Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Akhir Pelarian Hambali

Tokoh sentral Jamaah Islamiyah itu ditangkap oleh CIA di Thailand. Agaknya, ia susah diadili di Indonesia. Apa kaitan Hambali dengan Al-Qaidah dan peledakan gedung WTC di New York?

17 Agustus 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

NYONYA Eni Maryani belakangan kerap memilih rebahan di kamar tidur. Ia enggan menerima tamu dan malas bicara. Kadang suka melamun, merenung lama, lebih-lebih ketika mendengar nama Hambali disebut-sebut. Tekanan darahnya sontak meninggi ketika sebuah stasiun televisi swasta menayangkan wajah anak keduanya itu, diselipi kabar kurang sedap: ditangkap hidup-hidup oleh intelijen Amerika Serikat.

Berita televisi Jumat pagi pekan lalu itu bak geledek di siang bolong. Terutama buat sanak-kadang Hambali yang tinggal di Desa Sukamanah, Karang Tengah, Cianjur, Jawa Barat. Saat melihat tayangan layar kaca itu—satu-satunya hiburan baginya—Nyonya Eni, 63 tahun, hampir tak mengedipkan mata. Ia lihat ada gambar yang mirip wajah anaknya itu, seraya bertanya-tanya, "Naha eta siga si Encep, tapi mani gendut jeung jembrosan sagala, nya." (Lo, itu kayak si Encep, tapi kok gendut dan bercambang segala, ya.)

Encep Nurjaman, 39 tahun, nama asli Hambali alias Riduan Isamuddin, memang bukan orang sembarangan. Ia masuk kategori sosok yang paling diburu aparat keamanan. Tak hanya kepolisian dan intelijen Indonesia, tapi juga Asia Tenggara, bahkan interpol sejagat. Presiden Amerika Serikat George W. Bush sampai merasa perlu untuk bicara sendiri: ia mengumumkan penangkapan tokoh yang disebutnya sebagai "salah satu teroris paling berbahaya di dunia" dan pentolan Jamaah Islamiyah, organisasi yang disebut PBB sebagai biang teror internasional.

Bush juga menyebut Hambali sebagai salah seorang pentolan Al-Qaidah yang dipimpin Usamah bin Ladin, tokoh yang dianggap sebagai orang paling berbahaya di dunia. Pidato kisah sukses itu disampaikan di Pangkalan Udara Miramar, dekat San Diego, California, di hadapan prajurit yang berperang dalam perang Irak, Kamis pekan lalu.
"Dia (Hambali) seorang pembunuh," tutur Bush. "Bahaya Hambali" ia sebut-sebut: merencanakan sejumlah operasi serangan teroris besar, termasuk peristiwa peledakan bom di Bali, Indonesia.

Pernyataan Bush ini membuka tabir desas-desus ihwal tertangkapnya petinggi Jamaah Islamiyah di Indonesia. Apalagi, tak ada satu pun pejabat Thailand yang mau buka suara atas penangkapan besar yang terjadi Selasa pekan lalu itu. Kedutaan Besar Indonesia di Bangkok mendengar berita besar ini setelah media Barat melansir pernyataan Bush. "Tadi pagi kami mendatangi kementerian luar negeri setempat. Tapi tak ada pernyataan resmi. Mereka hanya bilang, masih dalam pemeriksaan intelijen dan polisi," ujar Pindah Astuti, Kepala Biro Penerangan KBRI di Bangkok. Media lokal baru Jumat ini melaporkan adanya pemeriksaan itu.

Berita yang muncul dari pejabat Negeri Gajah Putih itu malah membuat bingung Jakarta. Menurut Menteri Pertahanan Thailand, Thamarak Issarangkun, tokoh penting Jamaah Islamiyah itu sudah diekstradisi dengan pesawat khusus ke Jakarta. Tentu saja pernyataan tersebut membuat pejabat Jakarta kelabakan. Kapolri Jenderal Da'i Bachtiar, Jumat siang pekan lalu, menegaskan pihaknya belum mengetahui di mana tokoh yang oleh media Barat disebut sebagai perantara organisasi Jamaah Islamiyah dengan jaringan teroris internasional Al-Qaidah itu.

Hambali kini dipenjara di sebuah tempat yang dirahasiakan di Amerika. Kenapa ia ditawan di sana? Ternyata, penangkapan dilakukan langsung oleh dinas intelijen AS (CIA) bersama polisi Thailand. Hambali disebut dicokok bersama istrinya di sebuah apartemen pusat Kota Ayutthaya, sekitar 70 kilometer sebelah utara Bangkok. Negara adikuasa itu jelas berkepentingan untuk membuktikan tudingannya kepada lelaki anak almarhum Ending Isomudin, bekas kepala SD di Cianjur itu, sebagai gembong teroris internasional.

Menurut majalah Time, tokoh misterius ini terlibat dalam serangan 11 September 2002, yang melumatkan gedung World Trade Center (WTC) di New York dan memorak-porandakan Departemen Pertahanan AS, Pentagon. Untuk menguatkan tudingannya itu, Dinas Intelijen Amerika menyebutkan ada bukti dokumen tertulis yang didapat dari kediaman Mohamad Atef, salah satu petinggi Al-Qaidah yang tewas dalam pengeboman Amerika di Afganistan.

Amerika juga punya tudingan lain. Hambali kabarnya pernah bertemu dengan dua orang pembajak pesawat yang melumatkan WTC itu. Pertemuan dengan dua orang yang dimaksud—Halid al-Midhar dan Nawaf al-Hasmi—terjadi di sebuah apartemen di Kuala Lumpur, Malaysia, Januari 2000.

Di Asia Tenggara, ia juga menjadi incaran beberapa negara, terutama Filipina. Presiden Filipina Gloria Arroyo, seperti dikutip media setempat, Sun Star, menginginkan Hambali diadili di Manila. Arroyo geregetan lantaran aksi teror bom di negeri itu diduga melibatkan lelaki berjenggot lebat tersebut. Laporan intelijen AS menguatkan bahwa Hambali di belakang serangan bom ke pesawat Filipina Airlines, rencana peledakan 12 pesawat AS, dan usaha pembunuhan Paus Paulus II saat berkunjung ke Filipina pada tahun 1990-an.

Jejak Hambali lebih kentara di Tanah Air. Lelaki berkacamata yang dianggap keluarganya di Cianjur berprofesi sebagai pedagang batik itu mengorbit pertama kali setelah terjadi ledakan di bengkel H. Aceng, Jalan Terusan Jakarta, Bandung, Jawa Barat, 24 Desember 2000. Polisi menemukan handphone dari potongan mayat Jabir—satu dari tiga korban yang tewas. Nomor telepon itu menunjuk nama Hambali dan Imam Samudra, salah seorang perancang bom Bali yang tengah disidangkan di Denpasar.

Polisi lalu melacak lelaki yang bertetangga dengan Ustad Abu Bakar Ba'asyir di Kampung Manggis, Banting, Malaysia, itu. Saat itu diyakini Hambali telah berada di negeri jiran. Hal tersebut dikuatkan oleh "nyanyian" Iqbal, salah satu tersangka yang diciduk polisi. Iqbal mengaku sempat bertemu Hambali di Hotel Rinjani, Bandung. Saat itu dikabarkan ada kucuran dana 50 ribu ringgit Malaysia untuk proyek pengeboman di beberapa kota di Jawa Barat.

Namun, polisi yang mengejarnya ke Kuala Lumpur pada awal tahun 2001 pulang dengan gigit jari. Sebab, seperti disebutkan seorang perwira di Mabes Polri, Polisi Diraja Malaysia tak memberi izin menangkap Hambali. "Hambali tokoh agama di sana. Ini bisa membuat rawan," ujar sang perwira mengutip alasan polisi Malaysia.

Belakangan, Malaysia mengubah haluan. Sikap pemerintah Mahathir menjadi sangat keras terhadap kelompok yang disebut Kumpulan Mujahidin Malaysia. Mulailah terjadi penangkapan besar-besaran atas para aktivis Islam yang dituding hendak melakukan makar. Hambali sudah gerah akibat terus diuber polisi Indonesia. Ia kabur lebih dahulu ke Pakistan. Ini pula yang membuat ia selamat dari jaring Internal Security Act—semacam undang-undang anti-subversi di Malaysia.

Tak cuma di Bandung ia beroperasi. Bom "malam kudus" yang meledak di gereja-gereja di 10 kota di Indonesia, enam di antaranya terkait dengan lelaki yang pernah menjadi relawan mujahidin di Afganistan pada tahun 1987 itu. Di Pekanbaru dan Batam, yang bertindak sebagai operatornya adalah karib Hambali, Imam Samudra. Sedangkan peledakan di Ciamis dan Sukabumi, Jawa Barat, masih segaris dengan bom Bandung. Juga peledakan bom di Mojokerto, Jawa Timur.

Dalam wawancara TEMPO dengan Ali Imron, salah satu tersangka peledakan bom Legian di Kuta, Bali, 12 Oktober 2002 lalu, di markas Polda Bali pada Februari silam, lelaki bergigi gowang ini mengakui keterlibatan Hambali. Diceritakan oleh si bungsu dari "trio Tenggulun" ini, sekitar sepekan sebelum peledakan, ia bersama dengan kakaknya, Amrozi, dan Hutomo Pamungkas serta Ali Fauzi bertemu Hambali di Hotel Mesir, Surabaya.

Pokok pembicaraan adalah pengeboman di Jawa Timur. Saat itu Hambali meminta apakah ada tempat lain selain Surabaya yang akan diledakkan. Saat itu, Amrozi dan kawan-kawan sepakat menggempur Gereja Eben Haezer, Gereja Pantekosta Allah Baik, dan Gereja Santo Yosef di Mojokerto. Mereka berlima, ditambah Dulmatin—tersangka bom Bali yang masih buron—melakukan survei dengan sedan Crown putih milik Amrozi. "Selain di Mojokerto, mereka melirik sasaran lain di Jombang dan Bojonegoro," kata Ale—panggilan Ali Imron.

Serangkaian aksi keji itu belakangan diketahui polisi telah dirancang sejak akhir 1999 sebagai hasil pertemuan mereka di Bangkok. Keterangan ini dikuatkan oleh pengakuan Faiz bin Abu Bakar Bafana, warga Malaysia yang ditangkap pemerintah Singapura. Menurut Bafana, ikut dalam pertemuan tersebut antara lain Hambali, Imam Samudra, wakil dari Aceh, Filipina, dan Sulawesi.

Pendakwah keliling di Malaysia ini diduga kuat terlibat serangan bom yang menghancurkan Paddy's Café dan Sari Club di Legian, Bali, Oktober tahun lalu. Menurut Kepala Polda Bali, Irjen Polisi Made Mangku Pastika, Hambali mendanai peledakan yang menewaskan 202 orang yang sebagian besar warga Australia itu. Pastika menyebut kembali keterangan Wan Min bin Wan Mat, warga Malaysia yang disebut-sebut sebagai Bendahara Jamaah Islamiyah.

Saat itu, Wan Min bersaksi untuk tersangka Muchlas alias Ali Gufron lewat teleconference. Di sidang itulah Wan Min menceritakan bahwa dana US$ 35.500 yang diberikan kepada komandan umum peledakan bom Bali itu berasal dari Hambali. Karena itulah Pastika berharap Hambali bisa diadili di Pulau Dewata untuk mempertanggungjawabkan tindakannya.

Keluarga Hambali menanggapi tuduhan gawat itu tenang-tenang saja. Khan-Khan, adik keenam Hambali, menyebut kakaknya sebagai pahlawan. "Dia itu pahlawan bagi umat muslim, pejuang Islam, bukan teroris," ujarnya. Sejak muncul berita Hambali sebagai otak peledakan bom, rumah orang tuanya di Kampung Pamokolan, Sukamanah, Cianjur, selalu ramai "dikunjungi" orang. Ada yang menyamar sebagai penjual bakso dan tukang sol sepatu. "Mereka aneh, selalu memperhatikan rumah ini," kata Khan-Khan.

Kini, harapan keluarga besar Nyonya Eni untuk bertemu Hambali bisa jadi akan terbentur tembok. Boleh jadi, akan sama nasibnya dengan keinginan para pejabat Indonesia membawa Hambali ke pengadilan di Indonesia. Ingat penangkapan Umar al-Faruk, yang disebut sebagai koordinator jaringan Al-Qaidah di Asia Tenggara, di Bogor, Jawa Barat, November tahun lalu, yang susah "disentuh" polisi Indonesia? Sulit meminta agar tahanan CIA dibawa ke Indonesia. Kisah Al-Faruk bisa saja terulang pada Hambali.

WM, Edy Budiyarso, Upik Supriyatun (Cianjur, Jawa Barat)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus