Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pemerintah menyiapkan sejumlah platform untuk belajar dari rumah.
Sebagian anak dan guru merasa tertekan dengan model pembelajaran jarak jauh.
KPAI mendapat 200-an laporan dari siswa dan orang tua terkait program belajar dari rumah.
PANDEMI virus corona mengubah rutinitas pagi Aurora Sang Kinanthi, siswa kelas IX Sekolah Menengah Pertama 1 Dewi Kunti, Tigaraksa, Kabupaten Tangerang, Banten. Biasanya, setelah subuh, ia bersiap ke sekolah karena mesti mengikuti Manajemen Qalbu pada pukul 6 pagi. Namun kini Aurora tak perlu rapi sejak pagi. Yang penting, kata dia, pada pukul 7 pagi ia sudah mengisi presensi dengan mengunggah foto diri sedang belajar ke grup WhatsApp kelasnya. “Walau agak malas, mau tak mau tetap harus saya lakukan,” ucapnya, Senin, 27 April lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Aurora mulai belajar dari rumah setelah Provinsi Banten menetapkan status kejadian luar biasa wabah Covid-19 pada medio Maret lalu. Pembelajaran secara tatap muka diubah menjadi virtual dengan sejumlah metode. Siswa antara lain diminta membuat ringkasan pelajaran, mengerjakan soal yang dikirimkan guru, serta membuat jurnal. Hasil tugas-tugas itu lalu difoto dan dikirimkan via WhatsApp ke guru.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lain halnya dengan Dwika Yanuarista, siswa kelas III Sekolah Dasar Negeri 2 Gatak, Delanggu, Klaten, Jawa Tengah. Selama periode belajar dari rumah, dia tak hanya mengerjakan lembar kerja siswa, tapi juga membuat video hafalan dan perbendaharaan kata untuk mata pelajaran bahasa Inggris dan pendidikan agama Islam. Dwika juga mesti menyaksikan tayangan edukasi di TVRI selama satu jam sejak pukul 09.30. Pertanyaan yang muncul pada akhir tayangan dijawab Dwika di kertas, difoto, dan dikirimkan via grup WhatsApp ke gurunya. “Di grup itu ada para orang tua murid dan guru wali kelasnya,” tutur ibu Dwika, Wening Prihatin, Rabu, 29 April lalu.
Siaran yang ditonton Dwika adalah bagian dari program Belajar dari Rumah yang diluncurkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada 13 April lalu. Program itu bisa diakses di RRI dan TVRI sejak pukul 8 pagi hingga 11 malam dengan pembagian jam tayang untuk jenjang pendidikan berbeda, dari pendidikan anak usia dini (PAUD) hingga sekolah menengah atas. Juga bagi orang tua dan guru. Tayangan ini menjadi alternatif program belajar di tengah pandemi agar anak-anak yang tidak bisa mengakses Internet tetap dapat memperoleh edukasi sesuai dengan jenjang sekolahnya.
Pemerintah menyiapkan sekitar 720 episode untuk 90 hari penayangan program Belajar dari Rumah. Pelaksana tugas Direktur Jenderal PAUD, Pendidikan Dasar, dan Menengah, Hamid Muhammad, mengatakan video yang ditayangkan adalah koleksi lama Kementerian Pendidikan. Koleksi tersebut dikurasi oleh tim kurikulum untuk disesuaikan dengan materi pembelajaran per tingkat pendidikan. “Namun Kementerian juga menyiapkan video pembelajaran baru, yang lebih berorientasi kekinian,” ujarnya melalui WhatsApp, Rabu, 29 April lalu.
Menurut Hamid, pembelajaran melalui TVRI sudah disiapkan bervariasi setiap hari. Namun materi pelajaran belum bisa memenuhi hajat setiap siswa dari beragam latar belakang sekolah dan daerah. Sejak awal, Hamid menjelaskan, program di TVRI memang tidak mengadaptasi kurikulum sekolah, tapi lebih berfokus pada literasi, numerasi, dan pendidikan karakter.
Karena itu, pemerintah juga menjalankan program pembelajaran jarak jauh lewat saluran lain, dari Internet hingga aplikasi seperti Rumah Belajar yang sudah disosialisasi kepada para guru di daerah. Beragam program itu berdampingan dengan inisiatif lain yang muncul di masyarakat, misalnya yang digalakkan kelompok di daerah lewat radio komunitas. “Program TVRI harus dilengkapi moda belajar lain baik yang bersifat daring, semi-daring, maupun manual,” kata Hamid.
Lebih dari dua pekan program berjalan, Kementerian Pendidikan mengevaluasi sejumlah kendala. Menurut Hamid, sebagian besar proses belajar tidak interaktif sehingga menyulitkan siswa dalam memahami materi ajar. Tugas-tugasnya pun terlalu memberatkan. Belum lagi suasana belajar membuat siswa merasa bosan. Sebagian besar guru juga mendapati hambatan dalam mengakses jaringan Internet sehingga susah memberikan umpan balik kepada siswa yang mengalami kesulitan belajar.
Karena itu, menurut Hamid, pihaknya membuat kebijakan bahwa proses pembelajaran jarak jauh selama masa pandemi Covid-19 tak perlu mengejar target penuntasan kurikulum. Orientasi cukup pada pendidikan kecakapan hidup para siswa karena pemerintah menyadari kondisi pandemi ini mengubah banyak pola kebiasaan siapa saja. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim pun sudah meneken Surat Edaran Nomor 4 Tahun 2020. Salah satu isinya mengimbau proses belajar di rumah tak menuntut siswa menuntaskan semua kurikulum untuk kenaikan kelas ataupun kelulusan. “Belajar dari rumah tidak mungkin dikondisikan sama dengan pembelajaran di sekolah,” tuturnya.
Psikolog Saskhya Aulia Prima mengapresiasi materi pelajaran pemerintah yang tak menekankan pada penuntasan kurikulum. Apalagi selama penerapan aturan jaga jarak banyak anak merasa tertekan. Selain mendapat tugas sekolah yang menumpuk, mereka kesal berhadapan dengan orang tua yang tak sesabar pengajar mereka di sekolah. Belum lagi banyak anak rindu pada suasana sekolah dan ingin bertemu dengan kawan-kawannya. “Rentetan ini membuat anak menjadi bingung dan akhirnya tidak termotivasi sekolah di rumah,” ucap pendiri rumah konsultasi Tiga Generasi itu.
Menurut Saskhya, bukan hanya anak yang mengalami stres menghadapi situasi belajar dari rumah. Banyak orang tua dan guru juga merasa tertekan mengatur proses pembelajaran anak. Karena itu, ia menyarankan guru juga memanfaatkan akses pendampingan psikologis selama periode pembelajaran jarak jauh. Salah satunya dari Ikatan Psikolog Klinis Jakarta, yang sudah membuka ruang telekonseling untuk para guru. “Paling tidak para guru bisa belajar cara mengatur napas, karena mereka ini berat juga bebannya,” ujarnya.
Rapat koordinasi nasional yang dihadiri perwakilan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Kementerian Agama, dan Kementerian Pendidikan pada Rabu, 29 April lalu, menetapkan sejumlah rekomendasi. Di antaranya pemerintah diminta memastikan penilaian hasil belajar untuk kenaikan kelas tahun ajaran 2019/2020 memperhatikan keberagaman kondisi siswa. KPAI juga meminta Kementerian Agama dan Kementerian Pendidikan memastikan proses pembelajaran jarak jauh nyaman dan ramah anak.
Ketua KPAI Susanto menjelaskan, rapat koordinasi digelar sebagai tindak lanjut pengaduan dan kajian atas program pembelajaran jarak jauh. Sejak program ini diterapkan, KPAI menerima 246 pengaduan dari anak ataupun wali siswa tingkat taman kanak-kanak hingga SMA. Pada saat yang sama, KPAI menggelar survei terhadap 1.700 siswa dan 575 guru yang tersebar di 54 kabupaten/kota di 20 provinsi. “Keluhannya beragam: model penugasan guru memberatkan, tidak punya biaya untuk membeli kuota Internet, dan lainnya,” katanya.
KPAI mencatat 56,9 persen responden masih belum mengetahui aplikasi Rumah Belajar garapan Kementerian Pendidikan. Sebanyak 76,6 persen responden juga tak memanfaatkan aplikasi itu untuk belajar karena tidak ditugasi oleh para guru. Ihwal umpan balik dari guru, 20,1 persen siswa mengaku tidak berinteraksi dengan guru. Adapun 73,2 persen responden merasa tugas yang diberikan guru terlalu berat. Hal itu menjadi salah satu faktor yang membuat 76,7 persen responden mengaku tidak senang belajar dari rumah.
Menurut Susanto, dalam melaksanakan pembelajaran jarak jauh (PJJ), para guru sebaiknya tidak terfokus pada pembelajaran kognitif, tapi juga menyeimbangkannya dengan aspek lain, misalnya yang berbasis pendidikan karakter. Ia mengimbau Kementerian Pendidikan dan Kementerian Agama terus mensosialisasi program Belajar dari Rumah baik yang ada di TVRI, RRI, maupun platform Rumah Belajar. “Guru juga mesti kreatif menjalankan PJJ agar anak didiknya bisa mengerjakan tugas dengan semangat,” tuturnya.
Pembelajaran jarak jauh pun memaksa para guru meningkatkan kemampuan ajar. Kepala Dinas Pendidikan Klaten Wardani Sugiyanto mengatakan, setelah ada kebijakan belajar di rumah, guru tetap masuk selama sepekan. Mereka dilatih mengoperasikan sejumlah aplikasi pembelajaran daring (online) oleh tenaga teknologi informasi sekolah masing-masing. Guru juga menyusun jadwal pembelajaran daring sebelum menerapkannya kepada para siswa.
Hamid Muhammad mengatakan pemerintah sudah berupaya mendukung guru lewat sejumlah hal. Selain menyediakan dana bantuan operasional sekolah untuk membeli kuota Internet, pemerintah membuat aplikasi Guru Berbagi. Aplikasi yang sudah diunduh lebih dari 1.000 pengguna itu menyediakan ruang bagi guru untuk berbagi tip mengajar selama masa belajar dari rumah. “Kami sudah mensosialisasi ini di rapat-rapat daring dengan dinas pendidikan dan praktisi,” katanya.
ISMA SAVITRI, DINDA LEO LISTY (KLATEN), AYU CIPTA (TANGERANG)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo