Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Penunggang Gelap Angket KPK

PENGAKUAN Miryam S. Haryani mengguncang Dewan Perwakilan Rakyat. Bukan hanya soal mereka menerima triliunan rupiah suap proyek kartu tanda penduduk elektronik di Kementerian Dalam Negeri pada 2011-2012, Miryam juga mengaku ditekan politikus Senayan agar tak terlalu jujur mengungkap permainan proyek senilai Rp 5,9 triliun itu.

8 Mei 2017 | 00.00 WIB

Penunggang Gelap Angket KPK
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

PENGAKUAN Miryam S. Haryani mengguncang Dewan Perwakilan Rakyat. Bukan hanya soal mereka menerima triliunan rupiah suap proyek kartu tanda penduduk elektronik di Kementerian Dalam Negeri pada 2011-2012, Miryam juga mengaku ditekan politikus Senayan agar tak terlalu jujur mengungkap permainan proyek senilai Rp 5,9 triliun itu.

Kepada penyidik KPK, politikus Partai Hanura dari Jawa Barat itu mengaku ditekan enam politikus agar menyetop pengakuannya tentang bagi-bagi suap e-KTP. Salah satu yang ia sebut adalah Desmond Junaidi Mahesa. Politikus Partai Gerindra itu, menurut Miryam, menekan dia meski namanya tak disebut sebagai satu dari 57 anggota DPR penerima suap. "Saya tak terima dituduh seperti itu," kata Desmond pekan lalu.

Faktanya, Miryam mencabut seluruh kesaksian tentang penyebutan nama-nama penerima suap e-KTP dalam sidang dengan terdakwa Irman dan Sugiharto, dua pejabat Kementerian Dalam Negeri, pada 23 Maret 2017. Ia mengaku ditekan penyidik KPK saat menyebut nama-nama koleganya itu.

Dalam rekaman pemeriksaan di KPK yang diputar di persidangan, Miryam tampak bergembira ketika bersaksi. Novel Baswedan, penyidik yang memeriksanya, mengatakan kesaksian Miryam tentang politikus yang menekannya agar mencabut keterangan dalam pemeriksaan terekam dengan rapi.

Desmond tak percaya ada rekaman tersebut. Maka, saat rapat kerja dengan KPK pada 17 April lalu, ia dan anggota Komisi Hukum DPR meminta pimpinan KPK membuka rekaman tersebut. Ketua KPK Agus Rahardjo menolak.

Menurut Agus, hanya hakim yang berhak membuka pemeriksaan di KPK. Tak kunjung ada titik temu, politikus Partai Hanura, Dossy Iskandar, mengusulkan anggota Komisi Hukum memakai hak angket untuk meminta rekaman tersebut. "Ini harus ditarik ke instrumen parlemen dalam hak menyatakan pendapat atau turun sedikit menjadi hak angket," ujarnya.

Gayung bersambut. Saat pembacaan kesimpulan rapat, Komisi Hukum dengan jelas meminta pimpinan KPK membuka rekaman pemeriksaan Miryam dalam poin empat. Agus Rahardjo keberatan dengan poin ini. "Kami mengharapkan kata-kata di poin empat berakhir di klarifikasi dan menghapuskan membuka rekaman," katanya.

Penolakan Agus disambut interupsi. Masinton Pasaribu dari PDI Perjuangan, politikus yang disebut Miryam ikut menekannya, menuduh KPK melanggar prosedur. "Kami menduga ada penyimpangan dalam penyidikan ini," ujarnya.

Hingga rapat selesai, soal permintaan membuka rekaman pemeriksaan tak kunjung disepakati. Anggota Komisi Hukum lalu mengalihkan rembukan soal memakai hak anggota DPR menyelidiki kebijakan lembaga negara itu dalam grup WhatsApp. Dalam grup percakapan di telepon seluler itu, mereka berpendapat tentang landasan hukum memakai hak ini untuk menguji prosedur kerja KPK.

Pemakaian hak angket kian menguat. Menurut Teuku Taufiqulhadi dari NasDem, tak semua anggota Komisi Hukum menjadi anggota grup itu. Meski begitu, anggota grup sempat pecah karena tak semuanya setuju memakai hak angket. "Saya tak ingin membicarakan sikap teman di fraksi lain," kata Taufiqulhadi.

Ketua Komisi Hukum Bambang Soesatyo dari Golkar tak ikut menandatangani pemakaian hak ini. Begitu juga Wakil Ketua Komisi Hukum Benny Kabur Harman, meski ia yang menandatangani surat persetujuan hak angket dari Komisi Hukum. Belakangan, Fraksi Demokrat asal Benny menyatakan menolak pemakaian hak angket untuk menyelidiki KPK.

Masinton Pasaribu kesal terhadap teman-temannya yang balik badan tak mendukung angket meski awalnya setuju. Menurut dia, semua anggota Komisi Hukum telah sepakat dengan hak ini. Pemakaian hak angket akhirnya disetujui rapat paripurna DPR pada Jumat dua pekan lalu.

Tak bulat memang. Pengesahan oleh Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah, yang memimpin sidang, dihujani interupsi. Anggota Fraksi Demokrat, Gerindra, dan Partai Kebangkitan Bangsa keluar dari ruang sidang untuk menyatakan ketidaksetujuan mereka. Politikus dari tiga fraksi ini umumnya tak disebut Miryam sebagai penerima suap proyek e-KTP.

Pengesahan hak angket segera menuai kecaman publik. Menurut Fahri Hamzah, kecaman itu pula yang membuat teman-temannya mundur sebagai pengusung hak angket. "Mereka takut dicap menyerang KPK," ujarnya.

Untuk menggalang opini publik, Jumat pekan lalu, Fahri datang ke kantor Tempo buat menjelaskan pentingnya hak angket untuk mengoreksi kerja KPK. Politikus Partai Keadilan Sejahtera yang getol mengusulkan pengurangan kewenangan KPK ini beralasan lembaga itu kebablasan memakai kewenangan menyadap mereka yang diduga melakukan korupsi.

Meski begitu, Fahri mengakui DPR sebagai lembaga yang tak bisa menghindari korupsi karena aturan dan sistem keuangan partai. Setiap anggota DPR, kata dia, berupaya mencari anggaran pembiayaan partainya dengan cara menilap uang proyek pemerintah yang dibahas bersama. "Tapi, kalau itu disadap, KPK telah berubah menjadi pengawas moral," ujarnya.

Upaya mempertanyakan kerja KPK itu mendapat pintu masuk lewat konflik internal para penyidik. Fahri Hamzah mengaku sudah lama mendengar kubu-kubuan penyidik KPK antara penyidik polisi dan nonpolisi. "Ini tidak sehat bagi sebuah lembaga penegak hukum," katanya.

Fahri merujuk pada Laporan Utama Tempo edisi 3-9 April 2017. Dalam laporan itu, ketua satuan tugas penyidikan proyek e-KTP, Novel Baswedan, mendapat surat peringatan dari pimpinan KPK. Novel diperingatkan karena menulis surat dengan nada keras memprotes rencana Direktur Penyidikan Brigadir Jenderal Aris Budiman merekrut penyidik polisi.

Menurut Novel, cara Aris tak memperhatikan karier fungsional penyidik internal nonpolisi. Novel juga menyinggung rencana Aris mengundang kembali penyidik polisi yang bertugas di KPK yang dianggapnya berintegritas rendah. Surat Novel bocor dan memantik kemarahan para penyidik polisi. Agus Rahardjo mengakui surat Novel terlampau keras sehingga dia memaklumi kemarahan penyidik lain.

Informasi inilah yang dipakai para politikus Senayan untuk mencecar pimpinan KPK agar menjelaskan perkubuan penyidik dalam rapat 17 April itu. Benny Harman meminta Agus dan empat pemimpin KPK lainnya menjelaskan soal itu dan dampaknya terhadap penanganan perkara. "Penting bagi kami mengetahui apa yang sudah menjadi rahasia umum itu," Bambang Soesatyo dari Golkar menimpali.

Agus Rahardjo mengatakan sudah mempertemukan dua kelompok penyidik yang berseteru itu. Adapun Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarif mengatakan konflik internal tersebut bukan masalah serius. "Tidak ada yang genting di KPK," ujarnya.

Politikus Partai Keadilan Sejahtera, Nasir Djamil, mengatakan sebaliknya. Dari penyidik-penyidik KPK yang sudah kembali ke kejaksaan dan kepolisian, Nasir mengaku mendengar konflik di lingkungan internal KPK lumayan tajam. "Infonya bahkan dari pimpinan KPK sendiri," ujar Nasir. "Tentu lewat perbincangan informal."

Menurut Fahri Hamzah, adanya pemimpin KPK yang mendukung hak angket telah menjadi pembicaraan umum di kalangan anggota Dewan. Dalam pertemuan-pertemuan informal, dukungan salah satu pemimpin kepada Dewan agar memakai hak angket untuk menyelidiki kinerja KPK disampaikan secara jelas. "Saya dengar seperti itu," katanya.

Nasir menambahkan, setiap komisioner KPK menjalin perkawanan dengan anggota Komisi Hukum. Dia menduga relasi itu membuat penyidik makin mengeras terhadap pemimpin mereka sendiri. "Pimpinan tak bisa mengatur ritme penyidik," ujar Nasir.

Wakil Ketua KPK Saut Situmorang mengkonfirmasi informasi Nasir. Menurut Saut, budaya egaliter di KPK membuat penyidik bisa secara terbuka mengkritik pemimpin KPK, termasuk saat awal dia menjabat. "Pak Saut, ente baru beberapa bulan di sini, saya sudah sepuluh tahun di sini," kata Saut menirukan ucapan seorang penyidik.

Nasir menilai Saut Situmorang dan Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan relatif lebih jujur tentang keadaan internal KPK dibanding Agus dan Laode. Pernyataan Saut tentang ketidakharmonisan dengan penyidik membuat DPR kian yakin perlunya penyelidikan internal KPK. "Kami makin memiliki dasar menggunakan hak angket ini," ujar Nasir.

Wakil Ketua Komisi Hukum Mulfachri Harahap tak menampik kabar bahwa ada pemimpin KPK yang malah mendorong pemakaian hak angket ini akibat konflik internal itu. "Mungkin saja bisa saling menunggangi," kata politikus Partai Amanat Nasional ini.

Sehari setelah berbicara di DPR tentang konflik itu, Saut Situmorang menegaskan pendapatnya soal rencana pemakaian hak angket oleh DPR untuk menyelidiki lembaganya. Ia menilai hak angket bukan intervensi terhadap KPK. "DPR mempunyai fungsi checks and balances," ujarnya.

Taufiqulhadi punya analisis lain. Selain soal konflik internal yang bisa menjadi dasar pemakaian hak angket, ia menyoroti acap tersebarnya berkas pemeriksaan suatu perkara. "Seharusnya penyidikan tak boleh bocor," katanya.

Agus Rahardjo memastikan lembaganya sangat ketat dalam mengelola dokumen pemeriksaan. Namun, dia mengingatkan, setelah berkas dilimpahkan ke pengadilan, dokumen pemeriksaan tidak hanya dimiliki oleh KPK, tapi juga oleh terdakwa atau kuasa hukumnya. "Kami akan memperkuat sistem agar cetakan berkas pemeriksaan bisa dipantau," ujarnya. "Sehingga, jika bocor, akan diketahui ada di tahap mana."

Seorang politikus mengakui alasan-alasan itu dipakai DPR untuk mendukung angket belaka. Alasan sebenarnya adalah upaya mengganggu pengusutan korupsi e-KTP. Partai pendukung angket umumnya partai yang anggotanya diduga terlibat korupsi dengan kerugian negara Rp 2,3 triliun ini.

Golkar, misalnya, aktif mengusung angket karena ketuanya, Setya Novanto, disebut-sebut sebagai orang yang mengatur korupsi dan distribusi suap kepada anggota DPR. Kepada Tempo, Setya membantah segala tuduhan itu.

Ada pula Agun Gunandjar Sudarsa. Ia pernah diperiksa sebagai saksi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Dalam dakwaan dua bekas pejabat Kementerian Dalam Negeri, Irman dan Sugiharto, Agun disebut menerima suap sebesar US$ 1 juta. Dalam persidangan tersebut, Agun sudah membantah menerima pelicin proyek itu.

Politikus lain menyebut kepentingan PDI Perjuangan seiring dengan dibukanya perkara Bantuan Likuiditas Bank Indonesia yang ditutup di zaman Megawati Soekarnoputri menjadi presiden. KPK telah menetapkan bekas Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional, Syafruddin Temenggung, sebagai tersangka.

Politikus PDI Perjuangan tak ambil pusing disebut menunggangi angket DPR karena khawatir terseret suap BLBI. "Tudingan orang tidak bisa kami cegah," kata Masinton Pasaribu.

Taufiqulhadi membantah tudingan bahwa hak angket ditunggangi beragam kepentingan. Menurut dia, tujuan akhir hak angket ini adalah revisi Undang-Undang KPK. Dia mencontohkan perlunya pembentukan dewan pengawas untuk mengawasi kinerja pimpinan KPK.

Selain itu, Taufiqulhadi mencontohkan soal penyadapan yang dia nilai tak dilakukan secara transparan. "Memang rekomendasinya nanti adalah revisi undang-undang," katanya.

Di tengah hiruk-pikuk hak angket ini, pimpinan KPK menemui Presiden Joko Widodo di Istana Negara pada Jumat pekan lalu. Agus Rahardjo menuturkan, kedatangan mereka itu untuk memberikan sejumlah masukan kepada Presiden. "Kami tak bicara kasus," ujarnya.

Presiden Joko Widodo berjanji mendukung setiap langkah KPK. "Jangan dipertanyakan dan diragukan lagi," kata Jokowi.

Wayan Agus Purnomo, Ahmad Faiz, Aditya Budiman


e-KTP Lalu Angket

DEWAN Perwakilan Rakyat menggulirkan hak angket terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi. Dengan hak ini, DPR bisa menyelidiki kebijakan strategi lembaga negara. Mereka ingin proses penyelidikan dan penyidikan diungkap ke publik. Pengajuan hak ini menyusul terungkapnya megakorupsi proyek KTP elektronik yang merugikan negara Rp 2,3 triliun dan menyeret banyak anggota DPR. Hak ini juga diduga untuk merevisi Undang-Undang KPK, yang salah satunya memangkas penyadapan dalam penyelidikan dugaan korupsi. Partai Golkar dan Hanura menjadi fraksi yang anggotanya paling banyak mengajukan hak ini.

Dasar hukum
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD.

Pasal 79 ayat 1 huruf b: DPR mempunyai hak angket.

Pasal 79 ayat 3 huruf b: Hak angket adalah hak DPR menyelidiki pelaksanaan undang-undang dan/atau kebijakan pemerintah yang penting dan strategis dan berdampak luas pada kehidupan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan.

- Syarat: Adanya dugaan pelanggaran peraturan perundang-undangan dan /atau kebijakan pemerintah.
- Obyek: Terkait dengan pelaksanaan undang-undang dan kebijakan pemerintah.
- Sifat: Hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan masyarakat.

Penjelasan Pasal 79 ayat 3:
Pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan pemerintah dapat berupa kebijakan yang dilaksanakan sendiri oleh presiden, wakil presiden, menteri negara, Panglima TNI, Kepala Polri, Jaksa Agung, atau pimpinan lembaga pemerintah non-kementerian.

Pasal 199:
Hak angket diusulkan oleh paling sedikit 25 orang anggota DPR dan lebih dari satu fraksi.

Pasal 201 ayat 2:
Setelah hak angket disetujui, DPR membentuk panitia khusus yang dinamakan panitia angket yang keanggotaannya terdiri atas semua unsur fraksi DPR.

Pasal 206 ayat 1:
Panitia angket melaporkan pelaksanaan tugasnya kepada rapat paripurna DPR paling lama 60 hari sejak dibentuknya panitia angket.

Para pengusung

Fraksi Golkar
1.Syaiful Bahri Ruray
2.Agun Gunandjar Sudarsa
3.Endang Srikarti
4.Ridwan Bae
5.Noor Achmad
6.Anton Sihombing
7.Muhammad Nur
Purnamasidi
8.Nawafie Saleh
9.Ahmad Zacky Siradj
10.Adies Kadir

Fraksi Hanura
1. Djoni Rolindrawan
2. Dossy Iskandar
3. Samsudin Siregar
4. Frans Agung Mula Putra
5. Farid Alfauzi
6. Ferry Kase

Fraksi PDI Perjuangan
1.Masinton Pasaribu
2.Eddy Wijaya Kusuma

Fraksi NasDem
24. Taufiqulhadi
25. Ahmad Sahroni

Fraksi Gerindra
Desmond Junaidi Mahesa

Fraksi Partai Persatuan Pembangunan
Arsul Sani

Fraksi Partai Amanat Nasional
Daeng Muhammad

Fraksi Partai Keadilan Sejahtera
Fahri Hamzah

Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa
Rohani Vanath

Sikap fraksi-fraksi setelah paripurna tentang perwakilan di panitia angket:
Setuju : Golkar, Hanura, NasDem

"Saya tidak pernah memerintahkan hak angket."
Ketua Umum Partai Hanura Oesman Sapta Odang

Ragu-ragu : PDI Perjuangan, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Demokrat*
*) Saat rapat dengar pendapat, anggota Fraksi Partai Demokrat, Erma Suryani Ranik, menyatakan setuju pada pengguliran hak angket.

Menolak : Partai Gerindra, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Amanat Nasional, Partai Keadilan Sejahtera

"Kalau sudah pendapat fraksi, semua harus ikut."
Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan

Komposisi Panitia Khusus:

- Fraksi PDI Perjuangan: 6 orang
- Fraksi Golkar: 5 orang
- Fraksi Gerindra: 4 orang
- Fraksi Demokrat: 3 orang
- Fraksi PAN: 3 orang
- Fraksi PKB: 2 orang
- Fraksi PPP: 2 anggota
- Fraksi NasDem: 2 orang
- Fraksi PKS: 2 orang
- Fraksi Hanura: 1 orang
- Total: 30 orang

"Kami tegaskan, PKS tidak ikut dan kami menolak sejak awal."
Presiden PKS Sohibul Iman

Pimpinan panitia angket akan ditentukan secara musyawarah antaranggota.

"Saya yakin tidak jadi."
Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan

"Sepanjang tak melanggar ketentuan hukum yang berlaku, akan kami jawab."
Wakil Ketua KPK Alexander Marwata

Naskah: Wayan Agus Purnomo | Sumber: Tata Tertib DPR, Pusat Data dan Analisa Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus