Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tempo dan media independen Taiwan, The Reporter, menginvestigasi praktek perdagangan manusia dan perbudakan puluhan ribu anak buah kapal asal Indonesia di atas kapal ikan Taiwan yang beroperasi di perairan lepas. Lantaran dokumen lancung, para pelaut itu tak dicatat sebagai tenaga kerja migran oleh pemerintah Indonesia dan Taiwan. Mereka rentan mendapat perlakuan buruk: dari disiksa hingga pulang tinggal nama.
Liputan ini terselenggara berkat kerja sama Tempo, Tempo Institute, dan Free Press Unlimited.
TIGA rekaman video diperlihatkan Mualip kepada Setiawan beberapa hari sebelum keluarga menerima jasad Supriyanto pada 27 September 2015. Terperenyak dengan rekaman dalam telepon seluler itu, Setiawan meminta Mualip merahasiakannya. "Saya khawatir video itu membuat saudara-saudara saya marah, padahal jenazah Supriyanto belum datang," kata Setiawan pada awal Desember setahun kemudian.
Sebulan sebelumnya, pada 25 Agustus, Setiawan mendapat kabar dari PT Jangkar Jaya Samudera bahwa sepupunya itu meninggal di tengah Samudra Pasifik. PT Jangkar adalah agen yang memberangkatkan Supriyanto dari kampungnya di Tegal, Jawa Tengah, untuk bekerja sebagai awak kapal Fu Tzu Chun, kapal penangkap ikan berbendera Taiwan yang beroperasi di laut lepas. Menurut si pembawa kabar, Supriyanto jatuh sakit sebelum meninggal.
Dalam video pertama yang diambil pada 21 Juli 2015, sekujur wajah Supriyanto tampak bengkak. Darah kering masih menempel di bawah hidung pria yang lahir pada 1969 itu. Luka juga menganga di kepalanya. Mualip merekam kondisi Supriyanto yang babak-belur dengan kamera di ponselnya. Sambil terus merekam, Mualip bertanya kepada Supriyanto.
"Siapa yang menghajarmu? Namanya siapa? Bilang saja," kata Mualip dalam bahasa Jawa logat Tegal. "Engine," ujar Supriyanto. Maksudnya, kepala teknisi.
"Siapa lagi? Orang kita yang ikut menghajar?"
"Agus..., Munawir."
"Kaptennya ikut menghajar?"
"Kaptennya ikut menghajar. Pokoknya menganiaya."
Video sepanjang 1 menit 51 detik itu diambil pada hari ke-70 mereka berada di laut. Kapal Fu Tzu Chun bertolak dari pelabuhan Pingtung, sekitar 370 kilometer di selatan Taipei, pada 12 Mei 2015. Anak buah kapal yang semuanya berasal dari Indonesia tiba di Taipei enam hari sebelumnya. Selain Supriyanto dan Mualip, ada Agus Setiawan, Munawir Sazali, Sukhirin, Slamet, Dulyaman, Dian Rozikin, dan Urip Muslikhin. Fu Tzu Chun dinakhodai kapten Chen Kai Chi, yang juga pemilik kapal tersebut. Kepala teknisinya Chen Jin Biao, yang disebut Supriyanto pertama menghajarnya.
Video kedua dan ketiga memperlihatkan kondisi Supriyanto yang memburuk. Dalam video ketiga yang diambil pada 25 Agustus 2015, Supriyanto tampak terbaring dengan tubuh yang telah menyusut. Tulang-tulang tinggal dibalut kulit. Napasnya tersengal-sengal. Pada hari itulah di tengah Samudra Pasifik, ratusan kilometer di selatan Mikronesia, Supriyanto mengembuskan napas terakhir.
Menurut Setiawan, selain memperlihatkan video, Mualip bercerita bahwa Supriyanto meninggal setelah berulang kali dianiaya. Dua awak Indonesia yang ikut memukuli, Agus Setiawan dan Munawir Sazali, hanya menjalankan perintah kapten. "Sejahat-jahatnya orang sini, sama orang sendiri tak akan setega itu kecuali disuruh kapten," kata Setiawan.
Ayah kapten Chen Kai Chi, Chen Jin Te, membantah tudingan bahwa anaknya ikut menganiaya Supriyanto. "Hanya ada dua orang Taiwan di atas kapal," ujarnya. "Mustahil kapten menganiaya dengan risiko dia bisa dibunuh anak buah kapal."
Tak lama setelah menyerahkan video, kata Setiawan, Mualip berlayar lagi. Demikian juga bekas awak Fu Tzu Chun lainnya. Setelah kapal kembali ke pelabuhan Pingtung pada 11 September 2015, para kru yang sebagian berasal dari Tegal dan Pemalang itu sempat pulang kampung sebelum naik kapal lagi. Hanya Urip Muslikhin yang tak turut serta. Urip dilaporkan hilang di laut setelah jatuh dari geladak Fu Tzu Chun pada 26 Juli 2015-sebulan sebelum Supriyanto meninggal.
l l l
SEPERTI Supriyanto, awak kapal Taiwan yang beroperasi di lautan lepas-perairan di luar teritorial Taiwan-umumnya mengalami perlakuan buruk. Pada November hingga Desember lalu, Tempo mewawancarai puluhan pelaut yang tersebar di Tegal, Pemalang, Cilacap, dan Jakarta serta di tiga kota di Taiwan: Taipei, Keelung, dan Kaohsiung. Cerita mereka boleh dibilang seragam.
Mereka bekerja bisa lebih dari 20 jam sehari dengan pembagian kira-kira: 10 jam lempar pancing dan 2 jam istirahat, 10 jam gulung pancing dan 2 jam istirahat. Tidur pun di ruangan pengap di dalam lambung kapal dengan alas seadanya. Bila ikan sedang ramai, mereka bisa tak tidur seharian. Di luar itu, mereka harus menyelam tanpa dibekali tabung oksigen saat membersihkan baling-baling kapal. "Sepekan bisa tiga kali, tak peduli siang atau malam," kata Rizky Oktaviana, awak Homsang 26, kapal Taiwan yang beroperasi di perairan Afrika bagian selatan pada 2012-2013.
Bila lelet, mereka dijejerkan. Lalu kapten mendaratkan bogem di wajah mereka. "Yang lebih buruk, awak yang kerjanya lambat diikat, lalu disetrum," kata Eko Prasetyo, pemuda Tegal yang turun dari kapal pada Juli tahun lalu setelah dua tahun berada di laut.
Menurut sejumlah pelaut, hasil tangkapan langsung disimpan di ruang pembeku. Mereka hanya diizinkan memakan ikan reject alias ikan rusak, yang rompal karena dipagut ikan lebih besar. Lebih sering mereka melahap nasi yang dimasak bersama kacang ijo dalam satu panci tanpa lauk. Biskuit hanya dicicipi sekali dalam pelayaran: saat Imlek.
Sejumlah pelaut menuturkan, air tawar pun susah mereka dapatkan. Persediaan air bersih hanya untuk kapten. Mereka mengakalinya dengan "memasak" bunga es dari ruang pembeku ikan.
Perlakuan buruk itulah yang menyebabkan Visa Susanto, juga pelaut Tegal, gelap mata. Pada pertengahan Juli 2013, pria kelahiran 1988 itu mengajak delapan kawannya sesama pelaut Indonesia membunuh kapten kapal Te Hung Hsing 368, Chen Te Sheng, dan kepala teknisinya, Ho Chang Lin.
Menurut adik Visa, Nova Karolina, abangnya tepergok sedang memasak. Visa membuat makanan bagi dia dan awak kapal karena mereka kelaparan. Selama beberapa hari kapten tak memberi jatah makan yang cukup. Mendapati Visa memasak diam-diam, kapten murka, lalu memukul. "Visa membalas," kata Nova. Dikuasai amarah, Visa dan kawan-kawan membuang kapten yang tersungkur, bersama kepala teknisi, ke laut.
Pada Februari 2014, Visa dihukum 28 tahun penjara. Tujuh kawannya divonis 3 bulan hingga 22 tahun. Seorang lagi, Imam Setiawan, dibebaskan karena tak terlibat. Kini Imam sudah berlayar lagi.
Dalam catatan Kementerian Perikanan Taiwan, ada 23 kasus pembunuhan terhadap kapten atau awak Taiwan oleh anak buah kapal atau ABK asing dalam sepuluh tahun terakhir. Lima belas di antaranya melibatkan pelaut Indonesia, termasuk oleh Visa Susanto dkk.
l l l
SUPRIYANTO tiba di Taiwan pada 6 Mei 2015 dengan visa pendatang yang berlaku selama tujuh hari. Dianggap hanya tinggal sementara, ia tak tercatat sebagai ABK Indonesia yang resmi bekerja di Taiwan. Status ilegal ini pula yang disandang Visa Susanto dan para pelaut Indonesia lain di kapal Taiwan yang beroperasi di perairan lepas.
Data mereka pun tak terekam dalam daftar tenaga kerja Indonesia di luar negeri. Dari 243 ribu tenaga kerja resmi asal Indonesia di Taiwan, yang tercatat bekerja sebagai pelaut hanya 8.000-9.000 orang. Dalam "kamus" pelaut, awak kapal jenis ini disebut sebagai "ABK lokal". Sedangkan pelaut seperti Supriyanto atau Visa Susanto disebut "ABK LG". LG kependekan dari letter of guarantee.
ABK yang bekerja di luar negeri seharusnya memiliki visa kerja, buku pelaut, dan keterampilan melaut. Mereka juga mesti diberangkatkan oleh agen resmi yang memiliki surat izin usaha perekrutan dan penempatan awak kapal (SIUPPAK). Tapi kebanyakan ABK LG meneken kontrak dengan perusahaan tak berizin dan tak mengikuti pelatihan. Supriyanto dan Visa berlayar ke berbagai samudra hanya berbekal surat jaminan dari agen perekrut di Taiwan. Bahkan buku pelaut mereka pun palsu.
Karena ilegal, tak ada yang tahu persis jumlah ABK LG. Sebagaimana otoritas Taiwan, Kantor Dagang dan Ekonomi Indonesia di Taipei tak memiliki catatan. Kementerian Luar Negeri RI cuma punya data, tiap tahun di Cape Town ada sekitar 7.000 pelaut Indonesia turun dari kapal Taiwan. Di Mauritius, pulau di tengah Samudra Hindia, ada 5.000. Itu baru dari dua pelabuhan. "Totalnya diperkirakan di atas 40 ribu orang," kata Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia dan Bantuan Hukum Kementerian Luar Negeri, Lalu Muhammad Iqbal.
Iqbal memperkirakan angka 40 ribu itu setara dengan 80 persen dari semua ABK LG asal Indonesia. Sebanyak 20 persen sisanya bekerja di kapal Cina, Thailand, dan negara lain.
Di Taiwan, karena tak tercatat sebagai pelaut resmi, para ABK LG tak terpayungi undang-undang tenaga kerja. Mereka tak mendapatkan asuransi kesehatan dan kartu identitas bagi warga asing. Gajinya pun rata-rata hanya setengah dari gaji ABK lokal, yang per bulannya mencapai NT$ 19 ribu atau hampir Rp 8 juta.
ABK yang menempuh jalur ilegal cenderung lemah berhadapan dengan agen. Mereka menerima begitu saja perlakuan buruk agen. Supriyanto, dalam kontrak kerja dengan PT Jangkar Jaya Samudera, perusahaan pengirim yang berkantor di Pemalang, kota sebelah Tegal, dijanjikan menerima US$ 350 (sekitar Rp 4,7 juta) per bulan. Namun yang dia kantongi pada bulan-bulan awal tak sebanyak itu.
PT Jangkar Jaya Samudera ternyata membuat perjanjian dengan Jin Hong Company, agen Taiwan, untuk memotong gaji Supriyanto US$ 100 selama sembilan bulan. Gaji yang ditahan itu akan diserahkan begitu masa kerja Supriyanto selama 24 bulan rampung. Alasannya, agar ABK tak melarikan diri.
Gaji Supriyanto juga dipotong PT Jangkar sebanyak US$ 470, dalam empat bulan. Alasannya untuk mengganti biaya keberangkatan. Walhasil, pada bulan pertama dan kedua bekerja, Supriyanto hanya mengantongi US$ 100, yang diterimanya langsung di atas kapal.
Perjanjian kerja tak adil itu menjepit Supriyanto. Bila ia tak menyelesaikan kontrak, uang jaminan bakal hangus. Pulang ke Indonesia, urusan masih panjang. Dalam kontrak Supriyanto dengan PT Jangkar tertulis, "Apabila saya melarikan diri, malas, minta pulang atau dipulangkan..., agen Indonesia berhak menuntut keluarga saya untuk membayar denda dan biaya yang timbul." Bila tak membayar, keluarganya akan diseret ke proses hukum serta membayar ganti rugi US$ 1.000.
Rudi Setiawan, komisaris PT Jangkar Jaya Samudera, menepis tudingan bahwa kontrak kerja tersebut merugikan Supriyanto. "Kedua belah pihak sepakat tanda tangan," katanya.
Agen perekrut Supriyanto di Taiwan, Jin Hong Company, ternyata milik Chen Jin Te, yang juga ayah kapten Chen Kai Chi. Menurut Chen Jin Te, tak ada yang salah dalam perekrutan Supriyanto. "Ia direkrut di bawah pengawasan asosiasi nelayan di Taiwan," katanya. Di Taiwan, setiap perekrutan wajib diketahui asosiasi nelayan. Tapi, setelah diselidiki, Jin Hong Company ternyata tak pernah melaporkan perekrutan Supriyanto ke asosiasi.
Di Kaohsiung, kota pelabuhan sebelah Pingtung, Tempo menemui Pan Ching Ju dari Asosiasi Penyedia Awak Kapal Ikan Kaohsiung. Menurut perempuan tersebut, sudah 20 tahun asosiasi ini menggunakan jasa ABK LG dari luar negeri-dengan kontrak ganda seperti pada Supriyanto. "Kontraknya lebih longgar. Awak kapal bisa bepergian ke semua negara," katanya. Menurut Pan Ching Ju, asosiasinya berkongsi dengan sekitar 30 agen pengirim ABK di Indonesia.
l l l
RANTAI pengiriman awak kapal ikan ke luar negeri cukup sederhana. Di bagian terbawah ada yang namanya "sponsor". Mereka calo dalam bisnis perekrutan ABK, yang bergerilya hingga ke kampung-kampung. Ahmad Daryoko, seorang calo, mengatakan mendekati kepala desa atau tokoh kampung lebih dulu agar dipercaya orang yang akan direkrutnya. "Awalnya datang ke kades, ngobrol-ngobrol bagaimana agar tidak ada pengangguran di desanya," katanya.
"Sponsor" kemudian menawarkan calon ABK kepada agen. Untuk setiap calon yang mereka rekrut, calo mendapatkan uang balas jasa. Bila calon ABK belum berpengalaman, upahnya sekitar Rp 1,5 juta. Tapi, bila calon ABK pernah menangkap ikan di kapal asing, imbalannya bisa mencapai Rp 2 juta.
Agen kemudian menawarkan ABK tersebut kepada pemesan di luar negeri yang menyalurkan pelaut ke kapal. Di Indonesia, dari ratusan agen yang beroperasi, menurut catatan Kementerian Perhubungan, sampai November lalu hanya 72 yang memiliki SIUPPAK. Di Tegal dan Pemalang ada lebih dari 40 agen beroperasi, semua tanpa SIUPPAK.
Dari seorang pelaut yang diberangkatkan, agen pengirim mendapatkan keuntungan sekitar US$ 500. "Permintaan ABK paling banyak dari kapal Taiwan," kata Herman, Ketua Indonesia Manning Agencies Association-asosiasi agen pengirim ABK.
Atas pengiriman Supriyanto, PT Jangkar menerima US$ 550 dari Jin Hong Company. Fee perekrutan itu bersih masuk kantong karena biaya lain dibebankan kepada pelaut-dipotong dari gajinya di kapal. Biaya tersebut termasuk ongkos pembuatan buku pelaut dan pelatihan keselamatan dasar sebesar Rp 1,5-2 juta.
Menurut aturan baku Kementerian Perhubungan, buku pelaut dibuat di kantor syahbandar dengan tarif Rp 100 ribu dan selesai kurang dari sepekan. Tapi kebanyakan pelaut mengaku tak pernah pergi ke kantor syahbandar, yang dibawahkan Kementerian Perhubungan. "Cuma foto di kantor agen, besoknya langsung jadi," kata Riski Sugito, yang pulang berlayar pada awal 2016. Riski juga tak mengikuti pelatihan keselamatan dasar, biasanya tiga-lima hari, yang jadi syarat utama pembuatan buku pelaut.
Saat pulang ke Tanah Air, Riski baru mengetahui buku pelautnya palsu. Petugas Bandar Udara Soekarno-Hatta memberi tahunya saat pengecekan dokumen. Diberi peringatan, ia diminta mengganti buku pelautnya dengan yang asli.
Buku pelaut Supriyanto juga lancung. Kode pelautnya yang tercantum di buku, 6201537910, tak terekam di Kementerian Perhubungan. Tempo membawa buku pelaut Supriyanto ke Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan Tegal untuk memastikannya. Menurut Kepala Subseksi Keselamatan Berlayar, Fahrudin, dokumen tersebut palsu.
Rudi Setiawan, Komisaris PT Jangkar Jaya Samudera, mengatakan tidak tahu-menahu soal itu. Supriyanto sudah memiliki buku pelaut saat datang ke kantornya. Sedangkan PT Bima Samudra Bahari, agen yang pertama mengirim Supriyanto ke Taiwan, menyangkal telah membuatkan dia dokumen palsu. "Supriyanto mengurus sendiri dokumennya," kata Tarman, juru bicara perusahaan.
Adapun Visa Susanto, kode pelaut 6201292887 di buku pelautnya ternyata atas nama orang lain, Agustinus Petrus.
Tempo menemui Suyatno, pemalsu buku pelaut yang ditangkap Kepolisian Daerah Metro Jaya di Cengkareng, Jakarta Barat, pada November lalu, di dalam penjara. Menurut Suyatno, selama satu setengah tahun beroperasi, dia sudah membuat sekitar 2.000 blangko buku pelaut palsu dan sertifikat pelatihan keselamatan dasar sejumlah itu juga.
Dokumen dipesan oleh dua pria yang mengaku bernama Jefri dan Jai, yang dikenalnya melalui seorang rekan yang lebih dulu terjun di bisnis percetakan. Kepada Suyatno, Jefri mengaku memesan buku itu karena diminta oleh "orang dalam Tanjung Priok". Suyatno tak mengetahui persis maksudnya karena Jefri dan Jai tak pernah blakblakan. Ia lebih sering berbicara dengan mereka di telepon ketimbang bertemu langsung. Hingga kini polisi masih mengejar Jefri, yang diidentifikasi berumur 40-an dan berasal dari Jawa Tengah, serta Jai yang berusia 50-an awal dan berasal dari Makassar.
Dalam sebulan, Jefri atau Jai memesan 50-200 buku pelaut. Sebuah blangko buku pelaut palsu dihargai Rp 35 ribu. Sedangkan sertifikat dijual Suyatno Rp 8.000. Setelah barang beralih tangan, Suyatno mengaku tak mengetahui penyebarannya. "Setelah pesanan dibawa, mereka yang tahu," katanya.
Sejumlah orang dalam agen di Tegal mengatakan buku pelaut diperoleh dari orang dalam kantor syahbandar. Masih berupa blangko, lembaran di dalamnya tanpa nama pelaut, kode pelaut, dan foto ABK. Tapi sudah diteken syahbandar dan distempel.
Juru bicara Kementerian Perhubungan, Bambang S. Ervan, menyatakan buku pelaut susah dipalsukan. "Buku pelaut yang asli dicetak Peruri," katanya. "Ada sejumlah tanda pengaman yang tak bisa ditiru oleh pemalsu." Salah satunya, nomor buku dibolongi dengan laser sehingga bagian kertas yang berlubang tersebut tetap halus bila diraba.
>l l l
PERBUDAKAN, perlindungan yang minim, dan kerja yang keras tak membuat jera mereka yang berniat mengadu nasib di atas kapal ikan. Saat ini, menurut Ketua asosiasi agen pengirim ABK, Herman, dalam satu bulan satu agen bisa menyalurkan lebih dari 100 ABK. "Kalau pas ramai bisa sampai 300 orang," ujarnya. Di antara yang dikirim, ada pelaut baru dan ada pula yang sudah pernah berlayar.
Supriyanto pernah naik kapal ikan Taiwan pada 2014. Ketika itu dia tidak betah. Bertahan empat bulan, dia turun kapal. Pulang ke Tegal, ia kembali bekerja serabutan seperti sebelum naik kapal. "Kadang becak, kadang ngojek, kadang jadi kondektur bus," ujar Setiawan, sepupunya.
Tapi, pada suatu siang dua tahun lalu, tiba-tiba dia mendatangi Setiawan. Dia mengatakan ingin memberikan kehidupan yang layak bagi anak-anaknya. Setelah bercerai dari istrinya, Supriyanto membesarkan sendiri ketiga anaknya. "Aku pan mangkat laut maning," ujarnya. Dan dia pun pergi, pada Mei 2015, naik kapal Fu Tzu Chun dari pelabuhan Pingtung ke Samudra Pasifik.
Investigasi Budak Indonesia di Kapal Taiwan
Penanggung Jawab: Setri Yasra, Philipus Parera
Pemimpin Proyek: Anton Septian
Penyunting: Philipus Parera, Setri Yasra, Yosep Suprayogi, Anton Septian
Penulis: Anton Septian, Mustafa Silalahi, Ahmad Nurhashim
Penyumbang Bahan: Muhammad Irsyam Faiz, Mustafa Silalahi
FOTO: Ijar Karim
desain: Eko Punto Pambudi, Fitra Moerat Sitompul, Kendra Paramita
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo