Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TIBA di Hotel Grand Kemang, Jakarta Selatan, Miryam S. Haryani langsung menuju sudut lobi. Memakai jaket biru, politikus Partai Hanura yang paling dicari polisi itu terlihat turun dari mobil bersama adik lelakinya. Keduanya mengobrol serius di bawah temaram lampu ruang tunggu.
Hari itu, Senin dinihari dua pekan lalu, sudah lima hari Miryam dinyatakan buron oleh polisi. Ia mangkir dari panggilan Komisi Pemberantasan Korupsi setelah ditetapkan menjadi tersangka pemberian kesaksian palsu dalam perkara megakorupsi proyek kartu tanda penduduk elektronik. Miryam menjadi saksi pembagian uang suap kepada anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang belakangan ia cabut keterangannya di pengadilan.
Tanpa diketahui perempuan 43 tahun itu, belasan polisi tiba di Hotel Grand Kemang beberapa saat setelah ia masuk ke hotel. Sebagian masuk ke lobi, sebagian mengawasi halaman. Dipimpin Kepala Kepolisian Resor Depok Komisaris Besar Herry Heryawan, para polisi mengamati gerak-gerik Miryam tanpa mencurigakan.
Beberapa saat berlalu, Herry menghampiri Miryam, yang duduk di sofa. Ia mengeluarkan surat permintaan penangkapan dari KPK. "Ini surat permintaannya, nanti Mbak ikut semobil dengan saya," kata Herry seperti terekam dalam video penangkapan itu. Miryam bergeming.
Herry lalu meminta seorang polisi wanita membawanya. Beralasan sedang menunggu teman, Miryam minta tak dibawa polisi saat itu juga. Satu jam ditunggu, teman itu tak datang juga. Herry lalu membawa anggota Komisi V Dewan Perwakilan Rakyat itu ke markas Kepolisian Daerah Metro Jaya.
Dinihari itu, pelarian Miryam berakhir. Belakangan, dari pengakuannya, saat serius mengobrol dengan adiknya di lobi Grand Kemang itu, diketahui Miryam sedang mengontak kerabatnya untuk mengatur tempat sembunyi berikutnya. Selama lima hari tak diketahui keberadaannya itu, ia tinggal di rumah saudaranya yang lain di Kemang.
PENYIDIK KPK akhirnya menetapkan Miryam sebagai tersangka kesaksian palsu setelah ia mencabut semua keterangan tentang para penerima suap proyek KTP di pengadilan pada 23 Maret lalu. Miryam dihadirkan ke sidang dengan terdakwa Irman dan Sugiharto, dua mantan pejabat Kementerian Dalam Negeri yang mengatur proyek itu, untuk memverifikasi kesaksiannya di depan penyidik KPK.
Miryam mencabut keterangannya dengan alasan saat bersaksi itu ia ditekan penyidik yang memeriksanya. Majelis hakim yang dipimpin Jhon Halasan Butar Butar pun menghadapkannya dengan penyidik KPK yang memeriksanya dalam persidangan pekan berikutnya.
Salah satu penyidik KPK yang dihadirkan, Novel Baswedan, membantah penyangkalan Miryam tersebut. Novel mengatakan, selama diperiksa empat kali, Miryam dalam kondisi psikologis yang baik dan gembira. "Silakan cek di rekamannya," katanya.
Rekaman pemeriksaan itu pun diputar di depan hakim. Dalam video itu, Miryam diperiksa penyidik Irwan Santoso di lantai 4 gedung KPK pada 1 dan 7 Desember 2016. Jaksa KPK, Irene Putri, berkomentar atas pemeriksaan tersebut. "Saksi diperiksa dengan senyum dan suara lantang," katanya. Pengacara Irman dan Sugiharto, Soesilo Aribowo, berkomentar yang sama. "Suasananya akrab," ucapnya.
Pada satu bagian di video itu, Miryam bahkan tampak antusias memberikan keterangan tentang aliran dana korupsi e-KTP ke pimpinan dan anggota Komisi Hukum DPR. "Saya terima dua kali, 100 dan 200. Nilai nominal pertama dibagi rata 12 juta, kedua 50 juta, lalu 25 juta," ujar Miryam seperti terekam dalam video tersebut. Jika merujuk pada dakwaan KTP elektronik, satuan uang yang disebut Miryam nominal dalam dolar Amerika Serikat.
Novel dan Irwan mengatakan, ketika diperiksa, Miryam mengaku pernah dipanggil enam anggota Komisi Hukum DPR agar tidak memberikan kesaksian sebenarnya kepada penyidik KPK. Mereka adalah politikus Golkar Bambang Soesatyo dan Azis Syamsuddin, politikus Gerindra Desmond J. Mahesa, politikus Hanura Syarifuddin Sudding, dan politikus PDI Perjuangan Masinton Pasaribu.
Kedua penyidik senior KPK itu mengaku lupa satu nama lagi yang disebut Miryam. Kepada penyidik KPK, Miryam tak pernah menceritakan kepentingan para politikus itu menekannya. Bambang Soesatyo membantah menekan Miryam. "Ini ngawur dan fitnah," ujarnya. Hal senada diutarakan Desmond. "Itu tidak benar. Saya tidak terima dituduh seperti itu," katanya.
Sepekan setelah kesaksian Novel dan Irwan itu, komisi antikorupsi menetapkan Miryam sebagai tersangka keterangan palsu. Sedikitnya sepuluh saksi diperiksa sebelum penetapan status tersangka itu.
KPK memanggil Miryam dua kali sebagai tersangka. Pada panggilan pertama 13 April lalu, ia tidak datang. Pada pemanggilan kedua, 18 April, Miryam juga tidak memenuhi panggilan. Pengacaranya, Aga Khan, membawa surat keterangan sakit Miryam dari dokter Rumah Sakit Pondok Indah, Jakarta. "Kami cek, tersangka hanya rawat jalan dan membutuhkan waktu istirahat dua hari," ujar juru bicara KPK, Febri Diansyah.
Setelah mendapat informasi dari rumah sakit, KPK meminta pengacara menghadirkan Miryam pada 20 April. Namun pengacara Miryam meminta pemeriksaan diundurkan sepekan lagi, menunggu kesehatan kliennya benar-benar pulih.
Pada pekan terakhir April, penyidik KPK menggeledah rumah Miryam di Jalan Teratai, Kompleks Perumahan Tanjung Barat, Jagakarsa, Jakarta Selatan. Ketika penggeledahan, penyidik KPK tidak menemukan Miryam di sana. Keluarganya pun tidak memberitahukan keberadaan anggota DPR dari daerah pemilihan Jawa Barat II itu. Bukan hanya itu, nomor telepon seluler Miryam yang biasa dihubungi KPK sudah tak aktif.
Karena tak menemukan Miryam, KPK mengirim surat kepada Kepala Kepolisian RI Jenderal Tito Karnavian dan National Central Bureau (Interpol Indonesia) untuk memasukkan nama Miryam ke daftar pencarian orang. "Karena dipanggil tak datang dan nomornya tak bisa dihubungi," kata Ketua KPK Agus Rahardjo.
Atas permintaan KPK itu, Jenderal Tito lalu membentuk tim gabungan polisi Jakarta dan Depok untuk memburu Miryam. Tim ini dipimpin Komisaris Besar Herry Heryawan.
Pada Kamis sepekan sebelum ditangkap, Miryam dideteksi polisi berada di Bandung. Disambangi ke sana, ia sudah berpindah lokasi. Esoknya, tim mendapat informasi Miryam berada di Hotel Serela Waringin, Bandung. Namun di hotel itu pun Miryam tak ada. "Dia berpindah-pindah, sampai akhirnya ada informasi dari kerabatnya menginap di Trans Hotel Bandung," kata Kepala Kepolisian Daerah Metro Jaya Inspektur Jenderal Mochammad Iriawan.
Pada hari keempat pelarian Miryam, polisi mendapat informasi bahwa perempuan kelahiran Indramayu, Jawa Barat, itu bergerak dari Kota Kembang ke Jakarta menuju rumah saudaranya di Kemang. Informasi ini diperoleh polisi setelah mengorek keterangan sopir Miryam, Iwan, dan dua kerabatnya di Bandung, Susan dan Syarofah.
Sehari setelah polisi menyerahkan Miryam ke KPK, penyidik Komisi juga memeriksa ketiga orang itu. Seusai pemeriksaan, mereka menolak pertanyaan wartawan.
Sebelum Miryam diserahkan ke KPK, menurut Iriawan, timnya sempat meminta keterangannya. Kepada anak buahnya, menurut dia, Miryam mengaku melarikan diri karena kaget ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. "Itu alasan mengapa ia pergi," kata Iriawan.
Aga Khan membantah kabar bahwa Miryam melarikan diri. Menurut dia, Miryam hanya berlibur tatkala berada di Bandung. Ketika menggeledah rumah Miryam di Tanjung Barat, kata Aga, penyidik KPK sudah mengetahui Miryam berada di Bandung. Aga Khan juga mempertanyakan alasan KPK memasukkan nama Miryam ke daftar pencarian orang.
Soalnya, menurut dia, Miryam selalu memberi tahu alasan tidak memenuhi panggilan penyidik KPK. "Itu semua ada suratnya. Jadi bukan mangkir," ujar Aga.
Miryam kini meringkuk di ruang tahanan KPK. Dengan penahanan ini, KPK berharap kasus keterangan palsu Miryam bisa segera dibawa ke pengadilan. Targetnya, menurut Ketua KPK Agus Rahardjo, kasus ini disidangkan sebelum perkara dugaan korupsi e-KTP diputus pengadilan. "Kalau Miryam dinyatakan bersalah, akan diketahui siapa yang benar soal pemeriksaan dengan tekanan itu," kata Agus.
Anton Aprianto
Salah satu penyidik KPK yang dihadirkan, Novel Baswedan, membantah penyangkalan Miryam tersebut. Novel mengatakan, selama diperiksa empat kali, Miryam dalam kondisi psikologis yang baik dan gembira. "Silakan cek di rekamannya," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo