Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Nasib bangunan tua dan bersejarah di Jakarta tak semuanya manis. Kondisi mereka sangat bergantung pada status kepemilikannya. Ada bangunan yang cukup terawat dan ada yang tidak. "Ada yang bagus sekali seperti Museum Nasional, Museum Bank Mandiri, dan Museum Bank Indonesia," ujar pendiri komunitas Sahabat Museum, Ade Purnama.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ade dan komunitasnya kerap berkeliling melihat sejumlah bangunan tua di berbagai tempat, termasuk di Jakarta. Kadang-kadang ia melihat bangunan yang sudah menjadi cagar budaya, tapi kurang terawat atau tidak prima. Ia mengusulkan agar pengelola bangunan bersejarah membuat acara secara berkala untuk menarik perhatian pengunjung. "Bisa festival atau hal lainnya," ujarnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut dia, mempromosikan bangunan bersejarah kepada masyarakat bisa dilakukan dengan sederhana. Misalnya, mengenang latar belakang riwayat gedung tersebut serta hubungan bangunan dengan daerah di sekitarnya. "Sampaikan saja riwayat masa lalunya seperti apa lewat mading atau buat semacam pojok museum."
Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI Jakarta, Edy Junaedi, tak menampik ada bangunan tua dan cagar budaya yang kondisinya tak terawat, rusak, bahkan ditelantarkan pemiliknya. Tapi dia mengatakan secara umum kondisi bangunan cagar budaya di DKI masih terawat.
"Kami melalui Bidang Nilai Budaya rutin melakukan pengawasan dua kali seminggu ke bangunan cagar budaya di Provinsi DKI," kata dia dalam keterangan tertulis kepada Tempo, Jumat lalu.
Ia menjelaskan, di Jakarta terdapat 216 cagar budaya. Selain itu, Dinas Pariwisata DKI juga sudah menerima pendaftaran bangunan atau benda yang berpotensi menjadi cagar budaya atau diperlakukan sebagai cagar budaya sebanyak 600. Memang, masyarakat dan berbagai pihak bisa mengusulkan bangunan bersejarah menjadi cagar budaya dengan melengkapi sejumlah syarat, antara lain telah berusia lebih dari 50 tahun.
Edy menambahkan, pihaknya sudah melakukan konservasi 10 bangunan di kawasan Kota Tua. Mereka juga melakukan sosialisasi kepada pemilik atau pengelola benda cagar budaya di Jakarta soal cara melakukan pelestarian. Mereka pun mendekati pemilik bangunan itu agar mengikuti aturan serta ketentuan Undang-Undang Cagar Budaya dan Peraturan Daerah soal Cagar Budaya.
Dinas, kata Edy, juga memberikan dana hibah dan bantuan sosial kepada pengelola cagar budaya untuk perawatan bahkan pemugaran. Memang, menurut Kepala Seksi Cagar Budaya Dinas Pariwisata DKI, Iyan Iskandar, tidak ada dana perawatan secara berkala dari pemerintah daerah. "Kalau perintilan kecil, kami enggak ada anggaran ke situ. Tapi, kalau untuk bangunan cagar budaya milik kami (Pemprov DKI), ada," ucap Iyan.
Demi membuat bangunan-bangunan itu tidak sepi sendiri dan merana, pemerintah DKI tak lupa melakukan aneka promosi. Hal itu dilakukan melalui media sosial hingga pameran di dalam dan luar negeri. Mereka juga mencetak leaflet dan booklet tentang perlindungan, pengembangan, dan pemanfaatan cagar budaya untuk kunjungan pariwisata. Upaya lainnya adalah mempermudah akses transportasi ke lokasi cagar budaya dan memberikan pelayanan pemandu hingga menyelenggarakan aneka acara seni dan budaya Betawi di sana.
Sejarawan dari Universitas Indonesia, Bondan Kanumoyoso, mengatakan harus ada perubahan paradigma dalam memandang bangunan tua bersejarah. Ia menjelaskan, saat ini cara pandang yang digunakan masih sebagai peninggalan masa lampau, bukan sebagai aset. Padahal dia melihat bangunan tua bersejarah bisa membiayai dirinya sendiri.
Bondan menuturkan, bangunan-bangunan tua itu bisa difungsikan sesuai dengan kondisi masa kini. Misalnya dijadikan hotel tapi tanpa mengubah arsitektur dan nilai sejarah yang dikandungnya. Dengan begitu, Bondan berujar, masyarakat akan lebih bisa menikmati bangunan tersebut. "Bangunan itu merupakan bagian hidup kita juga di masa mendatang. Terintegrasi ke kehidupan sehari-hari."
Bagi Bondan, status cagar budaya bukanlah beban, malah justru bisa meningkatkan nilai bangunannya. Jadi, difungsikan sebagai apa pun akan terdapat nilai lain di luar nilai ekonominya, yakni dalam bentuk nilai sejarah, budaya, dan arsitektur. Ia melihat sejumlah bangunan bersejarah di Kota Tua dibiarkan kosong melompong begitu saja. "Yang ada fungsinya hanya Museum Fatahillah. Lainnya kosong melompong. Didiamkan saja."
Bondan memberikan saran, sebelum promosi sebagai tempat wisata dilontarkan, perlu dilakukan program konservasi terhadap bangunan tua bersejarah di Jakarta. Jika belum dilakukan konservasi, hal tersebut dikhawatirkan akan membuat wisatawan enggan kembali berkunjung. "Bangunan indah itu enggak perlu strategi macam-macam."
Menurut Bondan, masyarakat tak hanya mencari keindahan alam dalam melakukan perjalanan wisata, tapi juga pengalaman budaya serta kesejarahan, sehingga kota seperti Jakarta memiliki potensi yang amat besar. "Jakarta paling kuat (potensinya) selain Yogyakarta, Semarang, dan Medan." DIKO OKTARA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo