Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Ikon Baru Masalah Baru

DUA menteri Kabinet Kerja tak putus kagum ketika memantau pemasangan gelagar terakhir Simpang Susun Semanggi di Jakarta pada Selasa malam pekan lalu. Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono dan Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi melihat pemasangan cincin itu dengan sumringah. "Ini akan jadi ikon baru Jakarta," kata Basuki.

8 Mei 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DUA menteri Kabinet Kerja tak putus kagum ketika memantau pemasangan gelagar terakhir Simpang Susun Semanggi di Jakarta pada Selasa malam pekan lalu. Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono dan Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi melihat pemasangan cincin itu dengan sumringah. "Ini akan jadi ikon baru Jakarta," kata Basuki.

Dengan pemasangan gelagar itu, jalan melingkar di atas jembatan Semanggi tersebut sempurna sudah. Basuki dan Budi memuji kecepatan kerja PT Wijaya Karya yang selesai mengerjakan jalan layang sepanjang 1,8 kilometer ini dalam waktu setahun dengan biaya Rp 360 miliar.

Simpang susun ini dibangun dengan biaya sepenuhnya dari PT Mitra Panca Persada, pemilik Wisma Sudirman--gedung perkantoran di Bendungan Hilir, Jalan Sudirman Kaveling 60, tak jauh dari jembatan Semanggi. PT Mitra meminta izin meninggikan gedung dari 17 menjadi 60 lantai atau setara dengan 104 ribu meter persegi. Pemerintah setuju.

Mekanismenya diatur dalam Peraturan Gubernur Nomor 210 Tahun 2016, yang berisi aturan tentang koefisien bangunan. Koefisien bangunan di Bendungan Hilir sebesar 7. PT Mitra meminta kenaikan koefisien menjadi 13. Syaratnya, mereka harus membayar menurut penambahan, yakni Rp 360 miliar, berupa pembangunan fasilitas publik. Pemerintah Jakarta mengalokasikan dana tersebut untuk membangun Simpang Susun Semanggi.

Menurut Wakil Kepala Dinas Perhubungan dan Transportasi DKI Jakarta Sigit Wijatmoko, pemilihan membangun Simpang Susun Semanggi karena lalu lintas jalan di jantung Ibu Kota ini selalu macet. Ada 250 ribu kendaraan per hari yang melintasi jalan melingkar sepanjang 185 meter. Dari jumlah itu, 75 ribu kendaraan bersilangan di kuping Semanggi.

Akibatnya, lalu lintas jalan ini selalu macet. Upaya polisi menutup atau memecah arus kendaraan pada jam berangkat dan pulang kantor tak berarti banyak. "Weaving ini tak terurai kendati satu kuping sudah ditutup," kata Sigit.

Sigit yakin cincin simpang susun bisa mengatasi problem ini karena kendaraan dari arah Cawang menuju Bundaran Hotel Indonesia tak bertemu dengan kendaraan dari Blok M di Jalan Sudirman. Sebaliknya, mobil dari arah Grogol yang hendak ke Blok M juga tak bersimpangan dengan kendaraan dari arah Bundaran HI.

Dalam perhitungan Sigit, dua jalur lingkar itu memangkas 30 persen jumlah kendaraan yang bersilangan atau sebesar 75 ribu kendaraan. Dalam simulasi, Dinas Perhubungan menghitung dengan penguraian arus itu jarak tempuh kendaraan menjadi bertambah 25-50 persen.

Saat ini, kata Sigit, waktu tempuh rata-rata yang diperlukan sebuah kendaraan untuk melintasi Jembatan Semanggi pada jam sibuk pagi adalah 6,95 menit. Dengan simpang susun menjadi 3,54 menit.

l l l

KOMPENSASI atas penambahan koefisien lantai bangunan bukan hal baru. Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Jakarta Edy Junaedi mengatakan aturan tersebut sudah ada sejak Jakarta dipimpin Fauzi Bowo (2006-2012).

Pada zaman Fauzi, kompensasi diatur dalam Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2006. Pengembang bisa meninggikan gedung perkantoran yang mereka bangun melebihi koefisien bangunan di daerahnya dengan cara membayar retribusi. Pada zaman Basuki Tjahaja Purnama, penambahan bangunan dibatasi.

Hanya zona berkode A yang diizinkan menambah koefisien lantai bangunan. Bendungan Hilir masuk zona ini. Nilai pengalinya 1,2 untuk memperoleh angka kompensasi biaya yang harus disetorkan ke pemerintah. Dalam hal Wisma Sudirman, koefisien 13 dan pengali 1,8 dikali luas tanah dan nilai jual obyek pajak muncul angka Rp 360 miliar.

Nirwono Joga, ahli tata kota Universitas Trisakti, mengkritik kebijakan ini karena memaksa daya dukung lingkungan gedung yang mengajukan peninggian. Soalnya, gedung-gedung tinggi di Jakarta menyedot air tanah dalam jumlah banyak, yang membuat perumahan di sekitarnya mengalami krisis air. "Padahal permukaan tanah Jakarta terus turun akibat penyedotan air tanah," katanya.

Edy Junaedi menjelaskan, kekhawatiran itu sudah dibatasi dengan nilai rata-rata koefisien lantai bangunan di tiap wilayah yang berbeda-beda. Nilainya diatur dalam Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 1999. Di beberapa wilayah, kata Edy, tinggi bangunannya belum melampaui koefisiennya.

Di Bendungan Hilir, menurut Edy, rata-rata koefisien lantai bangunan sebesar 7. Karena di wilayah ini sebagian besar dihuni rumah satu lantai, koefisien bangunannya tak melampaui angka itu. "Berdasarkan hitung-hitungan kami, penambahan koefisien Wisma Sudirman dari 7 menjadi 13 tidak akan membuat nilai rata-rata koefisien melebihi angka yang ditetapkan," tutur Edy.

Sebelum memberi izin, menurut Edy, pemerintah meminta pengembang membuat kajian dampak lingkungan dan lalu lintas saat mengajukan penambahan koefisien lantai bangunan. "Mereka harus memastikan bahwa daya dukung lingkungan di sana memadai setelah penambahan," ujarnya.

Salah satu aspek yang dianalisis dari proposal PT Mitra Persada adalah kebutuhan air bersih. Dalam analisis itu, menurut Edy, kebutuhan air bersih ketika koefisien lantai bangunan mereka menjadi 13, naik 45,7 persen menjadi 387 meter kubik per hari. "Mereka berjanji tak memakai air tanah tapi air dari perusahaan air minum," katanya.

PT Perusahaan Air Minum Jakarta Raya (PAM Jaya) menyanggupi kebutuhan Wisma Sudirman ini. "Lebih dari itu juga kami sanggup menyuplai," ucap Direktur Utama Erlan Hidayat.

Masalahnya, problem lain dari penambahan tinggi gedung ini adalah lalu lintas di sekitarnya. Dengan ruang yang bertambah, jumlah kendaraan dan manusia juga akan naik signifikan. Dalam dokumen analisisnya, PT Mitra menyatakan penambahan lantai di bangunan mereka berpotensi menambah volume kendaraan yang melintas di sekitar gedung itu.

Jalan di belakang Wisma Sudirman menjadi jalur alternatif pengendara untuk menghindari aturan 3 in 1 atau nomor kendaraan ganjil-genap yang sekarang berlaku. Dalam kajian PT Mitra, Simpang Susun Semanggi akan efektif mengurai kemacetan jika kereta massal (MRT), kereta ringan (LRT), dan sistem jalan berbayar sudah beroperasi.

MRT dan LRT kini sedang dikerjakan. Jalan berbayar masih tersendat di tender teknologi dan tak jelas kapan mulai berlaku. Maka kendaraan yang terurai di simpang susun akan kembali semrawut memasuki Jalan Jenderal Sudirman atau Bendungan Hilir. "Itu menjadi salah satu tugas pengembang mengatasi kemacetan di sekitar gedung," kata Edy.

Gadi Makitan, Avit Hidayat


Daya Dukung Tak Mendukung

Koefisien Lantai Bangunan (KLB): Perbandingan seluruh luas lantai bangunan terhadap luas tanah.

Kompensasi:

K = I x (L/KLB dasar x NJOP)

K: Kompensasi
I: Indeks (nilai pengali tiap zona)
L: Selisih luas total bangunan sebelum dan sesudah penambahan KLB
KLB dasar: Nilai KLB sebelum penambahan
NJOP: Nilai jual obyek pajak

Wisma Sudirman:

K = 1,2 x ((104.000-56.000)/7) x Rp 43.750.000
K = Rp 360.000.000.000

Simpang Susun Semanggi

Panjang:
- Lintasan I (arah Grogol-Blok M) 796 meter
- Lintasan II (arah Cawang-Bundaran HI) 826 meter

Lebar: 30 meter
Pekerjaan: April 2016 hingga Agustus 2017

Lalu Lintas

Dalam kajian PT Mitra Panca Persada, lalu lintas Simpang Susun Semanggi akan efektif mengurai kemacetan dan Jalan Raya Bendungan Hilir tak akan dipadati kendaraan jika:

Aturan nomor kendaraan ganjil-genap diberlakukan (2017) V
Electronic road pricing diberlakukan X
Mass rapid transit beroperasi (2018) X
Kereta ringan (LRT) koridor 1 Kelapa Gading, Kelapa Gading-Kebayoran Lama, beroperasi X
Kereta ringan Cibubur-Bekasi-Dukuh Atas beroperasi X

Kebutuhan Air Bersih

Dokumen kajian yang diterima Dinas PTSP memuat hitungan peningkatan kebutuhan air bersih--baik saat pengerjaan konstruksi maupun saat pengoperasian gedung.

Pengerjaan konstruksi
KLB 7: 70 meter kubik/hari
KLB 13: 140 meter kubik/hari

Selisih sebesar 70 meter kubik per hari bersumber dari PAM Jaya. Tidak mengambil air sumur sehingga dianggap masih memenuhi daya dukung lingkungan.

Pengoperasian gedung
KLB 7 : 265,6 meter kubik/hari
KLB 13 : 387 meter kubik/hari

Selisih sebesar 121,4 meter kubik per hari diambil dari PAM Jaya sehingga dianggap memenuhi daya dukung lingkungan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus