Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Agar Rendang Merambah Jiran

Pemerintah Kota Payakumbuh mendorong usaha kecil dan mikro warganya dengan mempermudah proses perizinan. Terbentur infrastruktur lahan.

24 November 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TAK sampai dua puluh menit, Indra selesai mengurus perpanjangan izin usahanya di kantor Badan Penanaman Modal Daerah dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Kota Payakumbuh. Konsultan bangunan pada Balai Jaring Air Terbit Payakumbuh Timur itu hanya perlu mengeluarkan duit Rp 20 ribu untuk semua biaya administrasinya. "Ini hari terakhir. Untung prosesnya cepat," katanya sumringah, akhir Oktober lalu.

Ini untuk kedua kalinya Indra memperpanjang izin bisnis konsultan perseorangan. Pada 2008, pria 35 tahun ini harus menunggu hingga sebulan sampai surat izin dari pemerintah kota keluar. Itu pun dia harus mengeluarkan biaya ekstra Rp 200 ribu untuk "menyumpal" petugas. Karena tak ada tarif resmi dan biaya tetap untuk mendapat izin, selembar kertas penting itu menjadi "bisnis terselubung" petugas pemerintahan.

Mengurus izin usaha dengan cepat dan murah baru terjadi pada 2011. Saat itu Payakumbuh dipimpin Wali Kota Josrizal Zain. Josrizal mematuhi Peraturan Presiden Nomor 27 Tahun 2009 tentang Pelayanan Terpadu Satu Pintu di bidang penanaman modal dengan mendelegasikan kewenangannya memberi izin kepada Badan Penanaman Modal Daerah. "Respons masyarakat bagus dengan banyak yang mendaftar," katanya pekan lalu.

Kebijakan "sederhana" ini lumayan jitu mendorong laju ekonomi. Pada 2010, pertumbuhan ekonomi Payakumbuh 6,38 persen, sedangkan di akhir 2011 naik menjadi 6,79 persen—tertinggi di seluruh Sumatera Barat ketika itu. Dengan banyaknya izin usaha yang terdaftar, gerak ekonomi pun tercatat sehingga pertumbuhan juga terkerek.

Wali Kota Reza Falepi, yang menjabat sejak 23 September 2013, meneruskan apa yang sudah dirintis Josrizal. Dengan tarif pasti dan murah seperti dibayar oleh Indra, kian banyak pengusaha kecil dan rumahan yang mendaftarkan bisnisnya. Pada tahun pertama Reza menjabat, jumlah permohonan izin usaha baru dan perpanjangan naik dua kali lipat dibanding tahun sebelumnya.

Menurut Reza, pertumbuhan ekonomi yang naik itu lantaran penataan administrasi perizinan lebih rapi, pasti, dan murah. Badan Penanaman Modal mencatat, pada 2013, nilai investasi di Payakumbuh Rp 207 miliar dengan jenis usaha kecil dan mikro. "Nilai investasi kami kecil, tapi bukan berarti kami tak bisa menyusul daerah lain yang investasinya lebih besar," kata Reza.

Payakumbuh sebenarnya memiliki potensi menampung usaha besar. Namun ada kendala pada infrastruktur dan akses. Dari sisi geografis, letaknya juga merupakan peluang bisnis yang bagus. Terletak "di tengah", sebagai penghubung Padang, ibu kota Sumatera Barat, dengan Bukittinggi, yang dikenal sebagai kota pariwisata.

Sebagai kota jalur perdagangan dari Sumatera Barat ke Riau dan sebaliknya, kota ini disinggahi banyak orang—meski sekadar transit. Pasar-pasar tradisional buka sepanjang hari di kota berpenduduk sekitar 116 ribu orang ini. Transaksi ekonomi tak pernah berhenti. "Kami hitung perputaran uang di pasar mencapai Rp 3 miliar sehari," kata Riza.

Riza sudah menyusun rencana pembangunan ekonomi hingga 2025. Tiga sektor yang akan ia kembangkan: pengolahan daging, cokelat, dan pakan ternak. Izin pengolahan daging menjadi rendang kering belakangan marak di sana sehingga pemerintah kota pun membuat "Kampung Rendang" di sepanjang Jalan Tan Malaka, salah satu jalan paling ramai di kota ini. Di jalan itu ada sekitar 20 gerai rendang.

Sebelumnya, pengolahan daging menjadi rendang hanya berkembang sebagai usaha rumahan. Belakangan pemerintah kota lalu mendorong para pemiliknya mendaftarkan izin usaha dengan membentuk badan usaha. Lalu pelatihan pun diadakan. Hasilnya, omzet bisnis rendang, makanan khas Sumatera Barat yang sedap itu, rata-rata naik sembilan kali lipat.

Salah satu yang terkenal adalah gerai Dapoer Rendang Riri milik Haris Boediman. Memulai usaha pada 2002, awalnya omzet rendang Haris hanya Rp 500 ribu per hari. Namun setelah mengikuti saran pemerintah—membentuk badan usaha dan mendaftarkan izin usaha—pendapatan Haris naik Rp 4,5 juta sehari. "Saya kini tengah mengikuti pelatihan Standar Nasional Indonesia dan didampingi konsultan untuk meluaskan pasar," katanya.

Permintaan rendang kering ke Dapoer Riri dan depot-depot lain tak hanya datang dari Payakumbuh atau kota-kota sekitarnya. Permintaan juga datang dari Singapura. Menurut Riza, total permintaan rendang kering dari kota singa itu sebenarnya mencapai satu kontainer sepekan. "Tapi sekarang belum bisa kami penuhi," katanya. Menurut dia, tak adanya standar ekspor membuat rendang Payakumbuh sulit menjangkau pasar jiran dalam jumlah banyak.

Selain rendang, pengolahan biji kakao dikembangkan di Payakumbuh sejak 2012. Dengan 6.000 petani cokelat, kota ini memasok 15 ribu ton ke Kabupaten Lima Puluh Kota, Tanah Datar, dan Bukittinggi per tahun. Yang diekspor sampai kini masih berupa cokelat mentah.

Tahun lalu bantuan datang dari Kementerian Pertanian. Kementerian memberi sumbangan Rp 200 juta untuk pembangunan pabrik penggerus cokelat dengan skala produksi 150 kilogram sehari. "Dengan menjual bubuk, nilainya bertambah 30 persen," kata Riza. Riza kini sedang berancang-ancang memperbesar skala pabrik agar bisa berproduksi satu ton per hari dengan cara memberi mesin senilai Rp 2 miliar.

Dengan kapasitas yang terhitung masih sedikit, bubuk cokelat Payakumbuh selama ini telah diekspor ke banyak kota: Bandung, Riau, Jakarta, hingga Bali, sebagai bahan baku minuman hingga lulur. Riza berharap ada pengusaha yang mau menanamkan uangnya dalam bisnis pengolahan cokelat di daerahnya agar kapasitas produksi bubuk naik lagi.

Menurut Ketua Kamar Dagang dan Industri Lima Puluh Kota Wahyudi Thamrin, Payakumbuh sebenarnya diminati investor. Apalagi daerah penyangga di sekitarnya turut berperan pada perkembangan kota ini. Hanya, "Kendalanya infrastruktur," katanya. Semestinya, menurut Wahyudi, sebagai jalur transit, Payakumbuh punya hotel agar para pengusaha bisa lebih intens mengamati dan mempelajari peluang bisnis yang ada di kota ini. Masalahnya, penyediaan lahan yang sulit dan rumit membuat pembangunan hotel berbintang tak kunjung terwujud.

Wahyudi mengaku memiliki pengalaman soal ini ketika hendak membangun stasiun pengisian bahan bakar LPG. Dengan telah mengantongi izin yang sangat mudah, murah, dan cepat, ia bersiap membangun stasiun dengan nilai investasi Rp 5 miliar. Masalahnya, ia kesulitan mendapat lahan karena ribetnya proses jual-beli atau sewa. "Jika mendapat lahan gampang, dari dulu Payakumbuh sudah membangun macam-macam," katanya.


Potensi Daerah
Kota Payakumbuh
Luas: 80,43 km2
Letak: 514 meter di atas permukaan laut
Suhu rata-rata: 26° Celsius
Populasi: 116.910 jiwa (2010)

Perizinan:

  • 2011: 1.085 izin
  • 2012: 3.229 izin
  • 2013: 3.056 izin
  • 2014: 1.970 izin (semester I)

    Sumber: BPMD-PTSP Kota Payakumbuh


    Riza Falepi, Wali Kota Payakumbuh:
    Kami Maju, Tapi Belum Lompat

    MEMIMPIN kota yang jauh dari pelabuhan dan bandar udara membuat Riza Falepi harus putar otak agar investor bersedia menanam modal. Sektor andalannya adalah pangan karena Payakumbuh memasok sebagian besar bahan baku makanan di Sumatera Barat. "Harus pelan-pelan dengan membuat banyak terobosan," kata Riza kepada Tempo, yang menemuinya di kantor wali kota pada akhir Oktober lalu.

    Kapan perizinan satu pintu mulai diterapkan?

    Sewaktu saya jadi wali kota pada 23 September 2013, sistemnya sudah jalan, saya tinggal melanjutkan dan mengembangkannya. Kami tidak menyangka mendapat penghargaan investasi dari pemerintah pusat. Apalah jumlah investasi kami ini dibanding daerah-daerah di Jawa? Ternyata kami dinilai dari sistem, keramahan, dan hal lainnya.

    Apa yang berbeda sebelum dan sesudah perizinan satu pintu diberlakukan?

    Pada 2012, permohonan izin yang masuk meningkat hingga 200 persen dan semuanya bisa diselesaikan dalam hitungan hari. Sebanyak 75 izin saya limpahkan langsung, wali kota tidak perlu mengurus perizinan. Nanti izin usaha kecil-menengah dan mikro cukup dikeluarkan di kecamatan dengan hanya satu lembar izin. Kami sedang menyiapkan perangkatnya.

    Apa keistimewaan Payakumbuh sehingga pengusaha mau berinvestasi?

    Kami ini wilayah transit, lalu-lalang orang cukup padat. Pasar ramai hampir 24 jam. Potensi kami tidak bisa lepas dari daerah sekitar untuk menunjang, seperti Kabupaten Lima Puluh Kota. Ada beberapa sektor yang kami coba jadikan unggulan dan fokus untuk beberapa tahun ke depan, seperti industri pakan ternak, industri pengolahan makanan, dan industri cokelat. Agroindustri juga sedang kami jajal dengan berfokus di sayur-mayur.

    Kelihatannya lebih banyak di sektor pangan….

    Karena hampir 70 persen makanan di Sumatera Barat bahan bakunya dipasok dari Payakumbuh. Cokelat, misalnya. Kami penghasil cokelat yang kualitasnya diakui dunia, tapi selama ini hanya memasok bijinya. Kami tengah berupaya meningkatkan dengan mendorong usaha bubuk cokelat. Dengan bisnis pengolahan, ada nilai tambah 30 persen daripada sekadar menjual biji.

    Selain pangan, apa yang sedang dikembangkan?

    Infrastruktur dan sarana publik. Tapi anggaran terbatas. Kami sedang menyiapkan skema investasi agar investasi bisa dibangun swasta tapi tetap terpantau pemerintah. Caranya dengan menerbitkan surat berharga.

    Seperti apa?

    Obligasi. Tepatnya revenue bond. Di Payakumbuh, hal ini sebuah terobosan. Jika tak begitu, kota ini akan begini terus hingga puluhan tahun. Misalnya, saya siapkan perusahaan daerah untuk membangun rumah sakit, swasta bisa masuk untuk investasi. Selama modal belum kembali, perusahaan akan dijalankan oleh investor ini, tapi tetap dipantau pemerintah.

    Kenapa mesti obligasi?

    Sebagai jembatan saja. Menerbitkan obligasi biasa proses perizinannya panjang, belum lagi masalah pemeringkatan. Investor juga masih mempertanyakan apakah pengembalian utang saat jatuh tempo dengan tenor tertentu sesuai dengan nilai yang mereka harapkan. Karena itu, kami akan mencobanya di proyek-proyek kecil. Jika berhasil, meningkat ke proyek besar.

    Apa hambatan yang paling banyak dikeluhkan investor?

    Akses dan infrastruktur. Payakumbuh jauh dari bandara ataupun pelabuhan. Perlu ada pembangunan konektivitas. Kami pernah mengusulkan pembangunan bandara di sini. Saya paham itu terlalu rumit. Kami mau maju, tapi belum bisa lompat. Jadi harus pelan-pelan sambil membuat beberapa terobosan.

    Riza Falepi
    Tempat dan tanggal lahir: Payakumbuh, 17 Juni 1970

    Pendidikan:
    - Sarjana Teknik Elektro Institut Teknologi Bandung
    - Magister Tekno Ekonomi Institut Teknologi Bandung

    Karier:
    - Anggota DPD RI dari Sumatera Barat (2009-2014)

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus