Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ADU jotos hampir saja terjadi di Desa Pegantungan, Bengkulu, Senin pekan lalu. Beberapa anggota keluarga Asmar Latin Sani, 28 tahun, tersangka pengebom Hotel JW Marriott, Jakarta, bersiap-siap melabrak Musnizar, tetangga mereka. Headline harian Rakyat Bengkulu yang jadi gara-gara. Pada berita berjudul Bahan Bom dari Bengkulu, Dibawa Asmar Melalui Darat, Senin lalu, pengusaha angkutan kota itu disebutkan pernah melihat Asmar membawa empat kardus besar ke Jakarta. Bungkusan itu diduga bom yang melumatkan Marriott, Selasa pekan sebelumnya.
Keluarga Asmar keras tertampar. Mereka tak terima. Mereka bahkan belum yakin potongan tubuh yang ditemukan di Marriott milik Asmar—saat itu hasil uji DNA untuk memastikan hal tersebut belum diumumkan polisi. Menurut mereka, Musnizar memfitnah.
Untunglah, Lurah Pegantungan, Khairul Saleh, bertindak sigap. Begitu melihat berita itu muncul di koran, ia tahu kiamat kecil bakal terjadi di desanya. Bersama beberapa ketua adat, ia langsung bergegas pagi itu melerai kedua pihak. Musnizar bersumpah tak pernah memberikan keterangan itu kepada pers. Pengelola harian Rakyat Bengkulu mengaku lalai. Mereka siap meralat berita itu keesokan harinya.
Gempa bumi seperti menimpa keluarga Asmar. Apalagi beberapa hari setelah polisi mengumumkan sang pemuda sebagai tersangka bom maut yang menewaskan 12 orang itu. Wartawan menyerbu, polisi menginterogasi. Ibu Asmar, Marji'a, kerap kali pingsan jika ada orang yang bertanya tentang anaknya. Jika siuman, wajahnya lesu. Ia tak lagi bernafsu makan. Saban hari Marji'a hanya menyeruput sedikit susu tanpa menyentuh nasi sebutir pun. Meski demikian, ia masih kuat puasa Senin-Kamis.
Selain dituding melumatkan Marriott, Asmar disebut-sebut juga merupakan titik penting bagi pengungkapan jaringan pengebom Indonesia. Polisi menduga ia terlibat dalam peristiwa bom Natal tahun 2000, menyembunyikan Dulmatin dan Dr. Azhari—keduanya bagian dari komplotan bom Bali—dan bersekutu dengan Mustofa, salah seorang petinggi Jamaah Islamiyah yang dicokok di Bekasi, Jawa Barat, akhir Juli lalu. Ia juga dianggap merupakan bagian dari komplotan Hambali, buron nomor wahid yang tertangkap di Thailand pekan silam.
Betulkah pria kurus yang lahir di pinggir Danau Singkarak, Sumatera Barat, 21 Oktober 1976, itu sedemikian penting? Keluarga dan para tetangga meragukannya. Menurut para tetangga, anak pasangan Abdul Wahid alias Sutan Marajo, 60 tahun, dan Marji'a, 58 tahun, itu bukan tipe lelaki banyak tingkah. Ia terkenal ramah, baik hati, dan rajin salat. Pada usia lima tahun, keluarga Abdul Wahid pindah ke Bengkulu. Di provinsi itu mereka tinggal di Kelurahan Pegantungan dalam sebuah rumah berukuran 180 meter persegi di sebuah jalan kecil yang tak bisa dimasuki mobil.
Sekolahnya juga jelas. Pendidikan dasar diselesaikan Asmar di SD 12 Kebun Geran, Bengkulu, 1987. Menurut Lela, salah seorang guru yang pernah mengajarnya di SD, Asmar kecil tergolong pandai: ia selalu menjadi juara kelas atau setidaknya masuk tiga besar. Asmar kurang senang bermain atau jajan. Jika istirahat, ia lebih senang berada di kelas atau sekadar menonton apa yang dilakukan teman-temannya.
Tamat SD, Asmar ngotot melanjutkan sekolah ke Pondok Pesantren Al-Mukmin, Ngruki, Surakarta, Jawa Tengah. Semula, keluarganya melarang karena anak bungsu itu dianggap terlalu kecil untuk merantau. Tapi Asmar tak bisa dicegah. Keluarga mencatat Asmar berada di Ngruki pada 1987-1995. Pada periode itu, hubungan Asmar dengan keluarga nyaris terputus. "Asmar jarang pulang walau ada libur sekolah," kata salah seorang anggota keluarga Abdul Wahid.
Di pesantren pimpinan Ustad Abu Bakar Ba'asyir itu, Asmar tercatat sebagai murid dengan nomor induk 1335. Ia belajar hingga tamat Kulliyatul Mu'alimin Al-Islamiyah, sekolah setingkat SMU yang khusus mendidik santri untuk menjadi dai atau guru agama. Menurut Sekretaris Al-Mukmin, Mualif Rosyidi, di pesantren Asmar tak menonjol. "Karena prestasinya hanya rata-rata," kata Rosyidi, "pondok tak tertarik memberikan kesempatan untuk berwiyata bakti (mengajar di almamater) seperti alumni lain yang memiliki kemampuan lebih." Asmar lalu pamit pulang ke Bengkulu pada tahun ajaran 1994/1995.
Tapi, menurut seorang kakak kelasnya, ia tak langsung pulang. Rupanya, Asmar punya rencana lain, yakni mengajar di sebuah pesantren di Palembang, Sumatera Selatan. Versi lain datang dari keluarga: selepas dari Ngruki, Asmar sempat mengajar di Pesantren Al-Muttaqin, Lampung. Anehnya, pimpinan Al-Muttaqin mengaku tak memiliki pengajar bernama Asmar.
Di Bengkulu, Asmar menjadi "orang biasa". Ia mendakwah dan menjalankan bisnis orang tuanya dengan membuka gerai fotokopi bernama Lavena di lingkungan kampus Universitas Bengkulu. "Empat bulan lalu Asmar meninggalkan rumah karena dimarahi ayah setelah bisnis fotokopi itu rugi," kata John Hendri, 37 tahun, kakak Asmar.
Meninggalkan rumah? Di sinilah keanehan bermula. Polisi yakin sesungguhnya Asmar bukan pergi, melainkan melarikan diri. Sejak empat bulan lalu aparat memang memburunya. Tudingan yang ditujukan kepadanya terbilang seram: ia menjadi bagian dari kelompok pengebom di malam Natal tiga tahun lalu, selain juga menyembunyikan dua buron bom Bali. Pihak keluarga tak menyangkal bahwa pada April silam banyak polisi datang ke rumah. "Kadang-kadang juga bersama polisi bule yang sibuk memotret," kata Musnar, salah seorang tetangga Asmar.
Saat memburu Asmar empat bulan silam itu, polisi juga menangkap Sardona bin Azwar, 23 tahun, dan Muhammad Rais, 27 tahun, karena dituduh bersekongkol dalam pengeboman di Medan, Sumatera Utara, dan di Pekanbaru, Riau. Keduanya kawan Asmar sejak masih di tepi Danau Singkarak. Sardono bahkan juga sama-sama mondok di Ngruki. Polisi meyakini kedua tangkapannya ini merupakan bagian dari kelompok Bengkulu, bagian dari jaringan pengebom yang oleh intel Barat disebut Jamaah Islamiyah. Tapi tudingan ini dibantah keluarga Sardona. "Saya tak yakin anak saya terlibat bom, apalagi dikatakan teroris. Biarlah hanya Tuhan yang tahu," kata Musnar, ibu Sardona.
Keanehan lain dari Asmar: meski pandai bergaul, ia menyembunyikan identitasnya. Menurut Lurah Khairul Saleh, pemuda itu bahkan tak tercatat dalam daftar registrasi kelurahan. Anehnya lagi, belakangan ketahuan, Asmar memiliki empat kartu tanda penduduk (KTP). KTP pertama menggunakan nama Asmar bin Abdul Wahid S.T. Marajo, beralamat di Jalan Bangka RT 13/000 Kelurahan Sukamerindu, Kecamatan Teluk Segara, Bengkulu. KTP kedua mencantumkan namanya sebagai Asmar bin Abdul Wahit (dengan huruf "t") S.T. Marajo, dan tinggal di Jalan Sulawesi No. 33, RT 06/01, Kelurahan Pegantungan. Dalam KTP ketiga, ia memakai identitas Asmar bin Abdul Wahid (tanpa S.T. Marajo). Terakhir, polisi menemukan KTP Asmar dengan alamat di Jalan Nuzirwan Zainul No. 1, Kampung Bali, Teluk Segara, Bengkulu. Pada KTP kedua, Asmar bahkan mengaku berjenis kelamin perempuan!
Ketika dikonfirmasi, seorang petugas pencatat komputer pada sistem informasi kependudukan Pemda Bengkulu hanya bisa geleng-geleng kepala. "Bukan kesalahan kami, tapi Asmar pintar membedakan biodatanya," kata sang petugas.
Selain soal palsu-memalsu identitas tersebut, dalam sekuel hidup Asmar juga terasa ada yang janggal. Periode Ngruki, misalnya. Pihak keluarga menyatakan Asmar berada di sana pada 1987-1995. Tapi di pesantren itu ia terdata sebagai santri pada rentang waktu 1989-1995. Pendidikan di Al-Mukmin memang enam tahun. Mestinya, data di pesantren itu yang benar. Lalu, di mana Asmar pada dua tahun pertama? Tak ada yang tahu.
Seorang bekas aktivis kasus Talangsari, Lampung—bentrokan antara kelompok Islam radikal pimpinan Warsidi dan aparat TNI—malah memberi kabar yang lebih menyentak. Katanya, saat gerakan itu dilibas tentara pada 1989, ia mengingat ada nama Asmar Latin Sani dalam rombongan orang yang ditangkap. Tapi, karena masih remaja dan dianggap hanya ikut-ikutan, Asmar dilepas tanpa diadili. Siapa dia, memang masih samar-samar.
Jika melihat banyaknya migrasi penduduk dari Jawa—termasuk dari kawasan Surakarta dan sekitarnya—ke daerah itu, munculnya nama Asmar mestinya tak aneh. Ketika itu para pentolan gerakan, seperti Nur Hidayat dan kawan-kawan, memang berusaha mendatangkan banyak aktivis Islam untuk membangun perkampungan muslim radikal di sana (lihat TEMPO 30 September 1989). Meski meragukan informasi ini, Al-Chaidar, penulis buku tentang tragedi Talangsari, tak menutup kemungkinan keterlibatan Asmar. "Mungkin saja (dia terlibat). Tapi pasti bukan pentolan, hanya jamaah biasa," kata Chaidar kepada Suseno dari Tempo News Room.
Sumber TEMPO di Pesantren Ngruki menduga, pada periode Lampung-lah kemungkinan besar Asmar berkenalan dengan Islam radikal. "Di sana banyak alumni Ngruki yang memiliki ideologi Darul Islam. Wakalah Lampung kan meliputi Bengkulu dan Sumatera Selatan. Saya kira di Lampung itu Asmar direkrut," ujar sumber yang dekat dengan kalangan eks DI/TII ini. Wakalah Lampung juga tengah ditelusuri polisi. Bukan tak mungkin, di sinilah jaring Hambali mengenai Asmar (lihat, Memburu Anggota Wakalah Lampung). Kata polisi, Asmar juga difasilitasi Mustofa, bekas Mantiqi (Wilayah) III Jamaah Islamiyah yang kini telah tertangkap.
Hambali tertangkap, Asmar tewas mengenaskan. Tak terbayangkan betapa hancur hati keluarganya. Apalagi si bungsu dari Danau Singkarak itu ternyata telah memilih jalan hidup tak lazim: salah menerapkan jihad dengan membunuh puluhan orang dan menghancur-leburkan jasad sendiri.
Arif Zulkifli, Ahmad Taufik, Syaipul Bakhori, (Bengkulu), Imron Rosyid (Solo), Hermasyah (Lampung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo