan penyidik yang bukan polisi, ada soal kerugian negara. Menurut pengacara Setya dalam gugatan itu, korupsi proyek e-KTP belum mengandung kerugian negara karena belum dihitung Badan Pemeriksa Keuangan. Menurut mereka, angka kerugian negara sebesar Rp 2,3 triliun dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan tidak sah. Dengan begitu, Setya menggugat bahwa penetapan tersangkanya tak punya dasar dengan bukti permulaan.
Setya mengajukan dua tuntutan dalam gugatan ini. Pertama, tuntutan provisi agar KPK tak melimpahkan berkas penyidikan ke tahap selanjutnya sampai ada putusan gugatan praperadilan. Tuntutan kedua adalah hakim praperadilan menyatakan penetapan tersangka terhadap Setya tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Amrul Khair Rusin, kuasa hukum Setya, tak bersedia menjelaskan tiap poin materi gugatan mereka setelah mengantarkan materi gugatan setebal 59 halaman ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Ketika ditanyai apakah bakal menghadirkan Chairul Huda dan Romli sebagai salah satu ahli, Amrul sempat terdiam sejenak. "Nanti saja," ujarnya seraya bergegas menyusul tiga koleganya yang kocar-kacir menghindari kejaran wartawan.
Setya Novanto menjadi tersangka kelima dalam dugaan korupsi pengadaan KTP elektronik pada 2010-2012 di Kementerian Dalam Negeri itu. KPK menuding Ketua Umum Partai Golkar tersebut memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi dalam proyek senilai Rp 5,84 triliun tersebut.
Dua tersangka di antaranya adalah pejabat Kementerian Dalam Negeri, yakni Irman dan Sugiharto, yang telah divonis bersalah oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Tersangka ketiga adalah pengusaha Andi Agustinus alias Andi Narogong, yang acap disebut sebagai kawan dan operator Setya dalam banyak proyek negara. Sedangkan tersangka keempat Markus Nari, politikus Golkar.
Setya, melalui Andi Narogong, diduga berperan dalam perencanaan, penganggaran, dan pengadaan KTP elektronik dengan menjaga anggarannya agar cair di DPR. Waktu itu, Setya menjadi Ketua Fraksi Golkar, yang berpengaruh dalam soal dukung-mendukung anggaran ini.
Cukup lama juga Setya menimbang pengajuan gugatan praperadilan-terhitung 49 hari sejak KPK mengumumkan statusnya sebagai tersangka. Kepada kolega-koleganya, ia bahkan mengatakan tak akan menggugat praperadilan dan memilih menghadapi dakwaan KPK itu di pengadilan-ketika berkeliling menemui tokoh-tokoh senior Golkar untuk menjelaskan kasusnya.
Setya bertemu dengan Ketua Dewan Kehormatan Golkar B.J. Habibie pada 25 Juli atau sepekan setelah menjadi tersangka. Menurut Wakil Ketua Dewan Kehormatan Golkar Akbar Tandjung, yang ikut pertemuan itu, Habibie menyarankan Setya menempuh upaya praperadilan. Setya menjawab, "Saya belum ada niat untuk proses praperadilan."
Rampung di Dewan Kehormatan, Setya memenuhi undangan Dewan Pembina Golkar di Bakrie Tower, gedung milik mantan Ketua Golkar, Aburizal Bakrie. Anggota Dewan Pembina Golkar, Fahmi Idris, sempat bertanya kepada Setya apakah bakal mengajukan praperadilan. Jawaban bekas Bendahara Umum Golkar tersebut persis seperti yang disampaikan kepada Habibie. "Pak Setya mengatakan akan menghadapinya langsung ke pengadilan," ujar Fahmi.
Rupanya, alasan-alasan itu diungkapkan karena Setya belum begitu yakin praperadilan akan menguntungkannya. Ia menugasi Bidang Hukum DPP Partai Golkar mengkaji statusnya sebagai tersangka. Termasuk, kata Sekretaris Jenderal Golkar Idrus Marham, menyiapkan langkah-langkah hukum.
Idrus memberi waktu kepada DPP untuk menyiapkan bahan kajian. Bahkan, ketika dimintai konfirmasi pekan lalu, Idrus beralasan gugatan praperadilan baru diajukan karena hasil kajian tim hukum Golkar baru rampung.
Ketua Bidang Hukum Golkar Rudy Alfonso justru berbicara sebaliknya. Dia tak pernah dilibatkan dalam kajian hukum, termasuk persiapan mengajukan praperadilan. Sejak pengumuman tersangka itu, Bidang Hukum DPP Golkar tak pernah diajak berdiskusi sekali pun. Padahal tim hukum Golkar sudah menyiapkan tim advokasi. "Kami juga sudah menyiapkan surat kuasa," kata anggota Bidang Hukum Golkar, Christina Ariyani.
Sejumlah politikus Golkar menuturkan, pada awalnya, Setya menugasi Rudy Alfonso menjadi kuasa hukumnya. Namun, kata seorang politikus, Setya menganggap saran-saran Rudy akan menjerumuskannya. Misalnya, Rudy menyarankan Setya mengakui sejumlah pertemuan dengan dua bekas pejabat Kementerian Dalam Negeri, Irman dan Sugiharto, untuk mengatur anggaran e-KTP.
Setya, kata politikus ini, tidak terlalu sreg dengan saran itu. Akibatnya, hubungan Setya dengan Rudy berjarak. Padahal, sebelumnya, Rudy acap mendampingi Setya saat diperiksa KPK dalam perkara e-KTP ini. Rudy tak bersedia berbicara banyak soal keputusan Setya. "Tanya ke pengurus Golkar lain saja," ujarnya.
Politikus lain menuturkan, Rudy juga menyarankan Setya bertarung langsung di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Alasannya, kata politikus ini, Rudy khawatir Setya bakal kalah jika mengajukan gugatan praperadilan karena KPK telah menempuh prosedur penetapan tersangka dengan benar. "Saya memang menyarankan tidak ke praperadilan," ujar Rudy.
Pengacara lain yang sempat diajak berdiskusi oleh Setya adalah Firman Wijaya. Seusai pengumuman tersangka, Setya memintanya datang ke rumah dinasnya di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Setelah itu, menurut Firman, dia juga menyambangi kantor Setya di kompleks parlemen. Mereka mendiskusikan langkah hukum yang bisa ditempuh. "Saya beberapa kali memimpin rapat soal ini," tutur Firman.
Firman Wijaya sempat membuat kajian hukum mengenai penetapan Setya sebagai tersangka. Firman menyarankan Setya tak mengajukan praperadilan. Alasannya hampir sama dengan yang disampaikan Rudy, yakni prosedur KPK sulit dielakkan. Apalagi, kata Firman, pengadilan telah memvonis bersalah dua terdakwa korupsi e-KTP. "Tapi Pak Setya memilih jalan lain," ujarnya.
Ada empat pengacara yang mewakili Setya dalam menggugat ke praperadilan ini, yakni Agus Trianto, I Ketut Mulya Arsana, Amrul Khair Rusin, dan Jaka Mulyana. Sidang perdana telah digelar pada Selasa pekan lalu dan dipimpin hakim tunggal Cepi Iskandar. Namun perwakilan KPK tak hadir sehingga hakim menunda sidang ke Rabu pekan ini.
Dikejar setelah persidangan pertama, tidak banyak kata yang diucapkan para penasihat hukum Setya. Mereka memilih berlari menghindari kejaran media hingga ke luar halaman pengadilan. "Kita ikuti saja prosesnya," kata Ketut Mulya. Kepada Setya, yang dirawat di lantai 31 Rumah Sakit Siloam, Semanggi, mereka melaporkan telah menyampaikan gugatan.
Rekam jejak para kuasa hukum Setya juga tak terlalu mentereng di bidang hukum pidana. Rudy Alfonso mengatakan tak tahu prosesnya sehingga empat orang ini terpilih. "Tanya saja ke Pak Setya," ujar Rudy. Ketua Bidang Media Partai Golkar Nurul Arifin juga tak menjelaskan latar belakang empat nama ini. "Saya tidak tahu," katanya.
Agus Trianto sebelumnya lebih banyak menangani sengketa perdata dan kepailitan. Hubungan Agus dengan Setya difasilitasi Lucas, pengacara spesialis sengketa usaha. Agus pernah bersama-sama dengan firma hukum milik Lucas menjadi kurator dalam sebuah kasus kepailitan pada 2015.
Lucas dan Setya punya hubungan panjang. Ketika Setya tersandung kasus "Papa Minta Saham" dan dipecat DPR, Lucas tampil menjadi penasihat hukum untuk menangkal tuduhan bahwa Setya meminta upeti saham PT Freeport Indonesia sebagai imbalan membantu mempengaruhi pemerintah memperpanjang kontrak karya. Kini, sejumlah politikus menuturkan, Lucas juga menjadi nama yang kerap dimintai pendapat oleh Setya mengenai kasus hukumnya.
Pada hari ketika Setya ditetapkan sebagai tersangka, seorang politikus melihat Lucas hadir di kediaman Setya. Firman Wijaya dan Nurul Arifin mengatakan tak mengetahui kehadiran Lucas membantu Setya. "Bapak tidak pernah menyebut nama itu," ujar Nurul. Lucas tak bersedia menjawab pertanyaan mengenai Setya. "Saya lagi di London, nanti saja di Jakarta," katanya melalui telepon.
Setya juga menempuh upaya di luar peradilan. Misalnya menggunakan jalur politik di Senayan. Menurut seorang politikus, Setya sempat meminta Ketua Komisi Hukum DPR, yang juga politikus Golkar, Bambang Soesatyo, berbicara kepada pimpinan KPK. Permintaan ini disampaikan ketika Komisi Hukum melakukan rapat dengan KPK, Senin pekan lalu.
Setya meminta pemeriksaannya ditunda hingga ada putusan gugatan praperadilan. Bambang, kata seorang politikus, tak bersedia memenuhi permintaan Ketua Umum Golkar tersebut. Lagi pula KPK telah melayangkan panggilan kedua untuk Setya. Bambang mengatakan tak tahu ihwal permintaan Setya terkait dengan penundaan pemeriksaan. "Tidak ada seperti itu," ujarnya.
Gagal memakai Bambang, Setya menggunakan jalur pimpinan Dewan untuk melobi KPK. Kepala Biro Pimpinan DPR Hani Tahapari, yang mengantar surat Dewan ke KPK, mengaku mendengar Setya dan Wakil Ketua DPR Fadli Zon membahas surat tersebut di sela acara World Parliamentary Forum on Sustainable Development di Bali, dua pekan lalu. "Saya dipanggil Fadli untuk mengantar surat itu," tutur Hani.
Fadli mengatakan Setya mengirim surat sebagai anggota masyarakat. Karena itu, kata dia, pembuatan dan pengiriman surat itu tak perlu diputuskan melalui rapat pimpinan DPR. Dia membantah anggapan bahwa surat ini bertujuan mengintervensi penyidikan KPK. "Setya warga negara juga, tidak boleh ada diskriminasi," ujar politikus Partai Gerindra itu.
Politikus Golkar angkat bahu tentang munculnya surat Setya yang diteruskan pimpinan DPR ke KPK. "Tidak ada koordinasi, itu urusan sekretariat DPR," kata Bendahara Umum Golkar Robert Joppy Kardinal. Adapun Idrus Marham juga mengaku tak tahu-menahu soal surat tersebut. "Itu urusan internal DPR," ujarnya.
Setya tak bisa dikontak. Ia masih dirawat di rumah sakit. Tempo, yang hendak menemuinya pada Selasa pekan lalu, diusir petugas yang menjaganya di lantai 31.
Wayan Agus Purnomo, Maya Ayu P, Budiarti Utami Putri, Hussein Abri D.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo