Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pasukan Jasmev di Dunia Maya
Didukung "pasukan" awal beranggotakan 500-an orang, Kartika Djoemadi memimpin Jasmev untuk mendudukkan Jokowi di kursi presiden. Yang dilawan, antara lain, bekas sekutunya sendiri.
Mereka menamakan diri Jasmev, akronim dari Jokowi Advanced Social Media Volunteers. Bermodal ruang kerja pinjaman, komputer sewaan, juga "pasukan" gratisan alias tak dibayar seperak pun, Jasmev ikut "mendorong" Joko Widodo meluncur menduduki kursi RI-1.
Kata advanced memang menegaskan bahwa wadah relawan ini tak lahir sekadar menjelang pemilihan presiden. Menurut Kartika Djoemadi, sang koordinator, Jasmev hadir pada 2012. Saat itu, Jasmev mengkampanyekan pasangan Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dalam pemilihan Gubernur DKI Jakarta. Ditabalkan keberadaannya pada 12 Agustus 2012, Jasmev akronim dari Jokowi Ahok Social Media Volunteers. Nama Jasmev dicetuskan Sony Subrata, Presiden Direktur PoliticaWave.
"Jadi Jasmev jilid II tingkat lanjut dari Jasmev jilid I," kata Kartika saat ditemui Tempo di Warung Solo, Kemang, Jakarta Selatan, Selasa petang dua pekan lalu. Laiknya kampanye, fokus mereka mengungkap berbagai kelebihan atau nilai plus Jokowi melalui media sosial sekaligus menghantam dan meluruskan jika muncul kampanye hitam terhadap Jokowi.
Perbedaan sosok yang mereka dukung otomatis membuat karakter Jasmev berbeda. Di Jasmev jilid I, Kartika dan kawan-kawan berjuang bersama aktivis media sosial dari Partai Gerindra, tempat Ahok bernaung kala itu. Adapun di Jasmev jilid II, Kartika cs justru harus berhadap-hadapan dengan bekas sekutunya, pasukan cyber Gerindra, yang mengkampanyekan Prabowo Subianto.
Menurut perempuan 34 tahun, yang sangat antusias menekuni strategi komunikasi, "pecah kongsi" dengan sekutunya itu terasa dampaknya bagi Jasmev jilid II. Saat mengusung Jokowi-Ahok, anggotanya mencapai 10 ribu orang. Namun, ketika memperjuangkan Jokowi, anggota awalnya tinggal 500-an orang. Berkurang jauh karena Jasmev sebelumnya memang didominasi oleh "anak-anak Gerindra". Barulah, setelah berjibaku, keanggotaan Jasmev sedikit demi sedikit mulai menggelembung. Saat pemilihan presiden digelar pada Juli 2014, ada 30-an ribu orang bergabung.
Saat pemilihan presiden beberapa waktu lalu, Jasmev mendapat pinjaman war room dari Surya Paloh, Ketua Umum Partai NasDem—partai pendukung Jokowi—di kawasan Gondangdia, Jakarta Pusat. Di ruang berukuran 15 x 5 meter itu, Kartika menaruh 50 laptop dan komputer desktop sewaan lengkap dengan jaringan Internet. Saban hari, ada 150 relawan yang mengoperasikan perangkat tersebut dan mereka terbagi dalam tiga shift. Walhasil, selama 24 jam, aktivitas di war room "hidup" terus.
Di Jasmev inilah Kartika berkolaborasi dengan Hariadhi, yang berlatar belakang sebagai perencana strategis periklanan digital. Walhasil, urusan dunia digital adalah makanan sehari-hari. Begitu masuk babak debat calon presiden, menurut pria 30 tahun ini, Jasmev menghadapi pasukan kubu lawan yang kerjanya juga nyaris 24 jam. "Jumlahnya banyak sekali," ucapnya. War room, kata dia, dibutuhkan karena yang dikoordinasi Jasmev adalah relawan, bukan "anggota pasukan" profesional. Mereka datang dan membantu—dengan waktu terbatas—di sela-sela kerja atau kuliah. Jika perlawanan Jasmev dengan cara biasa, menurut Hariadhi, cloud Jokowi di media sosial pasti kalah. "War room membantu kami bergantian shift dan berbagi peran."
Di war room, para relawan diajari mengoptimalkan kekuatan. Dengan begitu, mereka bisa memanfaatkan jejaring media sosial yang ada, seperti Facebook, Instagram, dan Twitter. Daripada mencuit dengan kata-kata biasa, menyebarkan meme berdesain eye catching lengkap dengan foto, gambar, atau infografis melalui Twitter, misalnya, pasti lebih menarik untuk dilirik.
Menghadapi isi tabloid Obor Rakyat, misalnya, Jasmev melawannya dengan membuat meme bantahan. Berjudul "Obor Socmed, Retweet dan Sebarkan!", meme tersebut bergambar Jokowi berdiri di lapangan Monas dengan ribuan pendukung di belakangnya. Bantahannya, antara lain, Jokowi adalah keturunan Jawa dan ia muslim yang sudah menunaikan kelima rukun Islam, termasuk haji pada 2003. Informasi itu dipakai untuk melawan fitnah yang menuding Jokowi keturunan Cina dan beragama Kristen.
Dengan memanfaatkan jaringan pendukung yang efisien, menurut Hariadhi, dari hasil "mesin analisis", jangkauan pesan dalam meme yang disebarkan Jasmev ke publik melebihi eksemplar Obor Rakyat. Adapun Obor Rakyat, seperti penuturan pemimpin redaksinya, Setiyardi Boediono, dicetak 100 ribu eksemplar. "Seperti itulah pertempuran untuk memenangi cloud di media sosial. Adu cepat menebar pesan dan pengaruh," katanya.
Selain jejaring yang solid, kualitas konten pesan yang dilansir Jasmev merupakan kunci sehingga pesan mereka segera digandakan pengguna media sosial. Untuk mendongkrak kualitas konten itulah Jasmev rajin mengadakan workshop bagi relawannya. Selain diajari agar mampu mengemas konten dengan cerdas dan pas, mereka dilatih membuat infografis dan meme agar pesan menjadi menarik. "Di media sosial, kalau kontennya enggak menarik, orang enggak mau repost, retweet," ujar Kartika.
Salah satu figur penting dalam urusan pasokan konten untuk Jasmev adalah Shafiq Pontoh dari Provetic, perusahaan konsultan berbasis data. Anggota tim sukses Joko Widodo-Jusuf Kalla ini menyimpulkan perihal pentingnya pasokan konten untuk Jasmev setelah berdiskusi dengan Kartika dan Hariadhi.
Untuk keperluan pasokan konten, Shafiq menghubungkan kekuatan relawan yang mempunyai konten dan butuh distribusi dengan kekuatan Jasmev yang andal dalam distribusi dan butuh konten. Maka kolaborasi pun tercipta antara Jasmev dan simpul relawan pembuat konten yang bagus, seperti Generasi Optimis, Gerak Cepat, Gulung Lengan Baju, dan Efek Jokowi. "Dari situlah akhirnya saya terlibat dan berpartisipasi di Jasmev," kata Shafiq.
Konten yang dipasok beraneka ragam, dari yang menjawab berbagai fitnah dan tuduhan, sosialisasi materi program kerja, hingga materi kampanye yang bersifat hiburan. Semua disimpan dalam database dengan rapi. Untuk menjawab sebuah fitnah atau tuduhan kepada Jokowi, misalnya, mereka memiliki berbagai macam how to say. Walhasil, satu konteks bisa ada puluhan how to say, misalnya berupa poster digital, meme, infografis, artikel, berita di media online, blog, Facebook, Instagram, WhatsApp, dan Kaskus.
Dalam bekerja, relawan Jasmev dibagi dalam tiga kelompok besar, yakni suportif, defensif, dan ofensif. Suportif bersifat laiknya pusat informasi, defensif ditujukan bagi mereka yang hobinya berdebat berjam-jam, sedangkan ofensif bagi relawan yang gemar melakukan tweet war. Selain senang berdebat, kata Kartika, kelompok terakhir menyerang dengan bekal konten kampanye negatif. "Jadi ada fakta yang diolah supaya menarik," ucap alumnus Pascasarjana Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia ini. "Kalau kampanye hitam, kami hindari."
Sepanjang perhelatan pemilihan presiden, perang di media sosial begitu gegap-gempita. Kampanye hitam, juga fitnah, bolak-balik dialamatkan ke Jokowi. Di sinilah Jasmev unjuk gigi. Pada awal kampanye, menurut Hariadhi, cloud mereka kalah dibanding Prabowo. Namun, pada saat-saat akhir kampanye, percakapan mengenai Jokowi mengalami rebound. "Orang cenderung berbicara positif mengenai Jokowi," katanya.
Tentu saja bermacam tudingan untuk merongrong Jasmev mampir—termasuk sebutan sebagai pasukan bayaran Jokowi. Hariadhi, Shafiq, dan Kartika membantah semua tudingan itu. Mereka menegaskan bahwa semua yang mereka lakukan dikerjakan secara sukarela. Untuk Jasmev, Kartika—yang juga pendiri PT Spindoctors Indonesia, perusahaan di bidang lobi dan advokasi untuk kebijakan publik—mengaku mengeluarkan dana pribadi Rp 500 juta. "Lantaran basisnya relawan, enggak pakai hitung-hitungan dibayar berapa," ujar Hariadhi. "Saya mendukung Jokowi karena saya suka," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo