Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Covid-19 memukul sekolah mandiri untuk kelompok marginal di Yogyakarta.
Lembaga pendidikan nonformal bersiasat agar tetap eksis.
Tak banyak siswa bisa mengakses dan menyukai belajar online.
KEBUN seluas 300 meter persegi kini menjadi satu-satunya harapan Faiz Fakhruddin. Pandemi Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) telah memukul Sekolah Gajahwong, lembaga pendidikan untuk anak-anak dari keluarga miskin yang satu dekade lalu didirikannya bersama komunitas Tim Advokasi Arus Bawah (Tabah) di Kampung Ledhok Timoho, Kota Yogyakarta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rabu, 29 April lalu, bibit bayam, kangkung, kemangi, dan cabai yang ditanam delapan tenaga pengajar beberapa waktu lalu mulai menghijau. Faiz berharap hasil panen ladang itu dapat segera terjual pada Mei ini lewat Donor Sayur, program yang dibikin pada awal April lalu untuk menopang operasi Sekolah Gajahwong. “Kondisinya makin berat,” kata Faiz kepada Tempo. “Kami harus bersiasat untuk bertahan.”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kebun di pinggir Kali Gajahwong, Yogyakarta, tersebut semula hanya berfungsi sebagai media pembelajaran bagi 52 peserta didik. Mereka adalah para bocah, berusia 3-15 tahun, dari keluarga pemulung, pengamen, asisten rumah tangga, tukang parkir, pedagang asongan, dan pekerja seks. Operasi sekolah gratis ini sebelumnya ditopang oleh usaha bank sampah dan penggemukan kambing.
Namun pandemi membuat semua berantakan. Pasokan sampah mandek karena hotel, kampus, dan perkantoran berhenti beroperasi gara-gara Covid-19. Permintaan kambing pun merosot. Sore itu, kandang di sebelah kebun bayam dan kangkung tersebut masih penuh dengan kambing yang dibesarkan sejak dua bulan lalu.
Itu sebabnya Donor Sayur digulirkan. Program ini diharapkan bisa mengatasi dua persoalan sekaligus. Duit hasil penjualan untuk membiayai kelanjutan kegiatan belajar yang kini terancam karena dana operasional sekolah makin cekak. Sebagian sayuran yang dibeli oleh donor diberikan kepada keluarga para siswa yang kian terpuruk akibat pagebluk.
Tak seperti lembaga pendidikan lain yang menerapkan pembelajaran secara daring (online) selama darurat corona, Sekolah Gajahwong membuat kalender akademik baru yang mengaplikasikan kurikulum berbasis rumah. Seorang tenaga pengajar mendampingi proses belajar yang lebih menekankan pada pengasuhan orang tua. Metode “dari pintu ke pintu” dipilih karena tak semua keluarga para murid memiliki akses Internet. Kebanyakan tak punya telepon seluler.
Pembatasan kegiatan untuk mencegah penyebaran Covid-19 bahkan telah membuat bapak-ibu para siswa kehilangan mata pencarian. Chusnul Qotimah, misalnya, kini tak lagi bisa masuk ke kampung-kampung sebagai pekerja rumah tangga. Penghasilan suaminya yang bekerja serabutan menjajakan air mineral kini juga menipis. “Kami bertahan dari donasi sekolah,” ujar Chusnul. Sore itu, perempuan 30 tahun ini tampak mendampingi anaknya, Mahesa Alfiano Prasetyo, yang selama ini duduk di Kelas Akar—nama program pendidikan usia dini untuk usia 3-5 tahun di Sekolah Gajahwong.
Faiz Fakhruddin, pendiri Sekolah Gajah Wong, di kebun sayur di kampung Ledhok Timoho, Kota Yogyakarta./TEMPO/Shinta Maharani
Sekolah Gajahwong bukan satu-satunya sekolah mandiri yang kini harus memodifikasi program belajarnya di tengah pandemi. Rumah Dokumenter, lembaga yang mendidik produksi film dokumenter di Belang Wetan, Klaten, Jawa Tengah, juga sedang giat-giatnya membuat konten belajar di akun Instagram dan YouTube sebagai ruang belajar alternatif bagi siapa pun. Tonny Trimarsanto, pendiri Rumah Dokumenter, mengatakan telah memberlakukan kebijakan bekerja dari rumah sejak awal Covid-19 terdeteksi masuk ke Indonesia. Kegiatan praktik kerja industri dan magang disetop.
Tapi Tonny, sineas pemenang Piala Citra kategori film dokumenter panjang terbaik dalam Festival Film Indonesia 2017, terus memikirkan cara agar dapat menularkan ilmu. Diskusi dan tanya-jawab di grup percakapan WhatsApp kini dilengkapi konten tutorial dan hasil karya Rumah Dokumenter di akun @rumahdokumenterklaten, yang rutin mem-posting infografis seputar dasar-dasar pembuatan film. “Biasanya film-film karya Rumah Dokumenter hanya diputar di ruang kuliah,” ucap Tonny, yang kerap menjadi dosen tamu di beberapa perguruan tinggi di Yogyakarta dan Surakarta.
Sebelum pandemi, Rumah Dokumenter yang bertempat di kediaman Tonny selalu ramai peminat. Lembaga ini menjadi favorit siswa sekolah menengah kejuruan dan mahasiswa dari berbagai daerah yang menjalani praktik kerja. Tonny pun menyediakan ruang menginap bagi pelajar yang berasal dari luar kota. “Gratis,” kata periset materi visual dan penata artistik sejumlah film layar lebar besutan sutradara Garin Nugroho pada 1992-2000 itu.
Selasa siang, 28 April lalu, Tonny sedang menyiapkan materi untuk siaran langsung di akun Instagram @rumahdokumenterklaten pada pukul 20.00-21.00. Ini adalah program ketiga setelah program Belajar Bersama Maestro pada 28 Maret lalu. Diskusi daring selama satu jam dengan narasumber Didik Nini Thowok itu diikuti 161 penonton dari berbagai daerah.
Di Kabupaten Klaten juga Lusiana Sari Rahayu terpaksa menyetop kegiatan les privat bahasa Inggris bertajuk English Weekend Club yang baru dirintisnya pada Desember 2019. Program pendidikan interaktif berbahasa Inggris untuk siswa sekolah dasar, sekolah menengah pertama, dan sekolah menengah atas di Lokal Space Education, Klaten, ini kehilangan murid sejak pemerintah menerapkan kebijakan jaga jarak.
Selama ini, satu kelas Lusiana maksimal diisi tujuh murid dengan biaya Rp 35 ribu untuk sesi satu jam belajar. Dengan begitu, ia berharap materi yang disampaikan bisa mudah diserap. Para siswa pun tidak malu untuk lebih interaktif. “Tinggal empat anak yang masih les seperti biasa (bertatap muka). Lima lainnya melanjutkan dengan metode online,” ujar mahasiswi program Magister Pendidikan Bahasa Inggris di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, ini, Senin, 27 April lalu.
Belakangan, Lusi justru mendapat inspirasi dari kebiasaan baru mengajar via aplikasi Zoom. Ia berencana membuat program les percakapan alias conversation. Sejauh ini pembelajaran online menjadi alternatif solusi. Namun bukan berarti semuanya berjalan mulus. Sebagian siswa mengeluhkan sinyal operator seluler yang lemot.
Upaya banting setir juga ditempuh sejumlah lembaga bimbingan belajar. Ganesha Operation di Bandung sejak awal telah mengantisipasi dengan menyiapkan materi pembelajaran online dan offline. “Bedanya, dulu hanya sebagai pelengkap, kini menjadi menu utama,” kata pendiri dan Direktur Utama Ganesha Operation, Bob Foster, Senin, 27 April lalu.
Tapi keniscayaan harus dihadapi Ganesha Operation. “Kami menyurvei siswa, sekitar 65 persen lebih senang belajar tatap muka,” ucap Bob. Padahal, menurut dia, Ganesha Operation telah memasang tarif murah untuk pembelajaran daring, yakni Rp 1,25 juta setahun, dengan peluang potongan harga hingga menjadi Rp 750 ribu—bandingkan dengan tarif bimbingan belajar tatap muka yang mencapai Rp 6-7 juta setahun.
Sony Sugema College bernasib serupa. Lembaga bimbingan belajar yang juga berbasis di Bandung ini mengaktifkan pembelajaran live streaming. Kebetulan aplikasi itu dimiliki sejak 2011. Tapi jumlah pendaftarnya menyusut hingga 60 persen. Dari sisi omzet, penurunan malah mencapai 90 persen untuk bimbingan intensif masuk perguruan tinggi negeri. Padahal periode menjelang perpindahan jenjang pendidikan ini semestinya menjadi musim panen bagi lembaga bimbingan belajar.
Menurut Manajer Public Relation & Marketing Sony Sugema College Harry Setiady, daya tahan untuk beroperasi kira-kira sampai Mei ini. “Jika pemerintah memperpanjang masa belajar di rumah hingga akhir 2020, kondisi akan makin berat,” ujarnya.
RETNO SULISTYOWATI, SHINTA MAHARANI (YOGYAKARTA), DINDA LEO LISTY (KLATEN), ANWAR SISWADI (BANDUNG)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo